Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Korupsi Ia Rindu Sayur Asam

Bekas kepala dispenda bogor, 46, dihukum karena korupsi. (nas)

11 Agustus 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Brongkos Sya'ban kini tersohor ke seantero Nusantara. Kasus korupsi yang melibatkan nama itu memang luar biasa. Sebagai pejabat dinas pendapatan di daerah tingkat kabupaten. menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bogor, Brongkos korupsi sebanyak Rp 2,3 milyar. Kecuali soal jumlah, kasus Brongkos juga mengungkapkan parahnya penyakit korupsi: hampir semua pejabat pemda dan instansi lain di daerah itu terlibat atau - setidaknya - menerima bagian dari korupsi itu. Siapa Brongkos? Ia lahir dari keluarga petani kelapa di pulau kecil Makian, sebelah utara Ternate, 18 Mei 1938, dengan nama Abubakar. Ketika bayi, ia menderita sakit gawat. Seorang dukun yang datang menolong, selain memanterai, membungkus bayi itu rapat-rapat dengan kain. Alhamdulillah, Abubakar sembuh. Sejak itu ia diberi nama Brongkos: artinya bungkus. Belakangan ia melengkapi nama itu dengan nama ayahnya, Sya'ban. Brongkos kecil ternyata memiliki kelebihan. Pintar, ulet, dan bersemangat. Ketika duduk di kelas II sekolah teknik, dengan modal Rp 5.000, ia berangkat dengan kapal laut menuju Jawa. Menetap di Bogor. Di Kota Hujan itu, ia menamatkan pendidikan ST, 1955, dengan angka rata-rata 9. Setamat ST, masih bercelana pendek, ia sudah bekerja di Pusat Zeni dan Bangunan TNI-AD dengan gaji Rp 7,50 sehari. Sementara berpindah-pindah kerja, ia melanjutkan pendidikannya di sekolah sore, SMA Dewasa, dan tamat 1961. Setamat SMA, ia terpikat gadis Bogor, Djohri, yang kemudian dinikahinya. Namun, hampir 10 tahun menikah, mereka tidak dikaruniai anak. Sebab itu, 1970, Brongkos jatuh hati pada seorang anak bawahannya, Neneng Hermawati, yang tahun itu lulus SMEA. Lamarannya sempat ditolak. Dari Neneng Brongkos mendapatkan enam orang anak, yang tertua masih duduk di bangku SMP. Perkawinan-perkawinan itu tidak menghambat karier dan pendidikan Brongkos. Sekitar 1968 ia menjadi kepala di Bagian Pendapatan dan Pendayagunaan Dana Pemda Kabupaten Bogor. Pendapatan daerah yang sebelumnya cuma Rp 6 juta ditingkatkannya menjadi Rp 26 juta. Sementara itu, ia melanjutkan pendidikannya di FH UI Ekstension. Untuk itu, katanya, ia terpaksa banting tulang. Pulang kantor ia harus berangkat kuliah ke Jakarta. "Waktu itu 1960-an, angkutan susah - saya sering harus naik truk pasir," ujar Brongkos. Pada 1976 ia menamatkan kuliah hukum administrasi daerah. Pada 1979-1983, Brongkos menjadi kepala Subbagian Tata Usaha Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Bogor. Kadispenda pada waktu itu dijabat Letnan Kolonel TNI AD Haji Surjana Djudju (1979-1981) dan Mayor Pol. Yanuar (1981-1983). Baru Mei 1983 Brongkos dipromosikan menjadi kadispenda, sampai ia ditangkap, Desember 1983. Ia dituduh menyelewengkan pendapatan daerah sejak 1979. "Sebab, dialah otaknya. Kadispenda sebelumnya itu hanyalah orang yang 'tahu bersih' dari dia," ujar Jaksa Santoso Wiwoho. Berkulit hitam, rambut keriting, mata tajam, dan tinggi sekitar 168 cm dengan tubuh sedang, Brongkos kelihatan lebih segar di LP Bogor, Sabtu lalu. Santai, bersandal jepit, dan berkaus abu-abu, ia menerima wartawan TEMP Dedy Iskandar. Berikut ini wawancaranya. Anda kelihatannya lebih segar. Olah raga apa yang Anda lakukan? Ya, saya sekarang memang sehat dan mulai gemuk. Tidak lagi sakit-sakitan seperti pada permulaan di tahanan. Saya suka main voli, bola kaki, dan bulu tangkis. Anda tentu telah memahami putusan hakim. Bagaimana menurut Anda? Keputusan itu tidak adil. Pemeriksaan perkara ini tidak tuntas. Saya diharuskan juga bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan pendahulu saya. Padahal, seharusnya mereka juga bertanggung jawab sesuai dengan perannya waktu itu. Saya baru akan puas kalau mereka juga diadili. Bagaimana dengan uang yang Anda korupsikan? Tidak benar saya korupsi sebanyak itu. Karena itu, saya naik banding. Seandainya saya korupsi Rp 1 milyar saja, dihukum lebih dari 9 tahun pun saya akan tahan - setelah itu saya bisa ongkang-ongkang. Tapi, menurut akuntan, Anda menyelewengkan Rp 2,3 milyar? Jumlah itu tidak akurat. Banyak data yang tidak berkaitan dimasukkan di situ. Mungkin maksud pemeriksa aPar iumlah kerugian negara menjadi banyak. Paling banyak di ketiga periode kadispenda itu kerugian negara Rp 1,3 milyar. Sebagian besar kerugian itu toh terjadi pada masa adispenda sebelum saya. Yang harus saya pertanggungjawabkan hanya Rp 171 juta. Itu pun yang Rp 162 juta saya berikan kepada orang lain. Sisanya, saya pakai sendiri. Siapa saja yang menerima uang itu? Banyak. Sebagian daftarnya sudah saya, berikan kepada pemeriksa. Tapi mereka ternyata tidak ditindak. Sebab itu, tidak perlu saya sebutkan lagi. Saya hanya mengaku bersalah sebesar yang harus saya pertanggungjawabkan. Untuk itu, saya minta maaf. Apa keinginan Anda kini? Saya hanya ingin keadilan. Caranya, perkara ini hendaknya ditangani sampai tuntas. Jangan biarkan mereka yang terlibat berkeliaran. Jika nanti bebas, saya tidak ingin lagi menjadi pegawai negeri. Saya mau jadi wiraswasta dan melanjutkan sekolah di notariat. Selain itu, saya ingin tetap menikmati sayur asam, masakan istri saya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus