PROF. Dr. Moehammad Koesnoe SH, 50 tahun, amat masygul. Guru
Besar Universitas Airlangga Surabaya ini merasa pernah menulis 3
karya ilmiah. Empat tahun lalu dijiplak orang, kini dia tak
berdaya meski setahun lalu sudah mengadukannya kepada Kejaksaan
Tinggi Jawa Timur. Apa akal? Tak bisa lain, 21 Maret lalu sekali
lagi ia mendesak instansi tersebut agar memperhatikan
pengaduannya.
Siapa yang ia adukan? Tak lain tak bukan: Lektor Kepala dan
Dekan Fakultas Hukum Unair, Hermien Hadiati Koeswadji SH, yang
pernah menjadi mahasiswi Koesnoe. Ketia karya itu ialah Desa Di
Lombok, susunan Kekerabatan Di Lombok dan Begundem Di Dalam Adat
Sasak. Tahun 1975, begitu cerita Koesnoe, ketiga karya tersebut
-- dengan merubah judul dan beberapa kalimat saja -- muncul
sebagai karya Hermien dalam buletin FH Unair.
Judul karya pertama menjadi Sejarah Pembentukan Desa Di Lombok,
karya kedua menjelma jadi Susunan Dan Organisasi Kekerabatan Di
Lombok dan karya ketiga menjadi Kramadesa Sebagai Lembaga
Peradilan Desa. Naskah pertama bahkan juga pernah terbit dalam
majalah Hukum Nasional No. 24/1974. Juga dalam The Indonesian
Quaterly No. 4/1975 terbitan CSIS dengan judul The Historical
Development of Villages on the lsland of Lombok.
Koesnoe bukan hanya masygul lantaran plagiat itu melainkan juga
karena kebenaran karya-karya tersebut, menurut penilaiannya,
masih belum bisa dipertanggungjawabkan. Kenapa? Karena hal itu
baru bersifat hipotesa saja. Ketiga naskah tersebut disusun
Koesnoe, 1960 sepulang dari Lombok ditugaskan oleh waktu itu
Waperdam KH Idham Cholid.
Karena itulah, Koesnoe lantas mengusulkan agar FH Unair
melakukan penelitian. Disetujui. Dan dibentuklah tim dengan
ketua Koesr.oe sendiri, dibantu Hermien sebagai asisten dan 3
mahasisa lagi. Ketika itu Hermien baru 1 tahun menyandang gelar
SH jurusan perdata. Sebelum tim berangkat, Koesnoe membagikan
naskah hipotesanya. Tapi 2 kali berangkat ke Lombok -- 1961 dan
1962 -- "tim tidak berhasil mengorek keterangan para responden,"
tutur Koesnoe.
Sementara itu, 2 tahun kemudian, Koesnoe bertolak ke Belanda.
Sejak 1968 ia memang menjadi dosen tamu di sana, antara lain di
Universitas Katolik Nijmegen dan Universitas Leiden. Tapi sampai
di sana ia jatuh sakit. "Teman-teman ada yang mengira saya akan
segera meninggal. Habis, menurut dokter saya diserang tumor otak
sih," tutur Koesnoe. Alhamdulillah, setelah operasi, ia sembuh.
Kembali ke Surabaya, seorang rekannya menyodorkan publikasi
Hermien Koesnoe kontan menyurat kepada bekas mahasiswinya itu
minta penjelasan. Seminggu kemudian Hermien, dengan surat 4
folio, menjelaskan penerbitan itu sebagai usaha mendokumentasi
kegiatan FH Unair selama 10 tahun, termasuk riset di Lombok itu.
Tapi katanya fakultas mengalami kesulitan karena "tanpa ijin
anggota tim dan fakultas, naskah mentah dan hasil penelitian
Bapak bawa ketika meninggalkan Unair." Selain menyebut dirinya
sebagai satu-satunya anggota tim yang "masih punya rasa
tanggungjawab kepada institusinya," Hermien juga menegaskan
bahwa naskah tersebut merupakan hasil penelitian yang dibiayai
fakultas. Hak ciptanya pun tak bisa diklaim hanya oleh Koesnoe.
Koesnoe tersinggung. Akhirnya, dalam pertemuan 3 hari Mei 1975,
dihasilkan 3 naskah yang intinya berupa pengakuan Hermien bahwa
naskah tersebut memang karya Koesnoe. Tapi karena tidak disertai
"tindakan apa yang akan dikenakan kepada Hermien", Koesnoe
mengadukannya kepada Kejaksaan Tinggi. Ia juga sudah punya
rencana mengadukan gugatan perdata.
Pernah Kita Batalkan
Hermien sendiri enggan diinterpiu. Ia cuma mengucapkan 2
kalimat: "Semua itu bisa ditanyakan kepada Rektor. Dan ingat,
Indonesia tidak ikut Konvensi Jenewa." Rektor Unair, Abdul Gani
SH, berada di pihak Hermien, yang menulis berdasar perintah
fakultas sebagai satu-satunya bekas anggota tim yang masih ada.
"Dan setiap anggota tim punya hak mempublisir hasil
penelitiannya," kata Gani. "Koesnoe sendiri sampai saat ini
belum menyampaikan laporan pertanggunganjawab kepada Unair,"
tambahnya. Tapi menurut -Koesnoe "Kalau arsip FH Unair baik,
tidak sulit menemukan laporan itu." Betul itu.
Mengenai Konvensi Jenewa mengenai hak cipta antar Pemerintah
(1952), Indonesia memang tidak ikut. Seperti halnya Hermien,
orang sering menyebut kita tidak terikat oleh Konvensi Jenewa."
Padahal yang pernah kita batalkan di tahun 1958 adalah Konvensi
Bern untuk Perlindungan Karya Sastra & Seni (1886). Mengenai hal
ini ada yang pro dan kontra, sebab memang ada manfaat dan
kerugiannya.
Meskipun RUU Hak Cipta (1965) sampai kini belum disyahkan, tapi
paling tidak kasus Koesnoe versus Hermien pastilah bisa
dikaitkan dengan UU Cipta 1912 yang sampai kini masih berlaku.
Demikian pula ketentuan-ketentuan lain, misalnya KUH Perdata
570. Maka ada baiknya bila Koesnoe mengadukannya ke pengadilan
yang akan menentukan siapa yang bersalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini