TIDAK lagi memakai lambang Korpri, seperti pada awal sidang, Brongkos Sya'ban mengenakan baju safari abu-abu ketika dengan tenang mendengarkan vonis hakim di Gelanggang Remaja Bogor yang diubah menjadi ruang pengadilan. Tapi ketenangan bekas kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kabupaten Bogor itu segera berubah, ketika majelis hakim yang diketuai S.M. Binti, Kamis pekan lalu, sampai kepada putusan hukuman. Wajah Brongkos tambah menghitam ketika hakim menjatuhkan hukuman 9 tahun penjara, atau 2 tahun lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Brongkos, menurut Majelis, terbukti melakukan korupsi: menyelewengkan uang yang seharusnya masuk ke kas pemda sebesar Rp 2,3 milyar. Kasus korupsi di Dispenda Kabupaten Bogor yang kemudian menggemparkan itu bermula hanya dari kejadian kecil. Akhir Oktober tahun lalu, komandan Pos Dispenda Ciomas, Zonni Syafei, pemungut retribusi kendaraan-kendaraan yang mengangkut hasil alam di daerah itu, mengalami kecelakaan lalu lintas. Ia tewas bersama istri dan empat orang anaknya. Di rumah Almarhum, konon, ditemukan setumpuk karcis retribusi. Barang itu sebenarnya tidak boleh disimpan di rumah. Tapi belakangan, diketahui bahwa karcis itu palsu. Beberapa wartawan mencoba mengecek kebenaran berita itu. Tapi Brongkos, kepala dispenda, malah menantang. Salah seorang dari wartawan itulah yang kemudian melaporkan "karcis palsu" itu ke Kodim dan Kejaksaan. Berdasarkan informasi itu kejaksaan dan kodim setempat bergerak. Dari penelitian diketahui soal yang lebih besar: yaitu perbedaan antara setoran pos-pos retribusi dan jumlah yang disetorkan ke kas pemda. Lebih menaetkan lai, ternyata, praktek semacam itu telah berlangsung bertahun-tahun - dalam masa jabatan tiga kadispenda. Berdasarkan pengusutan pula, pos-pos Dispenda, seperti di Ciomas, Parung Panjang, dan Gunung Sindur, diketahui telah lama mengedarkan karcis retribusl palsu. Pada ketiga pos retribusi itu para petugas mengutip pungutan Rp 1.000 sampai Rp 4.000, tergantung dari besar kecilnya kendaraan yang mengangkut hasil alam, dengan karcis palsu. "Setiap hari uang retribusi yang dikorup di 20 pos yang ada mencapai Rp 6 juta," ujar seorang pejabat di Bogor. Pihak berwajib bergerak cepat. Awal Desember lalu, Kodim Bogor melakukan penangkapan-penangkapan terhadap pejabat-pejabat Dispenda, termasuk Brongkos. Semua rumah para pejabat itu digeledah. Tidak kurang dari delapan peabat ditahan, serta 62 pejabat pemda dan di luar pemda diperiksa. Harta kekayaan para tersangka pun disita. "Sampai-sampai cincin kawin saya juga disita. Padahal, cincin itu ikatan batin saya dengan dia," tutur Neneng, istri kedua Brongkos. Hasil pengusutan membuat mata pemeriksa terbelalak. Menurut seorang pemeriksa, ditemukan bukti bahwa 2.350 buku karcis yang dipesan dispenda untuk dicetak, sejak 1979, yang dibukukan untuk kas pemda hanya 1.750. Selebihnya diakui para tersangka sebagai "karcis-karcis dana" atau "karcis yang tidak dibukukan". Belum lagi karcis-karcis palsu itu. Tapi, yang lebih membuat kaget pemeriksa adalah "jaringan upeti" yang diserahkan Brongkos. Selama menjabat kadispenda saja, Mei sampai Desember 1983, Brongkos mengaku memberi kepada lebih dari 100 orang - termasuk atasannya, bupati, waktu itu. "Setiap hari selalu ada telepon dari orang yang minta uang," kata Brongkos. Ia mengaku kepada pemeriksa membagikan "reeki retribusi" itu kepada, misalnya, Bupati (waktu itu) Ayib Rughby sebesar Rp 10 juta ketua DPRD Kabupaten Bogor, Elif Jeihan, serta para wakil ketua DPRD dari PPP dan Golkar, masing-masing Rp 8 juta residen Bogor Rp 3 juta asisten daerah I dan II masing-masing Rp 2,5 dan Rp 1,5 juta dan bantuan naik haji untuk pejabat pengawas kabupaten. Selain itu, ia iua menaku memberi bantuan berupa uang muka bagi anggota-anggota DPRD yang membeli mobil secara kredit. "Saya 'kan harus membalas jasa orang yang mengangkat saya," kata Brongkos kemudian kepada TEMPO. Brongkos ternyata tidak hanya royal terhadap atasan. Ia-juga memberi bantuan untuk organisasi politik dan Golkar serta organisasi sosial lainnya. Bahkan organisasi profesi, seperti PWI. Bogor, pun ikut menikmati rezekinya. Kecuali itu, tentu saja, seperti diakuinya, ia juga memberi upeti kepada aparat pengawas provinsi yang datang ke Bogor. "Semua nama-nama mereka itu ada dalam berita acara. Kami pun siap membeberkan kalau diminta yang berwajib," ujar Pengacara Soeprapto. Namun, seperti juga Brongkos, tentu saja orang-orang yang disebut itu membantah. Memang tidak ada bukti autentik. Ayib Rughby, kini dirjen transmirasi, misalnya, tegas menolak tuduhan itu. "Jangan melibatkan saya dengan urusan si Brongkos. Saya tidak ada urusan apa-apa dengannya," ujar Ayib. Ayah tujuh anak itu bahkan berani bersumpah bahwa ia tidak tahu-menahu hal ihwal penyelewengan yang dilakukan bawahannya itu "Kalau saya tahu sejak dulu sudah saya sikat dia," ujar Ayib. Ketua DPRD Kabupaten Bogor, Elif Jeihan, juga tidak mau mengakui tuduhan itu. "Saya tidak mau bicara soal itu," ujar Elif. Petugas Itwilprop Jawa Barat, Drs. Yusuf Fauzi, berkata tentang tuduhan Brongkos, "Kami tidak dibenarkan menerima uang dari yang diperiksa." Namun, ia mengaku juga mendapat "layanan" dari Brongkos, berupa makan dan penginapan. Ia juga tidak menolak sekadar ' uang bensin. "Asal masih wajar," katanya (TEMPO, Hukum, 25 Februari). Masalah utama yang menecewakan Brongkos kini bukan bantahan para rekan pejabat. Tapi soal pertanggungjawaban pejabat pendahulunya. Sebab, menurut dia, pemberian upeti dan kemudian ditutup dengan uang dari "karcis dana" sudah dimulai sejak Kadispenda Haji Surjana Djudju. Sebelumnya, pada masa Yanuar menurut Brongkos, sebagai kepala Subbagian Tata Usaha, ia Juga sudah mengeluarkan upeti-upeti atas penntah atasannya itu. Dalam pembelaannya, ia mengungkapkan bahwa ia pernah menerima uang dari bendaharawan dispenda, R. Enuh Sanusi. "Tapi uang itu bukan untuk saya, melainkan untuk orang-orang yang ditunjuk Kadispenda," katanya. Brongkos menyatakan bahwa ia tidak tahu jumlah karcis-karcis retribusi yang dicetak. Sebab, katanya, Kadispenda Yanuar langsung memesan karcis itu dari percetakan. Praktek "karcis dana", menurut Brongkos di sidang pengadilan, dikeluarkan pada masa Kadispenda Surjana Djudju, Mei 1982. "Karena ada misi penting waktu itu," ujar Brongkos. Pemesanan karcis dana itu kemudian dilakukan kepala Urusan Peralatan Dispenda, Rochman Endang. "Saya tidak tahu-menahu mengenai pencetakannya," tutur Brongkos. Di sidang terbukti jumlah karcis dana itu sekitar Rp 1.171 juta, yang terdiri dari karcis retribusi hasil alam Rp 683 juta, dan karcis retribusi izin dispensasi jalan sebanyak Rp 487 juta. Hasil "karcis dana" itu, kata Brongkos, sebagian digunakan Surjana sendiri. Misalnya untuk membeli mobil dan ongkos naik haji atasannya itu. Surjana, katanya, juga meminta disediakan dana Rp 200.000 setiap hari Sabtu. Kecuali itu, Brongkos mengaku diperintah juga oleh Surjana untuk memberi uang kepada pejabat-pejabat tertentu. Yantlar, ketika ditemui TEMPO di kantor Koperasi Angkutan Bogor, menolak diwawancarai. Di persidangan ia membantah pernah memerintahkan bawahannya itu tidak menyetorkan hasil retribusi ke kas pemda. Penggantinya, Surjana, juga menolak tuduhan terlibat dalam kasus itu. Dan ia merasa tidak pernah menerima hasil retribusi untuk kepentingan pribadi. Hakim pun tidak perlu mempersoalkan kesalahan Yanuar dan Surjana. "Yang diperiksa hakim adalah terdakwa yang diajukan jaksa," ujar ketua Majelis Hakim, S.M. Binti. Pemeriksaan terhadap Brongkos, kata Binti, tidak terbatas ketika ia menjabat kadispenda. Tapi jua selama i bertugas di Dispenda. Kepala Kejaksaan Negeri Bogor, Santoso Wiwoho, yang juga penuntut perkara Brongkos, menganggap bukan wewenangnya pula untuk menuntut Yanuar dan Surana. "Kedua orang itu, karena ABRI, merupakan wewenang oditur militer. Otmil sekarang sedang memeriksa mereka," ujar Santoso. Berdasar itu pula, baik hakim maupun jaksa menolak eksepsi pembela agar Brongkos diadili secara koneksitas - perkaranya digabungkan dengan Yanuar dan Surjana yang harus diadili di peradilan militer. "Persidangan koneksitas itu menurut KUHAP memang bisa, tapi tidak harus," ujar Santoso Wiwoho. Tapi ketua tim pengacara, Soeprapto, memlai bahwa kliennya sampal saat ini hanya menjadi tumbal dalam kasus itu. "Sebab, sampai saat ini belum ada andatanda bahwa Yanuar dan Surjana akan diadili," kata Soeprapto. Tumbal atau tidak, majelis hakim memang menganggap Brongkos terbukti bersalah mengorupsikan uang negara selama masa tiga periode kepemimpinan Dispenda Bogor, sebanyak Rp 2,3 milyar. Hanya, berbeda sedikit dengan jaksa, menurut hakim, kesalahan Bronkos sebelum 1979 tidak terbukti di persidangan. Konsekuensinya, semua harta Brongkos dan istri-istrinya yang dibeli sebelum 1979 dikembalikan kepada keluarga Brongkos. Di antara barang bukti yang dikembalikan itu terdapat tanah dan rumah istri pertama Brongkos, Nyonya Djuriah, di Bubulak, Bogor, dan rumah istri kedua, Nyonya Neneng, di Cibadak. Selain itu, keluarga Brongkos menerima pula kembali sawah dan tanah seluas lebih dari satu hektar. Hanya saja, "imbalan"-nya, hukuman untuk Brongkos ditambah dua tahun dari tuntutan jaksa. "Kami kaget, karena hakim tidak memberikan alasan jelas untuk meningkatkan hukuman itu," ujar Soeprapto. Padahal, katanya pula, cukup jelas bahwa tidak semua tuntutan jaksa terbukti seperti diakui hakim sendiri. Brongkos tentu saja bisa naik banding. Tapi yang tidak tuntas dalam perkaranya, selain soal kadispenda-kadispenda sebelumnya, juga tentang siapa saja yang menerima upeti dari dia. Janjinya untu mengungkapkan semua nama itu pada saat pledoi, ternyata, ia batalkan. "Demi keamanan," katanya sambil tertawa. Keamanan? Brongkos tidak secara jelas menguraikannya. "Saya tidak bersedia mengungkapkan, karena tidak sesuai dengan rasa ketimuran," katanya berdiplomasi. Alasannya, jika nama-nama itu dibeberkan, ia tidak akan mendapat keuntungan apa pun. Pihak yang dituduhnya menerima pun tidak akan diperiksa atau ditindak. "Tika saya sebut, tidak akan mengurangi hukuman, dan jika tidak dise, but, juga tidak akan memberatkan hukuman. Karena itu , demi keluarga, lebih baik saya tidak menyebutkannya," kata Brongkos di LP Bogor. Sebab itu, walau Brongkos sudah divonis, kasus korupsi milyaran rupiah itu masih saja terkesan bolong-bolong. Hal serupa juga terjadi pada kasus-kasus korupsi besar lainnya, seperti kasus Budiaji, Natalegawa, ataupun Endang Wijaya. Beberapa pejabat yang sempat disorot ketika itu sampai kini tidak ada kabar ceritanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini