Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Badan Pengawas Obat dan Makanan memastikan semua tahapan vaksin harus sesuai dengan standar nasional dan internasional.
Dewan menghujani BPOM dengan kritik lantaran tak mau memberikan izin uji klinis fase kedua untuk vaksin Nusantara.
Tudingannya menjegal karya anak bangsa
JAKARTA -- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memastikan menerapkan standar yang sama terhadap semua penelitian vaksin Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia. BPOM menegaskan tidak akan memberikan pengecualian terhadap salah satu jenis vaksin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala BPOM, Penny Kusumastuti Lukito, mengatakan semua tahap penelitian vaksin harus sesuai dengan standar nasional ataupun internasional. "Tidak ada pengecualian. Tidak ada pilih-pilih. Semua sama," kata Penny dalam konferensi pers, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penny menuturkan pengembangan vaksin sel dendritik SARS-CoV-2, atau disebut vaksin Nusantara, juga harus taat prosedur. Pengembangan vaksin ini belum mendapat izin untuk dilanjutkan ke tahap uji klinis fase II lantaran dianggap tidak memenuhi standar penelitian. Menurut inspeksi BPOM, penelitian vaksin yang digagas bekas Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto ini tidak melalui tahap uji praklinis.
Padahal, kata Penny, uji praklinis perlu dilakukan untuk mengetahui konsep dasar vaksin. Tujuannya agar ada perlindungan kepada subyek penelitian yang melibatkan manusia dalam tahap uji klinis selanjutnya. "Kalau praklinis tidak dilakukan dan langsung meloncat ke clinical trial, pasti nanti kesalahan ada di sana," katanya.
Kepala BPOM, Penny Kusumastuti Lukito. pom.go.id
Vaksin Nusantara pertama kali diperkenalkan pada November lalu oleh Terawan ketika masih menjabat Menteri Kesehatan. Riset pengembangan vaksin ini dilakukan melalui kerja sama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan serta PT Rama Emerald Multi Sukses. Rama Emerald merupakan pemegang lisensi dari AIVITA Biodemical Inc, perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat sekaligus pengembang terapi sel dendritik SARS-CoV-2. Saat uji klinis fase I, mereka bekerja sama dengan RSPAD Gatot Soebroto dan Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi, Semarang, Jawa Tengah.
Penny mengatakan, selain melompati prosedur, berdasarkan inspeksi BPOM terhadap uji klinis fase I vaksin Nusantara, terdapat prosedur yang tak dilakukan peneliti. BPOM menyebutkan bahwa keamanan vaksin, kemampuan vaksin dalam membentuk antibodi, serta pembuktian mutu dari produk vaksin dendritik belum memadai. Temuan inilah yang membuat BPOM tidak memberikan izin kepada peneliti untuk melanjutkan ke tahap uji klinis fase II.
Menurut dia, pengembangan vaksin merupakan teknologi tinggi dengan standar ketat dan aspek yang harus dipenuhi. Dari aspek good clinical practice (GCP), good laboratoring practice (GLP), hingga good manufacturing practice (GMP). Pelaksanaan uji klinis pun tak bisa mengabaikan semua persyaratan tersebut. Jika dilewati dan diabaikan, kata Penny, penelitian harus diulang dari awal.
BPOM telah menyampaikan hasil inspeksi terhadap proses uji klinis fase I vaksin Nusantara ke Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat pada 10 Maret lalu. Kala itu, anggota Dewan menghujani BPOM dengan kritik lantaran tak mau memberikan izin uji klinis fase II untuk vaksin Nusantara. Anggota Dewan menuding BPOM ingin menjegal karya anak bangsa. "BPOM betul-betul tidak mendukung pengembangan vaksin dalam negeri," kata Wakil Ketua Komisi Kesehatan DPR dari Fraksi Partai Golkar, Emanuel Melkiades Laka Lena.
Tekanan kepada BPOM tak berhenti. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy ikut memanggil Kepala BPOM untuk menanyakan alasan penolakan pemberian izin uji klinis fase II vaksin Nusantara. Muhadjir mengatakan pertemuan itu juga dihadiri Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Sebelum pertemuan itu, Muhadjir lebih dulu memanggil Terawan selaku penggagas riset vaksin Nusantara dan beberapa penelitinya.
Muhadjir mengatakan ingin mendapat penjelasan secara komplet dari BPOM soal polemik vaksin Nusantara. Ia meminta semua pihak agar menahan diri. "Semuanya punya maksud dan tujuan baik," katanya.
Muhadjir tak gamblang menjelaskan posisi pemerintah dalam pengembangan vaksin Nusantara. Ia hanya mengatakan pemerintah memahami BPOM yang bekerja sesuai dengan standar dan prosedur yang baku karena terikat dengan kode etik. "Tapi usaha inovatif, apalagi ikhtiar, ikut mencari solusi terhadap masalah bersama, juga perlu diberi ruang yang cukup," ujar dia.
Tanpa menunggu izin BPOM, tim peneliti RSPAD Gatot Soebroto melakukan uji klinis fase II vaksin Nusantara. Kepala RSPAD Gatot Soebroto, Letnan Jenderal TNI Albertus Budi Sulistya, menjelaskan tim uji klinis vaksin Nusantara tak perlu mendapat izin BPOM. Alasannya, uji klinis vaksin Nusantara murni penelitian sehingga hanya perlu lolos uji etik. "Sebagaimana kita penelitian untuk S-2 dan S-3, kami tidak perlu izin BPOM, melainkan harus ada ethical clearence atau kelayakan etiknya," kata Budi.
Kunjungan kerja Komisi IX DPR RI di RSUP Dr. Kariadi dalam rangka dengar pendapat tentang uji klinis fase 2 dan pengembangan Vaksin Nusantara. rskariadi.co.id
Kelanjutan uji klinis ini didukung sejumlah anggota Dewan yang berseberangan dengan BPOM. Puluhan anggota DPR dan sejumlah tokoh ramai-ramai menjadi relawan untuk uji klinis vaksin yang bahan bakunya berasal dari Amerika Serikat itu. “Asalkan prosedurnya sudah diperbaiki, BPOM mempersilakan. Saat ini prosedurnya sudah diperbaiki,” kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang ikut menjadi relawan uji klinis fase II vaksin Nusantara.
Ahli patologi dari Universitas Sebelas Maret Solo, Tonang Dwi Ardyanto, berpendapat peneliti semestinya menjelaskan secara terbuka tentang catatan terhadap uji klinis vaksin yang sudah diperbaiki dalam rapat di DPR. Dengan demikian, kata dia, alasan untuk mendukung uji klinis vaksin Nusantara menjadi jelas dan rasional serta tidak sekadar emosional.
Jika anggota Dewan mengacu pada semangat nasionalisme dalam mendukung vaksin Nusantara, kata Tonang, justru semestinya Dewan mendukung habis-habisan vaksin Merah Putih. Metode vaksin Merah Putih sudah diketahui secara umum. Metode itu juga digunakan pada produk vaksin Covid-19 yang sekarang digunakan di dunia. “Bedanya, vaksin Merah Putih ini diteliti, dikembangkan, dan semoga segera masuk fase pengujian pada masyarakat serta dikerjakan oleh peneliti kita sendiri,” kata Tonang.
Menurut Tonang, tak ada salahnya menguji vaksin yang bahan baku dan pengembangannya berasal dari luar negeri. Tapi, ketika diklaim sebagai vaksin Nusantara dengan 10 juta dosis per bulan, biaya kurang dari Rp 200 ribu dan menghasilkan antibodi seumur hidup, hal itu perlu didudukkan secara jernih. “Agar semua tetap sebisa mungkin rasional. Bukan menghambat inovasi, melainkan menjaga tetap pada tempatnya,” ucap dia.
MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo