Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Satu Sura Sama-sama

Sejumlah umat Budha merayakan peringatan 1 sura bersama dengan penganut kepercayaan. Mereka dapat dekat karena punya kesamaan dalam puja bakti atau Samadi tanpa mengurusi perbedaan lahir.

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK Natal mendatang, adakah barangkali kalangan Kristen yang mau mengundang kelompok Budha untuk sembahyang bersama? Sthavira Ashin Jinarakkhita Maha Thera, Ketua Umum Sangha Agung Indonesia (organisasi para biksu) mengangan-angankan bahwa kalau hal itu misalnya terjadi, mereka akan datang. Sebagian umat Budis pada Hari 1 Muharram yang lalu (penghujung Nopember) menyelenggarakan peringatan 1 Sura bersama kalangan Kepercayaan. Tempatnya di Vihara Sakyavanaram, di Lembah Cipendawa 1 kilometer dari Pacet, Cipanas, Bogor. Dipimpin oleh Jinarakkhita, pada jam lima sore diadakan selamatan. Lalu jam tujuh malam acara puja bakti diserahkan kepada Bhikku Y. Ugaddhamo, Wakil Ketua I Sangha Agung. Dilanjutkan dengan "meditasi/samadhi/sujud menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa" dengan pimpinan 'Romo' Zahid Husein, yang sehari-harinya Ketua Umum Sekretariat Kerjasama Kepercayaan (SKK). Ha-na-ca-ra-ka Dengan itu mereka merayakan tahun baru Jawa, 1 Sura 1911 Saka. Tahun ini adalah hasil terjemahan Sultan Agung di abad 17 Mataram dari sistim tahun Hijriyah yang memang bermula dari 1 'Asyura (Muharram). Sedang titik awalnya yang dimulai dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad, digeser ke belakang sampai ke zaman tokoh dongeng yang dikenal sebagai Aji Saka. Nah. Aji Saka ini, yang sering sekali dinyatakan sebagai orang Hindu, ternyata orang Budha adanya -- menurut selebaran dari vihara di Pacet itu. Ialah yang konon datang dan aliran lain melahirkan abjad Jawa ha-na-ca-a-ka. Karena itulah Sangha Agung Indonesia - mulai tahun ini -- lebih resmi menganggapnya sebagai hari besar, meskipun sebelumnya banyak orang Budha sendiri sudah merayakannya -- yakni yang orang Jawa. "Ini khas Indonesia, di luar negeri tidak ada," kata Jinarakkhita. Tapi mengapa perayaan harus diadakan bersama kalangan Kepercayaan? Brigjen (Pur) Sumantri M.S., Ketua Umum MUABI (Majelis Upasaka-Upasika Agama Budha Indonesia, organisasi ulama di bawah biksu) mengatakan: "Kepercayaan dan Agama Budha tujuannya satu. Kita punya kesamaan dalam puja bakti atau samadi." Malahan, dikatakan oleh Bhikku Jinarakkhita, "yang paling dekat dengan kita adalah Aliran Kepercayaan." la membandingkannya dengan sekte-sekte agama Budha sendiri yang belum tentu rukun-lebih-lebih dengan yang "non theis". Dan itu memang tema lama. Seorang dari Sekte Kasogathan misalnya lantas mengomentari: "Anehnya, mereka bukan berpelukan sesama umat Budha. Malah dengan Kepercayaan. " Lalu ia menunjuk bahwa MUABI itu tidak ikut dalam Perwalian Umat Budha Indonesia. Bagaimana pula tanggapan kalangan Budhis yang lain? "Saya bisa menerima 1 Sura sebagai hari raya Budhis, kalau memang sudah ada penyelidikan benar-benar masuknya Aji Saka dulu berarti mulainya perkembangan Budhisme di Indonesia." Ini kata Bhikku Khemiyo (27 tahun), dari Sekte Theravada alias Hinayana. Begitu pula dari Sekte Nichiren. "Bagi kami 1 Sura biasa saja," kata Seno Sunoto, Ketua Umum. "Yah kalau kami diundang, tidak akan menolak. Tapi kami takkan mengambil inisiatif. Apa untungnya? Yang terpenting 'kan toleransi," katanya. Rupanya perayaan bersama itu memang menarik. Bahkan I Gde Sandy, dari Ditjen Hindu Budha Departemen Agama, menyatakan keheranannya. "Kalau atas nama MUABI, apakah lembaga Budhis itu telah masuk Kepercayaan, atau Kepercayaan yang masuk MUABI?", katanya. Untuk kalangan Kepercayaan sendiri sebenarnya juga bisa timbul kesan, seolah mereka sedang "cari kawan". Untuk apa? Padahal, berlainan dengan keinginan seperti dilontarkan Sumantri dari MUABI (ke arah terbentuknya semacam badan kerjasama agama-kepercayaan) Zahid Husein maupun Arimurthy dari kepercayaan menyatakan tidak berfikir ke situ. Bisa timbul kesan bahwa Kepercayaan akhirnya identik atau dekat dengan Budhisme, dan siapa tahu orang Kepercayaan yang tak dekat ke situ akan tak senang -- kalau mereka memang peduli. Tapi seperti dikatakan Zahid Husein: "Apa iya ada orang Kepercayaan yang tidak senang?" Jadi ternyata beres. Lebih-lebih, seperti dikatakan Zahid lagi, "yang terpenting adalah 'sujud menyembah bersama-sama, tanpa mementingkan perbedaan lahir." Maka perayaan pun berjalan lancar. Di hari kedua, pukul enam pagi diselenggarakan 'larungan sesaji' di Kali Cipendawa. Dua jam kemudian malah ada khitanan beberapa orang anak. Lalu makanan dibagi-bagi kepada penduduk sekitar. Hadirin seluruhnya, menurut siaran pers dari panitia, berjumlah 2.000 orang. Menurut Berita Buana, 4.000 orang Menurut catatan Bachrun Suwatdi dari TEMPO, 400 orang dari kalangan Budhis dan 25 orang dari Kepercayaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus