MENTERI Luar Negeri Ali Alatas ternyata bisa menghadapi "pasukan Sekutu" dengan kalem. Itu terjadi Rabu pekan lalu, dalam acara Dengar Pendapat Komisi I DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat. Menlu Alatas, hari itu, memang dikeroyok. Sekalipun ini hajat Komisi I, karena membahas soal panasnya Perang Teluk, sejumlah anggota DPR dari komisi lain juga ikut nimbrung. Misalnya, B.N. Marboen (F-PDI), Aisyah Amini (F-PPP), dan K.H. Syamsuri Badawi (F-PPP). Serangan dari B.N. Marboen kencang seperti meluncurnya rudal Scud. Ia menyesalkan tak jelasnya sikap politik luar negeri Pemerintah RI dalam menghadapi Perang Teluk. "Sepertinya kok adem ayem saja." Menurut penilaian B.N. Marboen, sikap Pemerintah boleh jadi dilatarbelakangi karena takut berpengaruh pada bantuan asing dari negara-negara donor yang tergabung dalam IGGI, misalnya, Belanda, AS, atau Jepang. Tanpa harus berlindung dulu di dalam bunker, Menteri Alatas langsung membantah. Menurut dia, Perang Teluk ini karakternya agak berbeda dengan perang yang lain, "Karena ini merupakan perang yang diotorisasi oleh PBB." Alhasil, usaha-usaha yang dikerahkan toh akhirnya harus bermuara ke Dewan Keamanan di PBB. "Jadi, biarpun 110 negara anggota Non-Blok berteriak tiap hari, ya, percuma. Sebab cuma forum Dewan Keamanan PBB yang tepat untuk membahas perang ini," katanya. Jadi, kata Alatas, "Kita tak usah aprak-aprak. Rasional saja. Saya kira keseriusan Pemerintah tak perlu diragukan, sekalipun kenyataannya belum ada hasilnya." Sebenarnya, kata Menlu, Pemerintah RI -- sejak pendudukan Irak atas Kuwait -- konsisten mendesak Irak untuk menarik diri dari Kuwait sesuai dengan isi resolusi Dewan Keamanan PBB. Bagi Indonesia, penarikan itu harus dihubungkan dengan penyelesaian Timur Tengah secara menyeluruh. Termasuk soal Palestina. "Kami juga menentang penggunaan kekuatan militer dalam penyelesaian Krisis Teluk," tutur Menteri Alatas. Namun, rupanya masih banyak yang tak puas dengan penjelasan itu. "Pernyataan itu sudah tak ada gunanya lagi," kata Kiai Badawi. Menurut dia, pernyataan Pemerintah tentang kunci penyelesaian Perang Teluk berada di pihak Irak (untuk mundur dari Kuwait) itu menunjukkan bahwa RI tidak netral. Sementara itu, Pemerintah menyerukan agar rakyat jangan bersikap emosional menanggapi Perang Teluk. Sikap ini dinilai kontradiktif sehingga membuat rakyat justru jadi emosional. "Ini karena kebanyakan rakyat Indonesia lebih simpati kepada Irak," kata Kiai Badawi. Benar tidaknya pendapat Kiai Badawi itu memang masih bisa diperdebatkan. Namun, menurut Marboen, ketimbang cuma mengimbau, ada upaya yang sampai kini belum dilakukan oleh Pemerintah RI: datang ke Baghdad. Dia yakin bahwa Presiden Saddam Hussein punya respek terhadap Pemerintah Indonesia. "Kita kan memenangkan Irian Jaya dan Timor Timur. Jadi, seandainya Alatas berani, dia atau anak buahnya kan bisa berangkat ke Irak," katanya. Inilah yang membuat B.N. Marboen kecewa. "Dulu, politik luar negeri kita aktif, dan antisipasinya juga cepat. Sekarang, kita reaktif. Menunggu dulu, baru bicara," ujarnya kepada TEMPO. Lain lagi penilaian Marzuki Darusman. Menurut anggota F-KP ini, Pemerintah RI selama ini sudah cukup konsisten dan kritis dalam memberi reaksi terhadap perkembangan di kawasan Teluk. Tapi, "Yang kita persoalkan adalah intensitas keterlibatan Pemerintah untuk merumuskan problematik dari Krisis Teluk." Marzuki menyimpulkan, soal "intensitas" itu tampaknya memang masih kendur. Dia khawatir kalau perang usai nanti ada yang melakukan rekapitulasi: Apa saja yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia? Sementara itu, negara tetangga terdekat seperti Singapura, Muangthai, dan Filipina telah memberikan bantuan khusus berupa obat-obatan buat para korban Perang Teluk, misalnya. "Sekarang ini, kita memang seolah-olah sedang duduk di pinggir saja. Padahal, kan kita bisa juga mengirim tim Palang Merah atau tim dokter ke sana," kata Marzuki. Dengan begitu, dalam dunia internasional, Indonesia setidaknya mengantungi citra "sudah melakukan sesuatu untuk mengusahakan perdamaian di kawasan Teluk". Apalagi, "kita mengharapkan dipilih untuk menjadi tuan rumah Gerakan Non-Blok," ujar Marzuki. Ironisnya, katanya lagi, prakarsa negara-negara Non-Blok untuk menyelesaikan Perang Teluk justru muncul dari India, Yugoslavia, dan Yordania. Adakah "sesuatu" itu sudah dilakukan? Menteri Alatas tampaknya tak antusias menjawabnya. "Saya belum berada dalam posisi untuk menjelaskan langkah yang akan diambil secara kongkret. Tapi percayalah, kami berusaha mencari jalan. Mencari suatu forum di mana kita bisa ikut aktif," katanya. Upaya itu, kata Menteri Pertahanan Keamanan L.B. Moerdani, di DPR pekan lalu, sudah dilakukan oleh Presiden Soeharto sebagai mandataris MPR. "Sekalipun belum ada hasilnya," katanya. Ini memang bukan masalah gampang. Menlu Alatas mengingatkan, ada tata tertib diplomatik yang perlu diperhitungkan. Menurut dia, Pemerintah RI harus berhati-hati. "Masak kami masuk begitu saja, dan mengatakan kami tahu resepnya (untuk menyelesaikan konflik). Bisa ditendang," katanya. Sebaliknya, ia menambahkan, "Tentu kita tak ingin kalau Aljazair atau Mesir masuk begitu saja dalam, misalnya, urusan Kamboja." Maka, petang harinya, seusai Dengar Pendapat dengan Komisi I DPR itu, Menteri Alatas langsung terbang ke Hanoi. Urusannya, apa lagi kalau bukan soal penyelesaian soal Kamboja. Ahmed K. Soeriawidjaja dan Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini