Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jenderal nasution menjawab

Wawancara tempo dengan a.h. nasution tentang buku manai sophiaan, yang antara lain menggugat peristiwa 19 des 1948 yang menyebutkan bahwa militer membiarkan yogyakarta kosong & keterlibatan bung karno dalam g30-s pki.

9 Februari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMOAR Manai Sophiaan, Apa yang Masih Teringat, yang terbit Januari silam, hingga kini masih menjadi rebutan banyak orang. Selain karena dicetak hanya seribu eksemplar, isinya juga cukup menggelitik. Manai, misalnya, "menggugat" beberapa hal. Antara lain tentang peristiwa penyerbuan Belanda terhadap ibu kota RI, Yogyakarta. Pada 19 Desember 1948, Manai menyebut militer membiarkan Yogyakarta kosong. Wakil Panglima Besar, A.H. Nasution, yang ketika itu baru saja menjabat Panglima Komando Jawa, dua hari sebelum serangan Belanda, justru berkeliling ke Jawa Timur, meninggalkan posnya di Yogya yang sedang genting. Malah, menurut Manai, Nasution justru mendiskreditkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, dan anggota kabinet lainnya yang bertahan di Yogya, yang telah "menyerah" pada Belanda, dan tidak memenuhi janji untuk memimpin gerilya. Kelak, menurut Manai, Peristiwa 19 Desember itu menjadi bahan olok-olok di kalangan tentara untuk mencemooh pemimpin-pemimpin politik sebagai orang-orang yang tidak ikut berjuang menegakkan kemerdekaan. Manai Sophiaan juga mempersoalkan Peristiwa 17 Oktober 1952. Saat itu, parlemen diserbu demonstran, Istana dikepung tentara. Para perwira AD, dipimpin KSAD A.H. Nasution, menghadap Presiden Soekarno dan menuntut agar parlemen dibubarkan karena ter- lalu mencampuri urusan intern AD dan wewenang eksekutif. Manai menuduh bahwa AD waktu itu telah disusupi Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang ingin memenangkan Pemilu 1955. "Kiranya tidak keliru bahwa pikiran-pikiran yang lahir di sekitar 17 Oktober 1952 itulah embrio dari konsep Dwifungsi ABRI yang diterapkan kemudian," kata Manai dalam bukunya. Yang juga digugat Manai adalah tuduhan bahwa Presiden Soekarno menjadi dalang, atau setidak-tidaknya ikut terlibat, G30S-PKI. "Hal itu tidak bisa dibuktikan kebenarannya oleh aparat penyidik hukum," tulis Manai. Dalam proses itu, kata Manai, Nasution sebagai Ketua MPRS pun ikut berperan. Jenderal (Purn.) A.H. Nasution tampak agak terperangah setelah membaca buku Manai. "Kalau kita mau bicara soal-soal begitu, tidak bisa hanya bisa diambil salah satu aspek, salah satu segi, lantas didebatkan. Itu yang membikin saya sebenarnya agak segan untuk menjawab," ujar Nasution pada TEMPO pekan lalu. Di samping wawancara langsung, Nasution juga memberikan jawaban tertulis. Inilah petikannya: Tentang Peristiwa 19 Desember 1948 Memang, pada 17 Desember 1948 saya pergi ke Jawa Timur untuk memenuhi undangan Divisi I Brawijaya yang hari itu diresmikan sebagai gabungan eks Divisi V, VI, dan VII, di bawah Sungkono. Bagi saya acara ini amat penting karena dalam kondisi pergolakan/rasionalisasi lalu prolog pemberontakan PKI di Madiun, hubungan saya cukup "macet" dengan TNI di Jawa Timur. Inilah kesempatan pertama kali berdialog langsung dengan semua pejabat lapangan setingkat batalyon dan KDM ke atas. Saya pergi hanya dua hari. Rencananya tanggal 19 kembali ke Yogya. Jadi, bukan keliling Jawa. Dalam resepsi di Kediri, saya jelaskan rencana siasat kita (Perintah Siasat I/1948). Saya tegaskan juga bahwa "Belanda akan menyerang lagi, hanya saatnya kita belum tahu". Kalau saya tahu bahwa Belanda akan menyerang tanggal 19 Desember, saya pasti tidak pergi. Tanggal 19 Desember pagi, saya dilapori pengumuman radio Belanda tentang penyerbuan Yogya. Saya bersama rombongan langsung ke Yogya dengan kereta api khusus. Kami belum mengetahui nasib Pak Dirman, yang menurut selebaran Belanda juga telah ditawan. Tidak tahu bagaimana Soekarno-Hatta, dan lain-lain. Ada dua pamflet Belanda yang menyatakan bahwa Republik dan TNI telah tiada, dan daftar yang ditangkap. Itu membuat kami cukup kacau. Setelah agak cukup informasi, kami menganggap perlu segera membuktikan "tetap tegaknya Pemerintah Republik, tetap terasa adanya pimpinan". Selaku Panglima Komando Jawa, saya keluarkan maklumat berdirinya Pemerintah Militer di seluruh Jawa pada tanggal 22 Desember l948, beserta Instruksi Bekerja No. I tentang Pemerintahan Militer. Kemudian saya terima surat Menteri Dr. Sukiman atas nama sisa kabinet dan dari Panglima Besar Sudirman yang menyetujui segala tindakan saya itu. Secara pribadi Pak Dirman dan saya termasuk yang amat kecewa tentang Putusan Panglima Tertinggi untuk tidak ikut bergerilya sebagai telah direncanakan. Perintah Siasat I/1948 yang saya susun telah diproses sekian lama via Dewan Siasat Militer di bawah pimpinan Presiden sendiri. Bukankah dalam buku Manai Sophiaan dikatakan bahwa atas informasi dari Kepala Intel Markas Komando Jawa, Zulkifli Lubis, Panglima Komando Jawa mengetahui bahwa Yogya akan diserang? Mana kita tahu? Menurut buku-buku Belanda yang saya baca, Belanda sendiri sulit menentukan hari "H" itu. Hari "H" itu digeser-geser. Nah, sepintar-pintarnya kita, tidak mungkin mengetahuinya. Mengapa Yogya dibiarkan kosong. Tiadanya perlawanan ini kabarnya yang mendorong Soekarno-Hatta memutuskan untuk menyerah. Harus diingat, Perintah Siasat itu dibuat Juni 1948. Tapi tidak jalan. Banyak pasukan yang waktu itu belum taat organisasi. Zaman itu sulit menggerakkan mereka dengan satu komando dari pusat. Saya diangkat sebagai Panglima Komando Jawa baru kira-kira sebulan sebelum 19 Desember 1948. Inilah realita yang ada. Di atas kertas, memang boleh saja begini, begitu. Manai Sophiaan mungkin tidak tahu hal ini, karena dia di KNIP dan tidak pernah ikut rapat Dewan Siasat Militer. Peristiwa 17 Oktober 1952 Peristiwa itu adalah salah satu yang sengit dalam kondisi dewasa itu. Resminya RIS jadi RI, tapi tanpa UUD RI 1945. Keadaan dirasakan jauhlah dari harapan gerilya dulu, kembali sepenuhnya kepada pembelaan RI Proklamasi. Pemberontakan dihadapi di Jawa Barat, Sulawesi, dan Maluku. Kabinet-kabinet berdiri hanya hitungan bulan. Dalam demokrasi parlementer, Soekarno-Hatta jadi sekadar lambang. TNI bergolak ke dalam dan keluar, terutama karena soal lanjutan perjuangan. Berlangsunglah debat sengit di DPR awal 1952. Debat membuahkan tiga mosi. Antara lain, dari Saudara Manai Sophiaan, yang lalu dibahas dalam rapat Panglima dan memutuskan: KSAD dan panglima-panglima mendesak dengan tekanan optimal (demonstrasi dan gerakan pasukan) agar parlemen dibubarkan dan diganti (ternyata UU Pemilu belum dibuat). Memang telah terjadi ekses-ekses yang saya sesalkan kelak. Kami umumnya masih lebih muda dari pimpinan-pimpinan KNPI (pemuda) masa kini. KSAD 32 tahun, dan komandan-komandan di Jakarta dan sekitarnya umumnya masih 20-an. Secara retrospektif kurang mampu menahan emosi. Lagi pula, sebagai orang yang akan tugas belajar ke Belanda (pakaian, program, dan lain-lain sudah siap), berangsur-angsur saya menyerahkan urusan sehari-hari pada Wakasad Letnan Kolonel Sutoko. Tempo-tempo saya sudah tidak masuk kantor. Saya menyesal kurang menekuni pada awalnya. Tapi, bagaimanapun sebagai KSAD, saya yang bertanggung jawab. Pada wartawan yang kemudian mewawancarai, saya katakan, "Saya salah. Saya tidak mampu mengatasi. Lebih baik diganti orang lain." Kemudian saya memang diberhentikan sebagai KSAD. Saya dan panglima-panglima bukanlah orang-orang yang dipengaruhi PSI seperti diisukan. Bung Karno dan G30S-PKI Dalam Sidang MPRS 1966 kami mencapai kompromi untuk tidak menilai Presiden. Tapi, meminta melengkapi pertanggungjawaban (Keputusan No. 5). Akhirnya dengan Pel-Nawaksara oleh BP MPRS beliau dinilai enggan memenuhinya, berarti tidak dapat menerima untergeordnet kepada MPRS (UUD 45), "telah tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusional" dan "telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPRS". Sesuai dengan ketentuan UUD, DPR yang bertugas mengawasi presiden menghasilkan memorandum dan resolusi yang disetujui secara aklamasi tanggal 23 Februari 1967. Dalam memorandum: "Terdapat adanya petunjuk-petunjuk (aanwijzingen) bahwa Presiden Soekarno terlibat dalam G30S-PKI yang fakta-faktanya perlu dilengkapi oleh Pangkopkamtib dalam Sidang Istimewa MPRS". Dalam pidato di Sidang Istimewa MPRS tanggal 7 Maret 1967, Jenderal Soeharto menyampaikan hasil pemeriksaan tertutup dengan kesimpulan serta pertimbangan di bidang "politik dan yuridis". Dari uraian itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa beliau (Bung Karno) belum mengetahui secara pasti akan terjadinya G30S-PKI, baik mengenai waktu terjadinya maupun peristiwanya sendiri. Berdasarkan penilaian kesimpulan ini, Bung Karno tidak dapat digolongkan sebagai penggerak langsung atau dalang ataupun tokoh G30S-PKI, kecuali apabila memang masih ada fakta-fakta yang belum dapat kita temukan hingga hari ini. Apalagi setelah kesaksian Brigjen. Sugandhi di Mahmilub tentang pembicaraannya dengan Sudisman, Aidit, dan Presiden Soekarno sendiri pada 30 Agustus 1965. Setelah ada kesaksian seorang ajudan Presiden kelak, yang dilaporkan oleh Pangkopkamtib kepada saya, bahwa pada tanggal 30 September oleh Presiden Soekarno telah diputuskan mengganti Pangad Jenderal Yani dan memanggilnya menghadap pada esoknya, lalu diperkuat keterangan Basuki Rachmat, maka saya "tidak yakin" beliau ikut berperan dalam "pelubangbuayaan" Yani dan lain-lain. MPRS dalam Tap No. XXXIII/1967 memutuskan penggantian presiden dan larangan sementara kegiatan politik serta "penyelesaian persoalan hukum selanjutnya dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada penjabat presiden". Memang masih perlu dilanjutkan pemeriksaan untuk pertanggungjawaban hukumnya. Yang terselesaikan oleh DPR/MPR barulah ketatanegaraannya, menurut tugas konstitusionalnya. Yakni, mengganti presiden serta melarang kegiatan politik sementara. Saya menyesalkan tidak rampungnya pemeriksaan dan penyelesaiannya sehingga meluangkan perdebatan sampai kini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus