MESKI hujan, 2 kipas angin kecil dipasang juga di aula Institut
Pertanian Bogor, Baranangsiang. Andi Hakim Nasution, 46 tahun,
dilantik sebagai rektor ke 7 menggantikan A. M. Satari yang
sudah 2 periode menjadi rektor IPB. Lalu ke mana Satari? "Saya
akan kembali mengajar di Departemen Ilmu-Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian IPB," kata Satari.
Beberapa saat menjelang Satari habis masa dinasnya, ada yang
sangsi apakah Andi Hakim bisa terpilih di antara 3 calon yang
diajukan lantaran ia dikenal kelewat njelimet. Toh ia terpilih.
Mengapa?
Menurut seorang dosen yang ikut memilihnya, "karena konsepnya
jelas." Antara lain, ia berhajat meningkatkan penelitian. Tapi
menurut Andi Hakim sendiri "program saya ialah melanjutkan
perubahan atau penyempurnaan yang sudah ada." Tentu saja
termasuk proses normalisasi kampus.
Meski begitu, mahasiswa IPB menerima kehadiran Andi Hakim.
"Aspirasi mahasiswa tidak akan terganggu. Yang penting apakah
mahasiswa bisa mendekatinya. Sebab orangnya rasionil sekali,"
ujar Ahmad Farid Rasyid, bekas ketua DM-IPB yang dibekukan yang
kini muncul sebagai tokoh Keluarga Mahasiswa (KM). Rektor baru
ini memang bukan orang baru.
Bapak dari 3 anak ini 10 tahun lalu sudah tampil sebagai dosen
Statistika dan Genetika Kwantitatif. Dan setelah jadi rektor
mulai 2 Desember, 2 jabatan yang belum dilepasnya ialah Kepala
Departemen Satistika dan Komputasi serta Direktur Sekolah Pasca
Sarjana IPB. Gelar doktor untuk statistika, ia peroleh dari
North Carolina State Universit. AS, 1964.
Andi Hakim adalah sarjana pertanian ke-4 yang lulus dengan Cum
laude dari lakultas Pertanian UI, 1958. Lulusan pertama dengan
predikat sama, 1955, adalah Thoyib Hadiwijaya, bekas Menteri
Pertanian yang kini jadi anggota DPA. Bersama Fakultas
Kedokteran Hewan, tahun 1963 Fakultas Pertanian UI kemudian
berkembang menjadi IPB sekarang .
Tugasnya kini cukup berat. IPB harus mengetatkan ikat pinggang
"Untuk anggaran tahun depan, kami menghadapi masa sulit," kata
Andi Hakim. Menurut Dirjen Pendidikan Tinggi Doddy Tisnaamijaya,
anggaran untuk IPB mungkin tidak lagi naik 10% tiap tahun
seperti biasanya.
Dalam rangka penghematan itu. Misalnya program kuliah lapangan
-- yang dianggap kurang terintegrasi -- akan ditinjau kembali.
"Dari pada setiap jurusan menyelenggarakan kuliah lapangan
sendiri, lebih baik diadakan sekalian sekaligus," kata Andi
Hakim. Penelitian dengan pihak luar, yang banyak menyita tenaga
dosen, akan ditinjau pula.
Kalau dulu mahasiswa bisa mendapatkan bahan kuliah stensilan
dengan gratis, dan karenanya banyak menyedot dana, kelak tak
lagi cuma-cuma. Pengumpulan karya tulis, yang mendapat subsidi
IPB, juga komponen yang mahal. Kelak, IPB akan merencanakan
penyusunan karya tulis -- yang berkaitan dengan bidang ilmu
tertentu --bekerjasama dengan instansi pemerintah atau swasta.
Ada yang menarik dari pesan Satari kepada Andi Hakim. "Kita ini
pegawai negeri yang harus tunduk pada atasan. Tapi IPB sebagai
lembaga pendidikan tinggi, dalam menghadapi masalah tertentu
bisa berbeda pendapat dengan atasan. Instruksi kita jalankan,
tapi soal pendapat kan boleh saja dong berbeda," kata Satari.
Bagaimana 2 hal yang berbeda bisa dilaksanakan sekaligus? "Bisa
saja. Intruksi-ya instruksi. Tapi kita lihat saja nanti
hasilnya, siapa yang benar," katanya lagi. Yang dimaksud Satari
adalah integritas IPB sebagai lembaga pendidikan tinggi dan
sikap rektor sebagai intelektuil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini