Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pencalonan anggota DPR/MPR membuat perdebatan keras pusat dan daerah. Beberapa nama kader "inti" DPP dicoret daerah. BOLEH percaya, boleh tidak. Tapi, Sekjen Golkar Rachmat Witoelar mengaku dirinya bagaikan orang yang tak tidur 100 minggu -- gara-gara harus mengurusi penyusunan daftar nama calon anggota DPR/MPR dari kubu beringin. "Ini perkara serius," katanya ketika dijumpai TEMPO di rumahnya, di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan, Sabtu dua pekan silam. Pagi itu, penampilannya agak lecek. Hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong putih yang sudah berlubang. Di dekatnya tergeletak alat telepon genggam (yang tombolnya berulang-ulang dipencet), dan sebuah agenda kecil berisi catatan nomor telepon. Di rumahnya itu, ia juga punya ruang khusus untuk menempatkan seperangkat komputer dan telepon yang dilengkapi faksimile. Soal penyusunan daftar nama calon sementara anggota DPR/MPR yang kini sudah memasuki babak final itu, katanya, "Masih bergoyang-goyang di layar komputer." Maklum, kalau Rachmat -- yang kini juga mengaku terpaksa minum obat penambah daya tahan "Supradyn" -- tak bisa lepas dari alat komunikasi canggih itu. Siang malam ia sibuk menerima dan mengirim daftar calon yang masih harus bolak-balik ke daerah untuk dibahas. Kerjanya itu dilukiskannya, "Kayak orang gila." Partai terbesar di negeri ini memang tampaknya siap menghadapi pemilu tahun depan. Sejumlah muka baru akan ditampilkan. "Setidaknya, 50% anggota DPR yang ada akan diganti. Sedangkan, sisanya akan terus dipertahankan," kata Jacob Tobing, salah satu Ketua DPP Golkar. Dan komposisi calon anggota legislatif yang baru itu, 20% akan diambil dari kalangan generasi muda (di bawah usia 40 tahun). Wanitanya dipatok l5% dari jumIah anggota Golkar di DPR yang dalam pemilu nanti ditargetkan bakal mendapat 300 kursi, lebih banyak 52 kursi dari hasil Pemilu 1987. Daftar calon memang belum rampung disusun. Pembahasan babak akhir tinggal beberapa langkah lagi. Kabarnya, 800 nama terakhir yang akan diajukan kepada Lembaga Pemilihan Umum (LPU) itu sudah ada di kantong beberapa pengurus harian DPP Golkar. Hanya saja, daftar ini belum disahkan oleh rapat pleno "Tiga Jalur" yang terdiri dari Menteri Dalam Negeri Rudini (jalur Birokrasi), Pangab Jenderal Try Sutrisno (jalur ABRI), dan Ketua Umum DPP Golkar Wahono (jalur Golkar). Proses ini pun belum selesai karena daftar nama calon itu masih akan dibawa lagi ke Ketua Dewan Pembina Golkar yang dijabat oleh Pak Harto, untuk mendapat persetujuannya. Setelah itu barulah daftar nama ini disodorkan kepada LPU untuk diumumkan ke masyarakat. Proses seleksi terus menggelinding. Sejumlah muka baru mencuat di antara 2.000 nama calon yang masuk dari berbagai provinsi. Dari kelompok pengusaha, Aburizal Bakrie (yang dicalonkan di Lampung), Fahmi Idris (Sum-Bar), Fadel Muhammad (Sul-Teng), Tanri Abeng (Sul-Sel), Anthony Salim (Ja-Teng), dan Sofyan Wanandi (DKI Jaya). Di kelompok ini juga tampak Iman Taufik (Ja-Bar), Probosutedjo (Sum-Ut), dan Sudwikatmono (Ja-Teng). Lalu ada kakak-beradik Ponco Sutowo (Sum-Sel) dan Adiguna Sutowo (Lampung). Dari kalangan pers juga ada yang tampil. Seperti Bruno Kakawao wartawan harian Suara Karya dan Anzel da Lopez wartawan koran Kompas. Keduanya mewakili NTT. Masdun Pranoto dari harian Angkatan Bersenjata, yang juga Ketua Umum PWI Jaya, dicalonkan di DKI Jakarta. Sedangkan, di Ja-Tim, tampak Pemimpin Redaksi Jawa Pos Dahlan Iskan dan Agil H. Ali Pemimpin Redaksi Memorandum. Lalu, Djok Mentaya, Pemimpin Redaksi Banjarmasin Post, dicalonkan di Kal-Sel. Di barisan ulama, ada Kosim Nurzeha pengisi acara kuliah subuh di radio swasta yang luas penggemarnya, dan K.H. Asad Umar pemimpin pesantren Darul Ulum di Jombang. Keduanya dijagokan di Ja-Tim. Di deretan intelektual ada Soetjipto Wirasardjono ( JaTeng), Mubyarto (DIY), Sri Edi Swasono (Ja-Tim), Abdurrahman Wahid (Ja-Tim), dan Nurcholish Madjid (Ja-Tim). Munculnya nama Nurcholish ini memang mengagetkan. Pada Pemilu 1977 silam ia pernah berkampanye untuk PPP. Toh begitu tak mengurangi minat pengurus DPD Golkar Ja-Tim untuk menggaetnya sebagai wakil Golkar dalam pemilu mendatang. "Kalau masih terus berpikir tentang asal-usul seseorang, berarti Golkar mundur sekian langkah. Kalau mau jujur, juga banyak anggota Golkar di DPR yang bukan murni Golkar," kata salah seorang pengurus DPD Golkar Ja-Tim. Nurcholish sendiri belum mau menyatakan sikapnya atas ajakan itu. "Belum ada yang menghubungi saya. Jadi, ya seperti meninju angin saja," katanya kepada TEMPO ketika dimintai komentarnya. Lagi pula, sejak bulan Agustus 1991 ini, ia berangkat ke Kanada, dan mengajar -- setidaknya selama setahun -- di salah satu universitas di sana. Sikap Cak Nur ini ternyata berbeda dengan Gus Dur -- panggilan akrab Abdurrahman Wahid -- yang pagi-pagi sudah menolak pencalonannya itu. "Saya tak bersedia. Tapi kalau dipanggil ceramah untuk Golkar, ya saya mau," kata Ketua Umum PB Tanfidziyah PB NU itu. Ia juga mengaku tak mengantongi kartu anggota Golkar. "Tapi, Golkar terus saja mencalonkan. Ini kan melanggar aturannya sendiri." Satu-satunya gubernur yang kini masih menjabat tapi sudah didaftarkan sebagai calon anggota dewan adalah Wiyogo Atmodarminto. Memang, tak lama lagi ia bakal mengakhiri jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Artinya, kalau jabatannya itu tak diperpanjang, saat Pemilu 1992 berlangsung nanti ia sudah menjadi "mantan". Ada dugaan, kalau terpilih, ia bakal mengikuti jejak pendahulunya, R. Soeprapto -- bekas Gubernur DKI Jakarta -- yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua MPR. Namun, yang paling menarik dari daftar 2.000 nama calon itu adalah tampilnya Hutomo Mandala Putera yang dicalonkan di Sum-Sel. Padahal, Tommy -- begitu panggilan putra Presiden Soeharto itu -- semula tak masuk dalam daftar nama 4.000 calon. "Siapa sih yang tak kenal dia. Popularitasnya patut diperhitungkan," kata salah seorang pengurus DPD Golkal Sum-Sel. Selain namanya berkibar di dunia usaha, Tommy juga populer di bidang olahraga otomotif. Ia disiapkan sebagai calon jadi oleh DPD Golkar Sum-Sel, kata sumber TEMPO itu. Dari daftar calon yang masih sementara itu -- seperti pemilu sebelumnya -- juga terungkap bakal ada rencana "lompat pagar' dari sejumlah anggota Fraksi ABRI ke Golkar. Seperti Mayjen. (Purn.) Soebijono, Kol. (Pol.) Roekmini Koesoemo Astoeti, dan Mayjen. Saiful Sulun. Mereka yang kini masih tercatat sebagai anggota F-ABRI, sudah dicantumkan sebagai calon anggota DPR untuk Golkar. Lalu bagaimana dengan para menteri yang selama ini dipajang sebagai vote getter? Mereka, menurut Jacob Tobing, hanya sebagai calon pendamping dan diproyeksikan menjadi anggota MPR. "MPR-lah yang sebenarnya justru merupakan titisan rakyat keseluruhan," katanya. Semula juga ada rencana memasukkan nama Wakil Presiden Sudharmono dalam daftar calon di wilayah DKI Jakarta atau di Jawa Timur. Belakangan, rencana itu dibatalkan. "Ada masalah protokoler. Kalau dia berkampanye, tempatnya harus diamankan dulu beberapa hari sebelumnya. Masa dia harus cuti dulu sebagai wakil presiden," kata salah seorang pengurus DPP Golkar kepada TEMPO. Yang juga sempat mengundang tanya adalah "hilangnya" empat nama fungsionaris DPP Golkar: Sri Redjeki, Gunariyah Kartasasmita Mochdie, Marzuki Ahmad, dan Irsyad Sudiro. Mereka ditolak pencalonannya lewat DPD Ja-Bar. Menurut seorang sumber TEMPO di DPD Ja-Bar, keempat orang itu selama ini dianggap tak terlalu memperhatikan permasalahan di Bumi Priangan. "Jadi, akan lebih baik kalau mereka berjuang di daerah lain yang bukan Jawa Barat," katanya. Yang nasibnya juga tak jauh berbeda dengan keempat orang di atas adalah Warno Hardjo. Tokoh yang menempati posisi Sekjen SOKSI ini juga disingkirkan dari daftar calon yang diusulkan oleh DPD Golkar Ja-Bar. Begitu juga tokoh-tokoh Golkar yang selama ini sudah beken. Tiba-tiba tak lagi masuk dalam daftar calon. Seperti Ben Messakh yang tak dicalonkan lagi di daerah pemilihannya yang lalu, NTT. Oka Mahendra ditolak oleh DPD Golkar Bali, dan Djoko Sudjatmiko tak diusulkan oleh Kal-Bar. Tampaknya, ini memang konsekuensi dari beleid pencalonan yang datang dari bawah. "Daerah lebih diberi peluang besar dalam penentuan calon," kata Ketua DPD Ja-Bar Agus Muhyidin. Akibatnya, DPD Kal-Bar misalnya, bahkan berani memberikan masukan untuk penyusunan daftar nama 2.000 orang calon anggota DPR/MPR dengan menyertakan nomor urutnya sekaligus. Padahal, yang seharusnya menentukan nomor urut adalah DPP Golkar. Misalnya saja, Menteri Kehakiman Ismail Saleh yang menjadi vote getter dipasang pada nomor urut 20, dari 44 nama yang disodorkan. Di papan atas dicantumkan nama-nama calon jadi. Begitu juga ihwal terdepaknya Djoko Sudjatmiko yang dianggap terlalu "Jakarta sentris". "Kami juga ingin menampilkan kader dari Kal-Bar yang potensial. Tapi keputusan akhir ada pada DPP. Kami tetap loyal," kata Ketua DPD Golkar Kal-Bar Soedjiman. Daftar 2.000 nama calon itu bukan harga mati. Mungkin saja mereka yang sudah terdepak dari daftar 2.000 nama itu akan masuk lagi dalam daftar terakhir yang terdiri dari 800 nama calon. Sebaliknya, mereka yang sudah masuk dalam daftar 2.000 nama itu, bukan jaminan bakal terus bertahan sampai daftar yang terakhir. Memang pada akhirnya, DPP Golkar-lah terminal paling akhir yang sangat menentukan nama dan peringkat daftar calon. "Kalau mau main keras-kerasan, DPP Golkar yang punya hak prerogatif. Tapi, bagaimanapun kami ingin agar aspirasi daerah tertampung," kata Rachmat. Maka, soal tarik ulur pencalonan dari daerah dan pusat ini diakuinya karena ada perbedaan persepsi. "Kebanyakan orang di daerah itu terlalu berpikir kedaerahan. Tapi, dalam skala nasional, ya jelas kami yang paling tahu," ujar Rachmat lagi. Memang benar bahwa DPP-lah yang tahu persis perjuangan para kader Golkar di pusat yang ikut jatuh bangun membesarkan partai beringin itu, yang mungkin kurang dimaklumi pemimpin daerah yang datang kemudian. Pertimbangan lain lagi, agaknya Golkar akan tetap menampilkan politikus berkualitas nasional yang "lebih berbunyi", di samping -- tentu saja -- wajah baru usulan daerah. Alhasil, ini pertanda bahwa sejumlah nama kondang yang ditolak daerah tadi tampaknya bakal tetap dicalonkan lagi. Bagaimanapun, yang paling menentukan seorang calon berangkat ke Senayan atau tidak adalah perolehan suara dalam pemilu nanti. Ahmed K. Soeriawidjaja, Ardian T. Gesuri, Wahyu Muryadi, dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo