Naro dan pengikutnya tak masuk dalam daftar calon PPP. Kalangan cendekiawan dan pesantren bakal punya tempat di partai bintang itu. MARDINSYAH tampak gelisah. Dia duduk sendirian, dengan asap rokok yang tak putus-putus, di tengah keramaian Rakernas Departemen Pemuda PPP di Surabaya, pekan lalu. Tak banyak tokoh PPP menyapanya. Sebagai bekas orang nomor dua, dan salah satu pengurus pusat PPP, namanya seperti tenggelam. Belum ada lagi yang memintanya kembali duduk di kursi DPR/MPR. Banyak anggota dewan mengalami nasib seperti Mardinsyah. Namun, di PPP ada ciri khusus: orang-orang yang dekat dengan bekas Ketua Umum Jaelani (John) Naro tampaknya akan tersingkir dari pentas pencalonan. Hal ini yang bakal menimpa pengikut setia Naro seperti Hussein Naro (anak), Djailinar Naro Utomo (adik kandung), Yusuf Gaffar, dan Mardinsyah. Dan tentu saja, juga John Naro sendiri. Pengurus PPP wilayah DKI, yang pada Pemilu 1987 lalu mencalonkan John Naro di peringkat satu, kini mengajukan nama lain: Ismail Hasan Metareum, Ketua Umum PPP yang sekarang. Pengikut Naro, Safinah Udin yang dahulu dicalonkan DKI, pun kali ini lewat. "Kalau ada wilayah lain mau mencalonkannya, silakan," kata H. Muhammad Rodja, sekretaris PPP DKI. Memang ada selentingan, nama Naro akan dicalonkan oleh PPP wilayah Jawa Timur (Ja-Tim). Tapi isu itu dibantah oleh seorang pengurus partai bintang Ja-Tim. PPP Sum-Bar pun tak merasa mencalonkannya. "Tentang Pak Naro, biarkan Pulau Jawa yang mencalonkannya," kata H. Yahya, Ketua PPP Sumatera Barat, kepada Fachrul Rasyid dari TEMPO. Bagi Hussein Naro, lumpuhnya kekuatan Naro di PPP bukan karena tak mendapat dukungan pengurus wilayah. Dia menuding Ketua Umum Ismail Hasan Metareum tak menghendaki lagi kekuatan John Naro. "Mungkin dia khawatir kalah pamor, kalah wibawa dengan Pak Naro," kata Hussein, 29 tahun. Namun, tidak semua bekas laskar Naro terpelanting. Darussamin, tokoh yang dahulu paling menggebu-gebu membela Naro, kini masih bertahan di PPP. Dia masuk dalam daftar calon, bahkan konon dipasang pada nomor jadi. Padahal, "Dulu dia adalah buldoser John Naro," kata seorang pengurus pusat PPP. Darussamin beruntung. Menjelang kekuasaannya runtuh di Muktamar PPP di Ancol dua tahun lalu, Naro sempat tawar-menawar dengan Ismail Hasan Metareum. Naro mau mundur asalkan beberapa orangnya tetap dipertahankan di kepengurusan baru. Alhasil, Darussamin dan Mardinsyah tetap bertahan. Rupanya, dalam kepengurusan baru, Darussamin pintar menggalang hubungan dengan kubu Ismail Hasan. "Kini, ia dianggap buldosernya Buya." Jawaban Darussamin, "Loyalitas saya bukan untuk perseorangan, tapi untuk Ketua Umum," katanya beberapa waktu lalu, sambil menampik predikat buldoser itu. Surutnya kekuatan Naro tak berarti membuat bintang partai pudar. Ada beberapa bintang baru yang kabarnya dipersiapkan. Di antaranya Dr. Mochtar Naim, dosen Universitas Andalas. Lalu ada Dr.Ir. Sri Bintang Pamungkas, dosen teknik mesin UI, yang akan dipasang di nomor jadi mewakili PPP DKI. Masuknya intelektual seperti Sri Bintang tidak mengagetkan karena kelompok ini sudah lama diintai PPP. Sri Bintang sendiri tampaknya siap mewakili PPP di lembaga legislatif. "Bagi saya, tak ada masalah," kata ahli mesin yang juga salah satu pemrakarsa Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu. Yang dia maksudkan, barangkali, dia siap menghadapi konsekuensinya, mengingat statusnya sebagai pegawai negeri. Namun, permintaan resmi untuk mencalonkan dia, sampai pekan lalu, belum diajukan oleh pengurus PPP DKI. Calon bintang lain: Prof. Daldiri Mangoendiwirjo, guru besar psikiatri dari Universitas Airlangga, Surabaya, yang dicalonkan PPP wilayah Ja-Tim. Tapi Daldiri belum menyatakan kesediaannya. "Saya masih mikir-mikir dulu. Sebab, tak mau cuma jadi aksesori politik," katanya. Apa pun keputusannya, Daldiri tetap menyatakan pendukung PPP. "Pemilu besok saya tetap mencoblos PPP," tambahnya. Menghadapi Pemilu 1992, PPP juga merangkul kembali kalangan pesantren. Maklum, kaum santri dahulu menjadi pendukung tradisional PPP. Hubungan santri-PPP sempat renggang pada zaman Naro, akibat kusutnya hubungan NU-PPP. Bahkan, beberapa tokoh pesantren menggembosi PPP pada Pemilu 1987, dan berakibat merosotnya perolehan kursi PPP di DPR dari 92 menjadi 61 kursi. Di bawah kepemimpinan Buya Ismail, PPP menyambung kembali silaturahminya dengan para kiai. Hasilnya pun tampak. Tokoh kawakan NU, H.M. Yusuf Hasyim, pengelola Pesantren Tebuireng, Jombang, Ja-Tim, menurut Ketua Umum Ismail H. Metareum, sudah menyatakan keinginannya membantu PPP dalam pemilu. Padahal, dahulunya, orang sering menyebutnya salah satu tokoh yang menggembosi PPP. Tak semua tokoh pesantren bersedia dicalonkan PPP. K.H. Fawaid, 25 tahun, anak almarhum K.H. As'ad Syamsul Arifin, pemimpin Pesantren Asembagus, Situbondo, menolak dicalonkan. "Saya ingin konsisten dengan wasiat almarhum Kiai As'ad," katanya. Jauh sebelum meninggal, Kiai As'ad pernah menulis wasiat buat sang putra: "Kamu jangan jadi pengurus NU, apalagi pengurus parpol dan Golkar. Kamu harus mengurus pondok." Putut Trihusodo, Heddy Lugito, Kelik M. Nugroho, dan Iwan Qodar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini