Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUKUL 22.00, Kamis pekan lalu. Jakarta masih sibuk dengan jalan-jalannya yang macet dan berdebu. Banyak dari mereka yang bekerja di siang hari masih harus berjuang dalam gegas menuju rumah. Tapi, bagi Sersan Kepala Marhun?bukan nama sebenarnya?dalam malam yang beranjak larut itulah ladang rezekinya justru baru mulai terbuka. Dengan motor Yamaha RX Special keluaran 1990-an, ia menderu dari markasnya di Cijantung menuju satu sudut di perempatan Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Motor diparkir, kemudian anggota satu resimen Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu mengambil tempat duduk di samping seorang rekannya di bangku panjang sebuah warung gerobak. Berkaus oranye lengan pendek berkerah dengan tulisan panitia salah satu kegiatan di lingkungan rukun warga, Marhun masih mengenakan celana loreng seragam lapangannya. Ia menghunus sebatang kretek dan menyalakannya.
Sejak tiba di tempat itu perhatiannya tak beranjak dari deretan angkutan kota yang menempati sisi kiri Jalan Raya Bogor, setelah belokan dari arah terminal Kampung Rambutan. Personel pasukan elite TNI Angkatan Darat ini tak sungkan mengakui bahwa dari deretan mikrolet itulah periuk di dapur rumahnya berasap. "Gaji saja jelas tak cukuplah," katanya lirih.
Selepas SMA di kota kecil di Sumatera Utara, lebih dari sembilan tahun lalu, ia langsung masuk pendidikan TNI, dan enam bulan kemudian boleh menyandang pangkat sersan dua. Sampai kini gajinya belum tembus angka sejuta. Perkara ini jualah yang disenggol Presiden Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya di upacara peringatan Hari TNI, 5 Oktober lalu.
Kemampuan negara menyediakan anggaran pertahanan dan menjamin kesejahteraan prajurit memang masih minim. Bahkan dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di Asia Tenggara saja, kita paling kecil. "Indonesia terendah selama lima tahun terakhir," kata Direktur Perencanaan Pengembangan Kemampuan Departemen Pertahanan, Brigjen Jurefar, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis pekan lalu.
Anggaran pertahanan kita yang berjumlah Rp 21 triliun memang baru berkisar satu persen dari produk domestik bruto (PDB), dan tak sampai enam persen dari total anggaran belanja tahunan tahun ini. Bandingkan dengan Filipina saja, yang mencapai 2,2 persen dari PDB dan 19,88 persen dari anggaran belanja. "Dengan anggaran segitu, sangat sulit membangun pertahanan memadai, untuk kekuatan minimal sekalipun," kata Jurefar.
Bagi Marhun dan para prajurit sejawatnya, masalahnya lebih konkret. Ditambah uang lauk-pauk dan tunjangan ini-itu, tetap saja jumlahnya kecil. Itu pun hampir separuhnya tak pernah benar-benar sampai ke dompetnya, karena keburu dipotong kanan-kiri untuk cicilan rupa-rupa. "Anak dua dan mulai butuh biaya sekolah," katanya. "Orang tua dan mertua juga sesekali harus disokong." Kalaupun dua tahun lalu ia mampu membeli Yamaha bekas itu, katanya, itu adalah berkat kegiatan malam tadi.
Setiap malam ratusan angkutan silih berganti ngetem di "wilayah"-nya. Tiap kendaraan yang berhasil memuat penuh penumpang harus menyetor uang calo Rp 2 ribu. Mikrolet 112 jurusan Kampung Rambutan-Depok saja ada 200 unit. Separuh dari mereka beroperasi juga di malam hari, dan paling kurang setengahnya menyempatkan mangkal di perempatan itu. Jalur 37, yang melayani trayek Kampung Rambutan-Cisalak, pun tak kalah banyaknya, dan masih ada lagi jalur 41 jurusan Cileungsi.
"Satu angkutan bisa tiga kali ngetem dalam semalam," kata seorang sopir 112 kepada Tempo. Bagi para sopir, keberadaan Marbun dan kawan-kawan justru disyukuri. "Jadinya lebih aman," kata Syafruddin, sopir mikrolet 37. Ia membandingkannya dengan ketika para preman jalanan yang "berkuasa" di tempat itu. Banyak terjadi pencopetan atau penodongan di sekitar perempatan. Tak jarang para sopir gigit jari karena uang setoran habis dipalak.
Marhun memang tak sendirian. "Ada dua belas orang," seorang sopir bercerita. "Rata-rata sersan kepala, tapi ada juga yang sersan dua." Para tentara ini pun tak turun tangan langsung mengutip duit dari para awak angkutan. Maklum, komandan mereka minta agar "operasi" dijalankan dengan lebih sopan. Karena itu, yang tampak berteriak-teriak memanggil penumpang tetap saja calo sipil.
Bergantian Marhun dan kawan-kawannya mengambil setoran dari tiga calo, yang juga bergiliran "piket". Dari situlah mereka berbagi, termasuk menyisihkan upeti bagi sang komandan. "Pokoknya lumayan, lebih dari gaji," kata tentara ini, tak mau berterus terang soal pendapatan tambahan tiap personel dari sisi selatan perempatan Pasar Rebo itu. Sisi-sisi selebihnya sudah bukan lagi "kekuasaan" Marhun dan kawan-kawan. "Ada polisi, ada juga yang dipegang kesatuan lain," ujarnya.
Mereka yang sudah punya tempat ngobyek tentu lebih tenang. Tak seperti Sersan Dua Dahman?juga bukan nama sebenarnya?yang malam itu terpaksa mampir menemui Marhun untuk sekadar menumpang minum kopi gratis dan berbagi rokok. Sampai hampir pukul 23.00 itu ia belum juga beroleh "klien" truk-truk trailer dari kawasan industri di sepanjang Jalan Raya Bogor dan sekitarnya, yang meminta jasa pengawalan. "Mereka lebih suka pakai polisi lalu lintas atau Brimob," katanya setengah mengeluh.
Udin B., petugas derek mobil Metro Club yang ditemui Tempo di depan pintu tol Dukuh, depan Taman Mini Indonesia Indah, mengakui hal itu. Para awak angkutan barang dan peti kemas, katanya, menganggap tentara tak lagi "sakti" di jalanan. Beda dengan beberapa tahun lalu. "Kontak saya saja kalau butuh personel, semua Brimob," kata Udin sambil menyodorkan kartu nama, yang juga berwarna cokelat.
Tak hanya di Pasar Rebo. Di Cilandak dan Pondok Labu, yang dekat dengan markas Marinir, atau markas Kostrad di Cilodong dan tempat-tempat lainnya, cerita tentang tentara (dan polisi) kelas balok di lengan yang harus banting tulang mencukupi hidupnya ini dengan gampang bisa disaksikan. Tak sedikit dari mereka bahkan mengais rezeki tambahan di tempat-tempat yang lebih kelam, seperti lokalisasi liar Kalijodo dan sejenisnya.
Pemandangan ini ibarat bumi dan langit jika kita persandingkan dengan penampilan dan gaya hidup di level perwira tinggi. Lihat saja harta miliaran rupiah yang dilaporkan para jenderal yang tempo hari sibuk mencalonkan diri memimpin Republik. Tempat tinggal mereka di kompleks perumahan me-wah?dan biasanya tak hanya satu?pun amat tak sebanding dengan barak prajurit yang umumnya miskin fasilitas. Berbisniskah mereka?
Meskipun formalnya dilarang, dan kembali ditegaskan melalui Undang-Undang TNI yang disetujui DPR pada 30 September lalu, hampir semua pernyataan resmi yang datang dari TNI maupun pemerintah memberikan permakluman. Dalam sebuah forum bersama DPR pun Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, yang Jumat lalu mengundurkan diri, terang-terangan mengatakan pihaknya "membiarkan" praktek itu berjalan mulai di level paling bawah hingga teratas. Alasannya, bisnis itu diperlukan untuk menutupi anggaran yang cekak.
Tapi benarkah aneka bisnis di bawah yayasan-yayasan tentara ini merata dinikmati seluruh anggota TNI, sesuai dengan tujuannya? Melihat gambaran yang ada di barak prajurit di satu sisi, dan "istana" para jenderal di sisi yang lain, agaknya masih jauh panggang dari api. Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin pun tak membantah hal ini. Keberadaan yayasan-yayasan itu tidak memberikan pemasukan signifikan bagi pemenuhan kebutuhan TNI.
Ia mencontohkan, yayasan yang dimiliki TNI AD hanya memberikan Rp 50 miliar per tahun. "Jumlah itu hanya nol koma sekian persen dari pemenuhan kebutuhan TNI. Apa cukup?" kata Sjafrie. Memang tak cukup, apalagi kalau yang sedikit itu bocor pula sejak di atas.
Dan untuk itu Sersan Dua Dahman harus lebih sabar menunggu order di perempatan Pasar Rebo, sambil sesekali memandang iri aparat berbaju cokelat yang gagah mengawal truk itu menuju Pelabuhan Tanjung Priok.
Y. Tomi Aryanto, Yandrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo