DANA sektor pendidikan bukan harga mati. Suara optimistis ini dikatakan sendiri oleh Menteri P & K Fuad Hassan, mengiringi dimulainya tahun anggaran baru, awal April lalu. Padahal, bila anggaran sektor ini tahun lalu mencapai Rp 1,54 trilyun, tahun 1986-1987 hanya disediakan dana anggaran pembangunan sebesar Rp 1,14 trilyun. Penurunan lebih dari 25% itulah yang sempat menimbulkan spekulasi. Umpamanya, lalu terdengar subsidi untuk program doktor tahun ini dihapus. Kabar yang langsung, waktu itu, dibantah oleh Soekadji Ranuwihardjo, Dirjen Pendidikan Tinggi. "Itu tidak mungkin, sebab program pasca termasuk termasuk prioritas," katanya. Sebab, salah satu ukuran kualitas sebuah perguruan tinggi adalah banyaknya jumlah tenaga pengajar yang doktor, dan master. Dan menurut standar di negeri maju, 40% tenaga pengajar mestinya setingkat doktor dan master. Di Indonesia, kata Dirjen yang punya suara berat ini, dari sekitar 27 ribu dosen di perguruan tinggi negeri hanya 14% yang doktor dan master. Tapi bahwa subsidi untuk program doktor dikurangi, bekas Rektor UGM itu mengiyakannya. Berapa besarnya subsidi itu belum bisa dikatakannya. Untuk ancer-ancer, tahun lalu anggaran Dirjen Pendidikan Tinggi sebesar Rp 110 milyar. Tapi tahun ini anggaran itu hanya Rp 105 milyar. Tapi memang ada dana yang dihapuskan sama sekali di perguruan tinggi. Yakni, dana untuk kuliah kerja nyata, KKN), untuk pengabdian masyarakat, untuk kegiatan mahasiswa, dan penelitian mahasiswa di kampus. Dan satu lagi, dana untuk program diploma semua jurusan di semua IKIP. Toh, pihak perguruan tinggi tak usah khawatir. Lewat surat keputusan bersama dua menteri - Keuangan dan P & K - dimungkinkan 30% uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), dan dana pembinaan pendidikan (DPP) akan dialihkan untuk membiayai empat kegiatan tersebut. Adapun program diploma, sesuai dengan statusnya yang selama ini dianggap proyek yang sudah harus dihentikan tahun ini, dimasukkan ke anggaran rutin. Agaknya, inilah yang oleh Fuad Hassan disebutnya sebagai, "Anggaran bukan mampet total, bisa diatur dengan alasan dan argumentasi yang tepat." Akibatnya bukannya tak ada. Yang sudah terasa adalah di Universitas Sebelas Maret. Solo. Untuk tahun kuliah baru kini, program diploma UNS tinggal berdaya tampung separuh dari tahun lalu. Untuk empat kegiatan yang berhubungan dengan mahasiswa itu, memang kemudian akan bergantung pada penerimaan SPP dan DPP perguruan tinggi masing-masing. "Untuk umpamanya bekas universitas saya, UGM," kata Soekadji, "tak ada masalah. Dana 30% dari SPP itu cukup untuk membiayai keempat program itu, bahkan mungkin bersisa." Tahun lalu, katanya lebih lanjut, 30% dari SPP di UGM berarti Rp 400 juta. Padahal, keempat kegiatan hanya membutuhkan biaya sekitar Rp 225 juta. Di sini, dana sisa bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan lain. "Yang penting, para rektor harus pandai-pandai berupaya." Bagi perguruan tinggi yang tak sebesar UGM, memang bisa repot bila terkumpulnya SPP lebih kecil daripada kebutuhan. Adakah kemungkinan menaikkan uang SPP mahasiswa negeri? "Wah, itu tidak mudah, karena harus ada persetujuan Menteri Keuangan dan Menteri P & K, dan Gubernur tempat perguruan tinggi itu berada," jawab Soekadji. Di luar perguruan tinggi, Menteri P & K memprioritaskan pendidikan kejuruan. "Anggaran untuk pendidikan kejuruan itu lima kali lebih besar daripada sekolah umum," tutur Fuad. Salah satu latar belakang mengapa ini ditekankan, yakin untuk membentuk lulusan yang "punya jiwa mandiri, bisa membuka lapangan kerja di tengah banyaknya pengangguran kini." Bagi Fuad, perhatian mestinya diarahkan ke pendidikan kejuruan ini. Kegiatan mahasiswa justru jangan dimanja. "Para calon sarjana itu justru harus meningkatkan kemampuan mereka dalam segala hal," tambahnya. "Bisa nggak mereka bikin kegiatan bermutu dengan biaya minim atau malah tanpa biaya?" Tapi agaknya gagasan Menteri belum tercerminkan dari cara anggaran pembangunan Departemen P & K disusun. Bila pendidikan kejuruan dianggap penting, menimbulkan tanda tanya, mengapa dalam susunan subsektor pendidikan tak ada dana khusus untuk itu. Anggaran pendidikan kejuruan masih digabungkan dengan anggaran pendidikan lanjutan pertama (Rp 90,5 milyar) dan lanjutan atas (Rp 91,3 milyar). Juga untuk perpustakaan sekolah, yang disebut-sebut Fuad sebagai "kurang memperhatikan pilihan bukunya", ternyata tak diberikan anggaran tersendiri. Untuk ini uangnya ya masuk ke subsektor pendidikan dasar dan menengah (jumlah anggaran kedua subsektor ini lebih dari Rp 202 milyar), dan subsektor program bahasa, sastra, buku, dan perpustakaan (Rp 5,8 milyar). Yang menarik, Fuad Hassan tak menyebut-nyebut soal eksperimen sistem pendidikan. Bukannya anggaran untuk ini tak ada (dalam buku RAPBN khusus Sektor Pendidikan tercantum angka Rp 2,8 milyar untuk pengembangan sistem pendidikan). Tapi tampaknya Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan berniat lebih hati-hati. Program sekolah modul di delapan IKIP yang disebut PPSP itu, umpamanya, contoh bagaimana 12 tahun biaya terbuang tanpa hasil sebanding. Juga, eksperimen-eksperimen kurikulum baru tampaknya tak masuk hitungan yang harus mendapatkan biaya khusus. Mudah-mudahan ini bukan hanya karena RAPBN lebih kecil dari yang lalu, tapi memang ada kebijaksanaan yang mendasar. Bambang Bujono, Laporan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini