Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Lapar Akan Menyusul Longsor

Bencana tanah longsor menimpa desa Pengadegan, Cianjur. kawasan tersebut sangat kritis. 9 orang penduduk meninggal dunia. dikhawatirkan terjadi kelaparan. pemerintah akan memindahkan penduduk setempat. (dh)

10 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMAT 5 Desember 1980, penduduk Desa Pangadegan, Kecamatan Pagelaran -- 60 km sebelah selatan Cianjur (Ja-Bar), tidak banyak yang keluar rumah. Karena selesai sembahyang Jumat, hujan turun dengan lebatnya. "Memang firasat saya, hari itu akan terjadi bencana," tutur Hamim, 61 tahun, penduduk Pangadegan. Di rumahnya terdengar bunyi berderak-derak. Ia segera keluar dan kaget karena kolam sebelah rumahnya mendadak kering, padahal waktu itu air seperti dicurahkan dari langit. Tak lama kemudian tanah di sekitar rumah Hamim bergerak, dan retak-retak. Segera setelah itu terdengar suara menggelegar diikuti tanah longsor -- hanya beberapa meter dari rumahnya. Di tengah hujan lebat itu semua penduduk desa berhamburan keluar rumah. Tanah longsor bukan hal baru bagi penduduk Kecamatan Pagelaran. Hampir di setiap musim hujan tanah di desa itu bergerak. Tapi longsor di akhir 1980 itu rupanya paling hebat menimpa Pangadegan. Enam kepunduhan (dukuh) tertimpa bencana itu. Tidak seluruh kawasan itu amblas memang. Tapi semua dataran di sana seluruhnya seluas 594.301 ha, terus retak dan bergerak-gerak. Itu sudah termasuk kawasan Desa Pangadegan yang luasnya 3.500 ha. Karena sudah ada tanda-tanda sebelumnya, banyak penduduk berhasil menyelamatkan diri hingga tidak ada korban manusia. Tapi sekitar 1.462 rumah terancam hancur karena tanah terus bergerak. Tak kurang dari 115 rumah sudah rusak atau rubuh sama sekali, belum lagi bangunanbangunan umum seperti masjid-masjid sekolah, balai desa dan bangunan puskesmas. Menurut Ir. Joedo D. Elifas, Kepala Sub Direktorat Geologi Teknik Direktorat Geologi Tata Lingkungan, hasil penelitian 1976 menyimpulkan: sejak zaman Belanda tanah di sekitar Desa Pangadegan sudah dinyatakan kritis. Tapi yang paling gawat, dirasakan sejak 1960 -- menyangkut tanah seluas 3.000 ha. Empat tahun setelah itu terjadi lagi longsor lebih hebat, dan dinyatakan sebagai bencana nasional. Waktu itu 10 ribu ha tanah rusak, begitu pula beberapa jalan hingga jalan Sindangbarang-Cianjur terpaksa harus dipindah. Sejak 1972 keadaan daerah itu tambah parah. Karena itu Direktorat Geologi merasa perlu menghimbau agar kawasan tersebut dikcringkan dan dihijaukan dengan tanaman pengisap air. Sawah dan kolam supaya ditiadakan. Tapi anjuran itu tidak bersambut. Joedo sendiri memberi bukti di daerah yang mestinya dikeringkan itu kini justru dibangun dam irigasi. Bedol Desa Untuk mengawasi kemungkinan munculnya bencana itu, sebenarnya Direktorat Geologi sejak Oktober 1980 sudah menempatkan tim pengawas di sekitar daerah tersebut. Menurut Joedo, daerah Ja-Bar sebelah selatan sebagian besar memang labil. Yaitu kawasan-kawasan sebelah selatan dari Tasikmalaya -- Garut --Cianjur -- Sukabumi. Tentang anjuran mengosongkan daerah ini dari penduduk, memang sudah dilakukan oleh pihak Pemda Kabupaten Cianjur. Tapi seperti diakui oleh Menteri PU Purnomosidi ketika meninjau ke sana pertengahan Desember lalu, daerah ini sangat subur, "sehingga sayang kalau sama sekali dikosongkan." Bupati Cianjur Ajat Sudrajat sudah pula merencanakan dua kemungkinan pemindahan penduduk. Pertama bedol desa ke Pulau Buru dan Kal-Sel. Untuk ini sudah disiapkan 75 kk. Yang kedua transmigrasi lokal ke Kampung Harendongpapak, masih di kawasan Pangadegan. Sampai pekan lalu umumnya penduduk masih punya persediaan makan buat sementara waktu. Tapi selanjutnya harus dipikirkan penanggulangannya. Bencana yang lebih mengerikan diramalkan bakal terjadi justru menjelang musim panen, karena sekitar 213 ha sawah rusak berat. Selain itu ada 11.073 ha sawah terancam kekeringan karena air tersedot ke dalam retakan tanah. Pjs. Kepala Desa Pangadegan, E. Kosasih, amat prihatin. "Kelak, di saat orang sudah melupakan bencana longsor, saya khawatir muncul bahaya kelaparan," katanya. Sebelum kekhawatiran Kosasih itu muncul, ribuan meter kubik tanah di sebuah kampung di Kabupaten Sumedang, sebelah utara Garut, juga longsor. Tepatnya di Kampung Cilingga, Desa Cibugel, Kecamatan Darmaraja. Musibah terakhir ini bahkan sempat mengorbankan nyawa 9 orang penduduk. Mereka tertimpa pepohonan atau terhimpit reruntuhan rumah. Mereka umumnya tinggal di kaki perbukitan. Sekitar 75 meter di atas pemukiman itu terhampar sawah tadah hujan. Tanah persawahan itulah yang longsor. Cibugel, termasuk salah satu kawasan DAS Cimanuk, sejak zaman Belanda juga sudah dinyatakan kritis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus