Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bola Api Korupsi KTP

Politikus Hanura yang menjadi kunci KPK mengungkap korupsi KTP elektronik mencabut kesaksian. Tertekan setelah mengungkap penyebaran suap.

27 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIAM-diam Setya Novanto bergerilya menemui para politikus Dewan Perwakilan Rakyat yang namanya disebut dalam dakwaan megakorupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) di Kementerian Dalam Negeri. Salah satunya Markus Nari, anak buahnya di Partai Golkar.

Nama Markus tertera dalam dakwaan untuk Irman dan Sugiharto, dua pejabat Kementerian Dalam Negeri yang dituduh menyuap 62 anggota DPR untuk memuluskan proyek senilai Rp 5,9 triliun pada 2010-2012 itu. Seperti pengakuan Sugiharto kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, ia pernah memberikan Rp 4 miliar kepada Markus pada Maret 2012 di Restoran Bebek Bali Senayan, Jakarta Selatan.

Dalam sebuah acara Golkar tahun lalu, Setya menanyakan keterlibatan koleganya itu dalam perkara ini. "Saya jawab tidak," kata Markus pekan lalu. Kepada Tempo, Setya mengaku pernah menanyakan soal korupsi tersebut kepada sejumlah koleganya. "Ada enggak elu terima? Mereka menjawab 'Enggak ada, Beh'," ujarnya.

Dalam kesaksian Sugiharto, pemberian uang untuk Markus ini terceritakan dengan detail. Direktur Pengelola Informasi Kependudukan ini diminta oleh Irman, Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan, memberikan suap kepada Markus Rp 5 miliar. Uang itu diperoleh Sugiharto dari PT Quadra Solution, anggota konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia, yang memenangi tender proyek ini, dalam bentuk dolar Singapura sebanyak Sin$ 13 ribu.

Sugiharto lalu mengontak Markus untuk menentukan tempat penyerahan uang. Mereka bersepakat di Restoran Bebek Bali Senayan. "Lokasinya dekat stasiun TVRI," katanya kepada penyidik. Tiba di restoran, hanya ada satu pengunjung. Ia belum pernah bertemu dengan Markus. Saat pengunjung itu didekati dan ia mengenalkan diri sebagai anak buah Irman, laki-laki tersebut langsung bertanya, "Mana?" Dialah Markus Nari, kata Sugiharto.

Setelah amplop cokelat berisi uang diserahkan Sugiharto, Markus mengatakan akan memberitahukan penerimaan uang itu kepada Irman. Saat dimintai konfirmasi tentang cerita Sugiharto kepada penyidik KPK ini, Markus membantahnya. "Restorannya saja saya tak tahu," ucapnya.

Soal adanya gerilya meredam para saksi korupsi KTP ini, Markus mengatakan pernah mengantar Miryam S. Haryani, politikus Hanura, bertemu dengan koleganya sesama politikus Golkar. Mereka membicarakan soal megakorupsi yang menyeret banyak politikus beken di Senayan itu.

Kepada politikus tersebut, Miryam bercerita pernah ditanya oleh Setya Novanto di ruang kerja Ketua DPR di lantai tiga gedung DPR. Setya memprotes kesaksian Miryam yang menegaskan ada pembagian uang suap korupsi KTP elektronik kepada anggota Komisi Pemerintahan. Markus menolak menceritakan isi keluh-kesah Miryam setelah dipanggil Setya itu. "Saya hanya mengantar," katanya.

Yang jelas, dalam sidang kedua dakwaan untuk Irman dan Sugiharto pada Kamis pekan lalu, Miryam mencabut semua keterangannya di depan penyidik KPK. Sambil menangis di depan hakim, Miryam mengatakan mendapat ancaman dari penyidik sehingga memberikan kesaksian ia menebar fulus untuk banyak koleganya agar menyetujui anggaran proyek e-KTP.

Hakim sempat mangkel mendengar keterangan Miryam tersebut. Soalnya, dalam beberapa kali pemeriksaan yang tertuang dalam dakwaan, Miryam menceritakan kronologi pemberian uang suap secara runut. "Mungkin waktu di sekolah pelajaran mengarang dapat nilai sepuluh," kata hakim Franki Tambuwun.

Jika membaca dakwaan jaksa, Miryam adalah simpul utama dakwaan Irman dan Sugiharto. Kepada KPK, ia mengaku pernah diminta diam jika diberi "sesuatu" oleh anggota Komisi lain. Ia mengaku pernah diberi US$ 6.000 oleh Ketua Komisi Chairuman Harahap. Juga empat kali diberi uang oleh Sugiharto di rumahnya sebanyak US$ 500 ribu, yang dibenarkan Sugiharto kepada penyidik.

Chairuman, kata Miryam kepada penyidik, meminta semua uang itu dimasukkan ke amplop untuk dibagikan kepada koleganya yang lain di Komisi III. Oleh Miryam, uang tersebut dibagikan kepada pimpinan dan Ketua Kelompok Fraksi. Untuk beberapa anggota lain diberikan secara langsung.

Bola panas kesaksian inilah yang dicabut Miryam dalam sidang. Kepada hakim, ia mengaku memberikan keterangan itu untuk menyenangkan KPK ketika diperiksa salah satu penyidik, Novel Baswedan. Ia mengaku ketakutan karena diberi tahu hampir ditangkap pada 2010. "Karena ditekan, saya asal ngomong saja," katanya.

Karena pencabutan itu, hakim akan memanggil Novel dalam sidang pekan ini. Novel menampik tudingan mengancam dan menekan Miryam saat memeriksanya pada Desember tahun lalu. "Semua pemeriksaan ada rekamannya, video, dan audio visual," katanya. Wakil Ketua KPK Laode Syarif membenarkan pernyataan itu. "Setiap pemeriksaan bisa dipantau semua komisioner KPK secara real time," tuturnya.

Perubahan sikap Miryam ini agak mengejutkan. Saat diwawancarai Tempo pada 20 Desember 2016, ia tak tampak tertekan. Ia menceritakan bagaimana diperiksa dalam perkara itu. Menurut dia, penyidik lebih banyak bertanya tentang proses penganggaran proyek e-KTP di Komisi Pemerintahan. "Tak ada teror, I am happy," katanya.

Rupanya, rasa happy Miryam tak bertahan lama. Begitu dakwaan untuk Irman dan Sugiharto dibacakan jaksa di sidang dan namanya disebut sebagai operator pemberian suap, Miryam mulai ketakutan. Apalagi setelah ia dipanggil Setya Novanto, yang menanyakan kesaksiannya tersebut.

Setya merasa perlu bertanya kepada politikus yang namanya disebut dalam dakwaan karena namanya juga mencuat dan diduga menjadi pengatur proyek ini berikut pengaturan suapnya. Dari kesaksian Irman dan Sugiharto, Setya disebut beberapa kali bertemu pejabat Kementerian Dalam Negeri dengan perantara Andi Agustinus alias Andi Narogong.

Andi Narogong bukan orang asing bagi Setya. Mereka berkenalan saat Setya masih menjadi Bendahara Partai Golkar. Seperti diakui Setya Novanto, Andi menawarkan menyediakan kaus bagi acara Golkar. Nama keduanya juga muncul dalam proyek pengadaan baju hansip senilai Rp 400 miliar di Kementerian Dalam Negeri. Karena itu, ia kenal dengan Irman. Andi pula yang merekomendasikan Irman menjadi Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan untuk memuluskan proyek e-KTP. Kepada KPK, Irman mengaku pernah ditemui Andi untuk mengatur proyek KTP ini.

Pada Kamis pekan lalu, penyidik KPK mencokok Andi Narogong di Jakarta Selatan. KPK langsung menetapkannya sebagai tersangka dan menahannya. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan beralasan KPK perlu menahan Andi untuk memeriksanya karena pengusaha ini dikhawatirkan kabur lantaran namanya disebut dalam dakwaan untuk Irman dan Sugiharto.

Setya Novanto geleng-geleng ketika dimintai konfirmasi soal upayanya mempengaruhi saksi korupsi e-KTP. Kepada wartawan, Senin pekan lalu, ia malah berharap tak ada intervensi mengenai persidangan e-KTP. "Silakan di pengadilan saja," katanya.

Wayan Agus Purnomo, Danang Firmanto, Ahmad Faiz, Maya Ayu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus