SEBUAH kantor kabupaten tanpa alun-alun dan pohon beringin
memang terasa kurang afdol. Tapi, bukan hanya karena ingin punya
alun-alun saja, sehingga Kabupaten Bogor merencanakan ibukota
baru untuk segenap kantor bagi aparatnya yang dirasakan sudah
tak tertampung di wilayah Kodya Bogor. Untuk itu, pilihan jatuh
pada Cibinong. Restu Menteri Dalam Negeri tentang hal itu sudah
turun belum lama ini.
Semula, karena hanya perlu kantor untuk mengendalikan
pemerintahan, Pemda tingkat II Kab. Bogor menunjuk Desa
Rancamaya di sebelah selatan Kota Bogor. Pertimbangannya,
seperti telah disetujui DPRD (1975), tanah milik pemerintah di
Rancamaya masih cukup luas. Tapi Mendagri, yang ingin agar
pemindahan Ibukota juga dapat mengembangkan wilayah, tak
menyetujui pemindahan kantor-kantor ke Rancamaya.
Mengapa Cibinong? Letaknya memang menarik: cuma 20 km dari
Bogor. Meskipun jaraknya dengan DKI Jaya 40 km, kegiatan
Cibinong banyak berbau Jakarta. Dapat dicapai dari Jakarta
maupun Bogor melalui jalan raya biasa. Atau melalui Jalan Tol
Jagorawi. Dari Cibinong, melalui Citeureup, ada "jalan semen"
(jalan beraspal licin yang dibuat pabrik semen) yang bisa
memotong langsung ke Bekasi. Belum lagi jalan keretaapi
Jakarta-Bogor yang memintas di sana juga.
Dari Cibinong kelak, Pemda Kabupaten Bogor dapat lebih dekat
dengan kegiatan yang menjadi urusannya. Sebab kurang lebih 15
pabrik besar berada di sekitarnya. Di samping beberapa pabrik
tekstil, farmasi, dua pabrik semen -- Semen Cibinong dan
Indocement -- stasiun utama pengendalian Satelit Palapa juga
berada di sana. Dan, sebelum lupa, di Cibinong terdapat juga
lapangan golf terluas di Indonesia -- mungkin juga se Asia
Tenggara.
Sumber-sumber pajak tersebut terletak menyebar dan tak begitu
dekat dengan pusat kota nanti. Dengan demikian, menurut Ketua
Bappeda Kabupaten Bogor, Ir. Pepet M. Syafei, perluasan Kota
Cibinong kclak masih sangat mungkin. Tinggal lagi mengatur
pemukiman. Apalagi, menurut rencana Departemen Dalam Negeri, di
situ direncanakan pula salah satu lokasi pusat industri di Pulau
Jawa.
Kelenteng
Karena keadaan topografi daerah datar, iklim dan penyediaan air
yang baik, Cibinong memang sangat mungkin menjadi tempat
pemukirnan: temperatur rata-rata 25,8ø C, curah hujan tergantung
angin muson yang bertiup dari Samudera Indonesia, membawa hujan
pada bulan-bulan November sampai Maret atau April. Jaringan
sanitasi bisa melalui sungai-sungai Ciliwung, Ciluar, Cikeas.
Juga situ atau danau kecil seperti Cikaret dan Cibinong.
Penduduk, menurut catatan 1975, sekitar 85 ribu jiwa -- dengan
tambahan rata-rata 10,1%/tahun. Angka tenaga kerja meningkat
bersamaan dengan dibukanya macam-macam pabrik.
Perusahaan-perusahaan besar sedikitnya menampung 500 tenaga.
Tapi, menurut Ketua Bappeda, Syafei, pendapatan perkapita
penduduk calon ibukota kabupaten tersebut termasuk tinggi 450
dollar/tahun (di Bogor rata-rata 500 dollar).
Pendapatan yang rata-rata cukup ringgi itu tak ada hubungannya
dengan Cibinong yang pernah disebut sebagai daerah Cina. Di
Cileungsi, memang ada sebuah kelenteng terkenal. Tapi, menurut
Camat Cibinong A. Rochmat, keturunan Cina di situ "sudah seperti
kita saja -- sudah kawin dengan orang kita dan juga sudah
salat." Pokoknya, sudah berbaur.
Rencana Kota Cibinong sudah disusun sejak 1976 oleh Pemda
bekerjasama dengan Dept. PUTL (sekarang PU). Rencana
diselaraskan dengan jumlah penduduk yang mungkin sekitar 145
ribu pada tahun 2000. Kepadatan penduduk diusahakan akan dijaga
di bawah 50 jiwa/hektar. Pemukiman diatur agar daerah hijau juga
terjaga. Menurut Syafei, Pemda membutuhkan sekitar 50 hektar
untuk perkantoran yang dibeli dari tanah rakyat. Letaknya di
bagian timur kota.
Penduduk, tentu saja, masih boleh memiliki tanah. Hanya saja,
dalam rangka pengaturan, jual-beli tanah sementara dilarang --
terutama untuk mencegah tangan-tangan kotor yang mau main tanah.
Perumahan akan diatur di sebelah barat jalan raya. Yang sudah
telanjur ada di sebelah timur, begitu rencananya, hanya boleh
ditingkatkan mutunya saja -- tak boleh dikembangkan.
Tapi, "semuanya itu baru rencana," kata Bupati Bogor H. Ayip
Rughby. Jangan tanya soal biaya dulu -- belum lagi ditentukan:
dari anggaran daerah atau nasional.
Beberapa orang penduduk sudah tahu rencana buat daerahnya. Tapi,
orang seperti Ipung, penjual nasi di Desa Cilangkap, tak begitu
paham apa arti rencana tersebut buat dirinya. "Saya jual nasi
ini 'kan daripada 'nganggur saja -- apa nantinya akan lebih
maju, tidak tahu juga," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini