Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bukan Cuma Plagiat

Sebuah tim peneliti hukum adat lombok dari fh unair diketuai Prof. Moehammad Koesnoe. Seorang asistennya menyusun kembali sebagai karya ilmiah, tapi digugat oleh ketua tim sebagai plagiat. (pdk)

28 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROF. Dr. Moehammad Koesnoe SH, 50 tahun, amat masygul. Guru Besar Universitas Airlangga Surabaya ini merasa pernah menulis 3 karya ilmiah. Empat tahun lalu dijiplak orang, kini dia tak berdaya meski setahun lalu sudah mengadukannya kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Apa akal? Tak bisa lain, 21 Maret lalu sekali lagi ia mendesak instansi tersebut agar memperhatikan pengaduannya. Siapa yang ia adukan? Tak lain tak bukan: Lektor Kepala dan Dekan Fakultas Hukum Unair, Hermien Hadiati Koeswadji SH, yang pernah menjadi mahasiswi Koesnoe. Ketia karya itu ialah Desa Di Lombok, susunan Kekerabatan Di Lombok dan Begundem Di Dalam Adat Sasak. Tahun 1975, begitu cerita Koesnoe, ketiga karya tersebut -- dengan merubah judul dan beberapa kalimat saja -- muncul sebagai karya Hermien dalam buletin FH Unair. Judul karya pertama menjadi Sejarah Pembentukan Desa Di Lombok, karya kedua menjelma jadi Susunan Dan Organisasi Kekerabatan Di Lombok dan karya ketiga menjadi Kramadesa Sebagai Lembaga Peradilan Desa. Naskah pertama bahkan juga pernah terbit dalam majalah Hukum Nasional No. 24/1974. Juga dalam The Indonesian Quaterly No. 4/1975 terbitan CSIS dengan judul The Historical Development of Villages on the lsland of Lombok. Koesnoe bukan hanya masygul lantaran plagiat itu melainkan juga karena kebenaran karya-karya tersebut, menurut penilaiannya, masih belum bisa dipertanggungjawabkan. Kenapa? Karena hal itu baru bersifat hipotesa saja. Ketiga naskah tersebut disusun Koesnoe, 1960 sepulang dari Lombok ditugaskan oleh waktu itu Waperdam KH Idham Cholid. Karena itulah, Koesnoe lantas mengusulkan agar FH Unair melakukan penelitian. Disetujui. Dan dibentuklah tim dengan ketua Koesr.oe sendiri, dibantu Hermien sebagai asisten dan 3 mahasisa lagi. Ketika itu Hermien baru 1 tahun menyandang gelar SH jurusan perdata. Sebelum tim berangkat, Koesnoe membagikan naskah hipotesanya. Tapi 2 kali berangkat ke Lombok -- 1961 dan 1962 -- "tim tidak berhasil mengorek keterangan para responden," tutur Koesnoe. Sementara itu, 2 tahun kemudian, Koesnoe bertolak ke Belanda. Sejak 1968 ia memang menjadi dosen tamu di sana, antara lain di Universitas Katolik Nijmegen dan Universitas Leiden. Tapi sampai di sana ia jatuh sakit. "Teman-teman ada yang mengira saya akan segera meninggal. Habis, menurut dokter saya diserang tumor otak sih," tutur Koesnoe. Alhamdulillah, setelah operasi, ia sembuh. Kembali ke Surabaya, seorang rekannya menyodorkan publikasi Hermien Koesnoe kontan menyurat kepada bekas mahasiswinya itu minta penjelasan. Seminggu kemudian Hermien, dengan surat 4 folio, menjelaskan penerbitan itu sebagai usaha mendokumentasi kegiatan FH Unair selama 10 tahun, termasuk riset di Lombok itu. Tapi katanya fakultas mengalami kesulitan karena "tanpa ijin anggota tim dan fakultas, naskah mentah dan hasil penelitian Bapak bawa ketika meninggalkan Unair." Selain menyebut dirinya sebagai satu-satunya anggota tim yang "masih punya rasa tanggungjawab kepada institusinya," Hermien juga menegaskan bahwa naskah tersebut merupakan hasil penelitian yang dibiayai fakultas. Hak ciptanya pun tak bisa diklaim hanya oleh Koesnoe. Koesnoe tersinggung. Akhirnya, dalam pertemuan 3 hari Mei 1975, dihasilkan 3 naskah yang intinya berupa pengakuan Hermien bahwa naskah tersebut memang karya Koesnoe. Tapi karena tidak disertai "tindakan apa yang akan dikenakan kepada Hermien", Koesnoe mengadukannya kepada Kejaksaan Tinggi. Ia juga sudah punya rencana mengadukan gugatan perdata. Pernah Kita Batalkan Hermien sendiri enggan diinterpiu. Ia cuma mengucapkan 2 kalimat: "Semua itu bisa ditanyakan kepada Rektor. Dan ingat, Indonesia tidak ikut Konvensi Jenewa." Rektor Unair, Abdul Gani SH, berada di pihak Hermien, yang menulis berdasar perintah fakultas sebagai satu-satunya bekas anggota tim yang masih ada. "Dan setiap anggota tim punya hak mempublisir hasil penelitiannya," kata Gani. "Koesnoe sendiri sampai saat ini belum menyampaikan laporan pertanggunganjawab kepada Unair," tambahnya. Tapi menurut -Koesnoe "Kalau arsip FH Unair baik, tidak sulit menemukan laporan itu." Betul itu. Mengenai Konvensi Jenewa mengenai hak cipta antar Pemerintah (1952), Indonesia memang tidak ikut. Seperti halnya Hermien, orang sering menyebut kita tidak terikat oleh Konvensi Jenewa." Padahal yang pernah kita batalkan di tahun 1958 adalah Konvensi Bern untuk Perlindungan Karya Sastra & Seni (1886). Mengenai hal ini ada yang pro dan kontra, sebab memang ada manfaat dan kerugiannya. Meskipun RUU Hak Cipta (1965) sampai kini belum disyahkan, tapi paling tidak kasus Koesnoe versus Hermien pastilah bisa dikaitkan dengan UU Cipta 1912 yang sampai kini masih berlaku. Demikian pula ketentuan-ketentuan lain, misalnya KUH Perdata 570. Maka ada baiknya bila Koesnoe mengadukannya ke pengadilan yang akan menentukan siapa yang bersalah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus