LAIN ceritanya dengan tiga pesawat helikopter, yang diam-diam mendarat di lapangan bola Pucok Alue, Kualasimpang, di Aceh Timur. Sekitar 40 penumpangnya mobil PT Arun yang segera melaju. "Wakil Presiden datang. Wakil Presiden datang," seru seorang murid SD Saptamarga, di Kecamatan Manyak Payet, ketika rombongan sampai ke sana bulan lalu. Para guru, yang semuanya wanita, mulanya tak percaya. "Mana mungkin orang besar datang kemari? Camat dan bupati saja dalam lima tahun terakhir ini tak pernah mengunjungi kami," kata seorang guru, Ramlah, 34. Tapi semua menadi yakin, yang datang benar-benar Wapres Umar Wirahadikusumah, setelah mencocokkan dengan foto yang terpampang di dinding sekolah. Kunjungan Wapres itu memang merupakan "inspeksi mendadak" (sidak). Selain ke Aceh Timur, di hari yang sama, Wapres juga berkunjung ke Aceh Utara. Dan dalam kunjungan singkat itu Umar menemukan beberapa "penyimpangan". Tanah untuk mendirikan SD Saptamarga, misalnya, ternyata diberikan secara cuma-cuma oleh kepala desa. Padahal, dalam berita acara pembangunannya, disebutkan bahwa terhadap areal tersebut diberikan ganti rugi. Di sebuah kecamatan, Wapres juga menerima laporan adanya pemotongan uang bantuan desa (bandes), dari yang seharusnya Rp 1,2 juta diterimakan hanya Rp 350 ribu. Dua hari kemudian, 1 Agustus 1984, Wapres menyampaikan kesan-kesan selama melakukan sidak - yang juga pernah dilakukan ke Jawa Timur beberapa waktu lalu: Fungsi pengawasan, ternyata, belum berjalan. Sistem pengawasan yang belum ber)alan itulah, memang, yang memungkinkan kasus seperti di Dispenda Bogor terjadi. Di samping pengawasan, menurut kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Drs. Gandhi, penyelewengan juga disebabkan oleh sistem pengendalian manajemen yang buruk, salah, dan lemah. "Sebagai kadispenda, Brongkos diberi hak untuk mencetak karcis, menyimpan, mengedarkan, dan menerima uangnya secara langsung, serta menentukan jumlah setoran. Jadi, sistemnya sudah built in untuk melakukan korupsi," katanya. Kebebasan dan keleluasaan seperti itu mestinya tak boleh teriadi. Sebab, kata Gandhi, karcis retribusi sebenarnya sudah bernilai setengah uang, bukan sekadal lembaran kertas biasa Dengan begitu, pengamanar dan administrasinya pun harus menyerupai pengamanan dan pengadministrasian terhadap uang. Jadi. sejak proses pencetakan. penyimpanan, pengedaran, dan penerimaan dana harus diadakan pengawasan sungguh-sungguh dan tak boleh dilakukan hanya oleh satu tangan. Dan untuk menPecek apakah sistem sudah berjalan baik atau belum, menurut Gandhi, pemeriksaan mendadak sewaktu-waktu memang perlu diadakan. Pemeriksaan mendadak ini, selain akan bisa menemukan berbagai bentuk penyelewengan, juga berguna sebagai. masukan untuk memperbaiki sistem yang ada. Lewat pemeriksaan dadakan sema4cam itu BPKP, sejak dibentuknya pada Juni 1983, berhasil mendeteksi 56 kasus penyelewengan di beberapa daerah yang merugikan negara sampai Rp 10,5 milyar. Di setiap daerah memang ada aparat pengawasan. Selain pengawasan oleh atasan langsung, di tingkat provinsi ada itwilprop dan DPRD tingkat I, sedangkan di kabupaten ada itwilkab dan DPRD tingkat II. Hanya, seperti dikatakan Santoso Wiwoho, kepala Kejaksaan Negeri Bogor, yang juga bertindak sebagai jaksa dalam kasus Brongkos, "Pengawasan baik oleh itwilprop maupun itwilkab tidak seperti aparat penyidikan." Dalam kasus di Dispenda Bogor itu, misalnya, Itwil hanya memeriksa dan mencocokkan setoran dari dispenda ke kas pemda dengan uang pendapatan yang diterima dispenda. Tapi, berapa sebenarnya dispenda mendapat setoran dan pos-pos retribusi tak pernah diperiksa. Pengawasan oleh DPRD pun, boleh dikatakan, hanya pengawasan di permukaan saja. Sebab, seperti dikatakan Elif Jehan, 42, ketua DPRD Bogor,"Dewan hanya berfungsi secara polisionil: mengontrol kebijaksanaan yang dibuat eksekutif." Sedangkan pengontrolan terhadap masalah yang bersifat teknis, seperti pengontrolan karcis retribusi, bukan lagi wewenang DPRD, melainkan urusan eksekutif. Dan pengawasan dari pihak mana pun juga akan terasa semakin mengambang, bila ternyata petugasnya "ikut makan ramai-ramai" bersama orang yang mestinya ditegur atau di Jewer. Karena banyak pihak terlibat itulah kasus penyelewengan seperti di Dispenda Bogor baru bisa diketahui setelah beberapa tahun terjadi. Memang, seperti dikatakan Doktor Soedjono Dirdjosisworo, 44, ketua Jurusan Pidana Universitas Parahyangan, Bandung, "Perkara tindak korupsi merupakan masalah yang kompleks, rumit, penuh ketertutupan dan kerahasian, serta sukar dijabarkan secara matematis sejauh apa yang dikorupsi itu." Lemahnya pengawasan dan buruknya sistem manajemen, menurut Gandhi, membuka peluang, "Adanya kecenderungan tindak penyelewengan dengan menggunakan modus operandi sama dengan yang terjadi di Bogor." Di Dispenda Kupang, misalnya, terjadi penyelewengan serupa, dan kasusnya kini sudah ditangani kejaksaan. Menurut sumber TEMPO di Surabaya, di Dispenda Jawa Timur pun terjadi kasus serupa selama lima tahun terakhir ini. "Bedanya, di sini si pelaku bersolo karier, tidak ramai-ramai seperti di Bogor," ujar sumber itu. Jumlah yang dapat dikeduk pun tak sampai milyaran rupiah - hanya sekitar Rp 20 juta. Penyelewengan yang dilakukan seorang karyawan dispenda itu dilakukan denan cara mencetak karcis-karcis retribusi, dan kemudian mengedarkannya. Uangnya, sudah tentu, tak disetorkan ke kas, melainkan masuk kantung pribadi. Seorang karyawan lain di kantor itu, yang juga bekeria seorang diri, menggaet uang dengan cara lam: memanipulasikan administrasi. "Ia baru mengantungi Rp 10 juta, dan segera diketahui," ujar sumber itu. Di Dispenda Tasikmalaya pun, kabarnya ada ketidakberesan. Belum lama ini, Itwilkab menjumpai karcis retribusi pasar yang sudah tidak berlaku beredar di pasar-pasar sejak beberapa bulan lalu. Kepala Disgenda, Udm Juana, terpaksa berurusan engan Irwilkab. Hanya, seperti ditulis harian Kompas Juli lalu, kasus itu tampaknya bukan kasus penyelewengan, melainkan sekadar "kesalahan administrasi". "Penjualan karcis lama terpaksa dilakukan, karena karcis yang baru sudah habis terjual," kata Udin. Bagaimana- kasus yang sebenarnya, bupati Tasikmalaya. Lain halnya dengan kasus yang terjadi di Medan. Tahu bahwa dispenda merupakan gerbang untuk mendapatkan uang, Rahimuddin, 35, karyawan Pemda Medan, menyaru sebagai petugas dinas itu. Ia mengedarkan Surat Keterangan Izin Tempat Usaha (SKITU) "aspal" dan menjualnya dengan harga antara Rp 10.000 dan Rp 40.000 per lembar. Awal Agustus lalu ia tertangkap petugas Opstibpus yang turun ke Medan. Dari tangannya, disita sembilan SKITU aspal. Adanya oknum Dispenda di Medan yang "ada main" belum diketahui. Menurut perhitungan, pemasukan pajak SKITU dari 2.280 perusahaan besar serta 2.270 perusahaan menengah dan kecil yang terdaftar di Medan hanya Rp 157 juta. Nyatanya, kata Reinhard Hutapea, anggota DPR, "Pemasukan dari sektor SKITU ke kas pemda mencapai Rp 185 juta." Hal itu terjadi karena jumlah perusahaan di Medan, sebenarnya, tak pernah diketahui secara pasti. Pintu-pintu untuk memperkaya diri di kantor semacam dispenda, yang tugasnya menghimpunkan uang, memang cukup banyak. Sementara itu, untuk meningkatkan fungsi pengawasan dan memperbaiki sistem manajemen, tampaknya tak bisa beres dalam sehari dua. Maka, orang seperti Aang Kunaefi, gubernur Jawa Barat, hanya bisa berharap: moga-moga saja mental petugas beres dan masih mempunyai dedikasi tinggi. Sebuah harapan, yang mudah-mudahan tidak sia-sia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini