JUMAT 5 Desember 1980, penduduk Desa Pangadegan, Kecamatan
Pagelaran -- 60 km sebelah selatan Cianjur (Ja-Bar), tidak
banyak yang keluar rumah. Karena selesai sembahyang Jumat, hujan
turun dengan lebatnya.
"Memang firasat saya, hari itu akan terjadi bencana," tutur
Hamim, 61 tahun, penduduk Pangadegan. Di rumahnya terdengar
bunyi berderak-derak. Ia segera keluar dan kaget karena kolam
sebelah rumahnya mendadak kering, padahal waktu itu air seperti
dicurahkan dari langit.
Tak lama kemudian tanah di sekitar rumah Hamim bergerak, dan
retak-retak. Segera setelah itu terdengar suara menggelegar
diikuti tanah longsor -- hanya beberapa meter dari rumahnya. Di
tengah hujan lebat itu semua penduduk desa berhamburan keluar
rumah.
Tanah longsor bukan hal baru bagi penduduk Kecamatan Pagelaran.
Hampir di setiap musim hujan tanah di desa itu bergerak. Tapi
longsor di akhir 1980 itu rupanya paling hebat menimpa
Pangadegan. Enam kepunduhan (dukuh) tertimpa bencana itu.
Tidak seluruh kawasan itu amblas memang. Tapi semua dataran di
sana seluruhnya seluas 594.301 ha, terus retak dan
bergerak-gerak. Itu sudah termasuk kawasan Desa Pangadegan yang
luasnya 3.500 ha. Karena sudah ada tanda-tanda sebelumnya,
banyak penduduk berhasil menyelamatkan diri hingga tidak ada
korban manusia.
Tapi sekitar 1.462 rumah terancam hancur karena tanah terus
bergerak. Tak kurang dari 115 rumah sudah rusak atau rubuh sama
sekali, belum lagi bangunanbangunan umum seperti masjid-masjid
sekolah, balai desa dan bangunan puskesmas.
Menurut Ir. Joedo D. Elifas, Kepala Sub Direktorat Geologi
Teknik Direktorat Geologi Tata Lingkungan, hasil penelitian 1976
menyimpulkan: sejak zaman Belanda tanah di sekitar Desa
Pangadegan sudah dinyatakan kritis. Tapi yang paling gawat,
dirasakan sejak 1960 -- menyangkut tanah seluas 3.000 ha. Empat
tahun setelah itu terjadi lagi longsor lebih hebat, dan
dinyatakan sebagai bencana nasional. Waktu itu 10 ribu ha tanah
rusak, begitu pula beberapa jalan hingga jalan
Sindangbarang-Cianjur terpaksa harus dipindah.
Sejak 1972 keadaan daerah itu tambah parah. Karena itu
Direktorat Geologi merasa perlu menghimbau agar kawasan tersebut
dikcringkan dan dihijaukan dengan tanaman pengisap air. Sawah
dan kolam supaya ditiadakan. Tapi anjuran itu tidak bersambut.
Joedo sendiri memberi bukti di daerah yang mestinya dikeringkan
itu kini justru dibangun dam irigasi.
Bedol Desa
Untuk mengawasi kemungkinan munculnya bencana itu, sebenarnya
Direktorat Geologi sejak Oktober 1980 sudah menempatkan tim
pengawas di sekitar daerah tersebut. Menurut Joedo, daerah
Ja-Bar sebelah selatan sebagian besar memang labil. Yaitu
kawasan-kawasan sebelah selatan dari Tasikmalaya -- Garut
--Cianjur -- Sukabumi.
Tentang anjuran mengosongkan daerah ini dari penduduk, memang
sudah dilakukan oleh pihak Pemda Kabupaten Cianjur. Tapi seperti
diakui oleh Menteri PU Purnomosidi ketika meninjau ke sana
pertengahan Desember lalu, daerah ini sangat subur, "sehingga
sayang kalau sama sekali dikosongkan."
Bupati Cianjur Ajat Sudrajat sudah pula merencanakan dua
kemungkinan pemindahan penduduk. Pertama bedol desa ke Pulau
Buru dan Kal-Sel. Untuk ini sudah disiapkan 75 kk. Yang kedua
transmigrasi lokal ke Kampung Harendongpapak, masih di kawasan
Pangadegan.
Sampai pekan lalu umumnya penduduk masih punya persediaan makan
buat sementara waktu. Tapi selanjutnya harus dipikirkan
penanggulangannya. Bencana yang lebih mengerikan diramalkan
bakal terjadi justru menjelang musim panen, karena sekitar 213
ha sawah rusak berat. Selain itu ada 11.073 ha sawah terancam
kekeringan karena air tersedot ke dalam retakan tanah.
Pjs. Kepala Desa Pangadegan, E. Kosasih, amat prihatin. "Kelak,
di saat orang sudah melupakan bencana longsor, saya khawatir
muncul bahaya kelaparan," katanya. Sebelum kekhawatiran Kosasih
itu muncul, ribuan meter kubik tanah di sebuah kampung di
Kabupaten Sumedang, sebelah utara Garut, juga longsor. Tepatnya
di Kampung Cilingga, Desa Cibugel, Kecamatan Darmaraja.
Musibah terakhir ini bahkan sempat mengorbankan nyawa 9 orang
penduduk. Mereka tertimpa pepohonan atau terhimpit reruntuhan
rumah. Mereka umumnya tinggal di kaki perbukitan. Sekitar 75
meter di atas pemukiman itu terhampar sawah tadah hujan. Tanah
persawahan itulah yang longsor. Cibugel, termasuk salah satu
kawasan DAS Cimanuk, sejak zaman Belanda juga sudah dinyatakan
kritis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini