IKATAN Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) telah kehilangan pamor? Kesan itu bisa muncul, setelah melihat bagaimana sebuah sarasehan yang membahas soal ICMI -- temanya "ICMI dan Transformasi Sosial Politik Orde Baru" -- yang diadakan oleh Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM) dari unit organisasi Pemuda Muhammadiyah, Rabu pekan lalu, di Gedung Da'wah Muhammadiyah, Jakarta Pusat. Yang hadir cuma 40-an orang. Dari 14 pembicara yang dijadwalkan dalam acara, ternyata hanya enam yang hadir. Tokoh yang disebut-sebut sebagai perintis terbentuknya ICMI, dan semula bakal tampil sebagai panelis, seperti Dawam Rahardjo, tak kelihatan batang hidungnya. "Dawam menolak hadir karena khawatir forum berkembang ke arah pengadilan, entah buat ICMI atau Dawam sendiri. Ridwan Saidi menolak hadir karena menganggap ICMI sudah gagal. Sedangkan yang lain dihadang oleh kesibukannya masing-masing," ujar pemrakarsa sarasehan, M. Syafi'i Anwar, Ketua LPAM. Toh saresehan jalan juga dan berlangsung "seadanya". Suasana itu tampaknya klop dengan ancang-ancang pemrakarsa, yang dalam undangan sarasehan itu sudah melihat, "Adanya individu atau pihak yang tidak setuju, skeptis, atau kurang mendukung berdirinya ICMI." Ada apa dengan ICMI? Bukankah ini organisasi yang banyak mendapat sambutan dari cendekiawan Islam? Tampaknya suasana sarasehan di Gedung Da'wah Muhammadiyah itu memang jauh berbeda dengan gegap-gempita tatkala ICMI dibentuk pada awal Desember 1990 silam. Ketika itu, bersamaan dengan lahirnya ICMI, juga diadakan simposium nasional di Universitas Brawijaya, Malang. Malah Presiden Soeharto sendiri yang membukanya secara resmi. Sejumlah menteri dan sekitar 500 orang cerdik pandai ikut meramaikan. Sedang Wakil Presiden Sudharmono yang menutup simposium. "Di Malang, saya dapat kesan umat Islam butuh jagoan atau tokoh," kata Qomaruddin di depan peserta sarasehan. Dan sang jagoan itu siapa lagi kalau bukan B.J. Habibie, Menteri Negara Riset dan Teknologi. Ia secara aklamasi terpilih sebagai Ketua Umum ICMI. Sejak itu nama Habibie berkibar di kalangan umat. Ia juga diberi mandat sebagai formatur tunggal untuk menyusun "kabinet" dan program kerja ICMI. Tapi, seperti dalam lakon-lakon klasik, selalu ada teman sang jagoan yang kemudian (merasa) ditinggalkan. Tampaknya, nasib seperti itulah yang kini dialami oleh, misalnya, Dawam Rahardjo. Dawam kecewa melihat proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Habibie dalam menyusun struktur organisasi ICMI. "Prosesnya dari atas. Kenapa dia tak mendengarkan dulu pandangan-pandangan para cendekiawan muslim lainnya yang juga ikut mendirikan ICMI," kata Dawam kepada TEMPO. Maka, ada yang menilai ICMI kini terkesan "Habibie sentris". Ada juga yang khawatir melihat bayang-bayang birokrasi di organisasi itu -- karena Habibie menyertakan "orang-orangnya" yang berasal dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam ICMI -- yang dampaknya mungkin akan bisa menghambat gerak ICMI nantinya. Dan citra itu tampaknya memang tak terelakkan. Jabatan sekretaris jenderal, misalnya, yang sebelumnya pernah diusulkan untuk mendampingi Habibie -- yang dikenal sebagai manusia " supersibuk" karena memegang sejumlah jabatan penting di pemerintahan -- ditiadakan. Sebagai gantinya, hanya ada lembaga sekretariat eksekutif, yang akan diduduki oleh Wardiman Djojonegoro, deputi Habibie di BPPT bidang administrasi. Di ICMI, tugasnya juga terbatas hanya bersifat administratif belaka. Dalam struktur organisasi ICMI ini -- rencananya, "kabinet" ICMI akan diumumkan Ahad mendatang, 10 Februari 1991 -- Habibie, sebagai ketua umum, akan mengomandani enam ketua departemen dan enam asisten. Ia juga akan didampingi dewan pakar dan dewan penasihat. Ini artinya Habibie berperan sebagai sentral, yang punya garis komando dan konsultasi secara langsung dengan fungsionaris ICMI. Secara sederhana, barangkali in- ilah model organisasi yang menggunakan struktur matriks. "Ini adalah sistem manajemen yang paling canggih dan dimanfaatkan bukan saja oleh organisasi industri besar di dunia, tapi juga organisasi politik," kata Menteri Habibie. Sistem ini, katanya, antara lain dipakai oleh Boeing, IBM, McDonnell Douglas, dan juga IPTN. Beleid itu didukung oleh Emil Salim. "Kami percaya kepada Habibie untuk mengatur semuanya. Jangan ada yang ikut campur," tutur Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup itu, yang dalam kepengurusan ICMI nanti akan didudukkan sebagai Ketua Dewan Penasihat. Buat sementara orang, mungkin aneh bila ICMI disamakan dengan lembaga seperti IPTN atau Boeing. Sebagai organisasi yang keanggotaannya bersifat sukarela, memang masih harus diuji apakah struktur matriks ini nantinya bisa seiring dengan dinamika yang ada dalam ICMI. Apalagi, seperti yang sudah tercium oleh Sri Bintang Pamungkas, salah seorang pendiri ICMI: Faktor Habibie yang sudah menjabat sebagai menteri selama 17 tahun. "Di sekitarnya sudah tercipta semacam innership circle, yang kadar like and dislike-nya besar sekali," kata Sri Bintang. Akibatnya, Habibie pasti mengalami kesulitan berkomunikasi secara langsung dengan anggota ICMI lainnya. Kekhawatiran bahwa bayang-bayang birokrasi pemerintahan merasuk dalam ICMI tampaknya beralasan. Contohnya, semula dalam rumusan GBHN yang akan disumbangkan ICMI antara lain tercantum soal perlunya dibatasi masa jabatan presiden dan tinjauan tentang Dwifungsi ABRI. Materi itu, menurut Sri Bintang, belakangan dihapuskan. "Jadi, konsepnya yang ada sekarang ini memang jauh berbeda dengan konsep semula. Ini karena pendapat rekan-rekan dari BPPT yang mendominasi," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini