UNTUK Natal mendatang, adakah barangkali kalangan Kristen yang
mau mengundang kelompok Budha untuk sembahyang bersama? Sthavira
Ashin Jinarakkhita Maha Thera, Ketua Umum Sangha Agung Indonesia
(organisasi para biksu) mengangan-angankan bahwa kalau hal itu
misalnya terjadi, mereka akan datang.
Sebagian umat Budis pada Hari 1 Muharram yang lalu (penghujung
Nopember) menyelenggarakan peringatan 1 Sura bersama kalangan
Kepercayaan. Tempatnya di Vihara Sakyavanaram, di Lembah
Cipendawa 1 kilometer dari Pacet, Cipanas, Bogor. Dipimpin oleh
Jinarakkhita, pada jam lima sore diadakan selamatan. Lalu jam
tujuh malam acara puja bakti diserahkan kepada Bhikku Y.
Ugaddhamo, Wakil Ketua I Sangha Agung. Dilanjutkan dengan
"meditasi/samadhi/sujud menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa"
dengan pimpinan 'Romo' Zahid Husein, yang sehari-harinya Ketua
Umum Sekretariat Kerjasama Kepercayaan (SKK).
Ha-na-ca-ra-ka
Dengan itu mereka merayakan tahun baru Jawa, 1 Sura 1911 Saka.
Tahun ini adalah hasil terjemahan Sultan Agung di abad 17
Mataram dari sistim tahun Hijriyah yang memang bermula dari 1
'Asyura (Muharram). Sedang titik awalnya yang dimulai dari
peristiwa hijrah Nabi Muhammad, digeser ke belakang sampai ke
zaman tokoh dongeng yang dikenal sebagai Aji Saka.
Nah. Aji Saka ini, yang sering sekali dinyatakan sebagai orang
Hindu, ternyata orang Budha adanya -- menurut selebaran dari
vihara di Pacet itu. Ialah yang konon datang dan aliran lain
melahirkan abjad Jawa ha-na-ca-a-ka. Karena itulah Sangha Agung
Indonesia - mulai tahun ini -- lebih resmi menganggapnya sebagai
hari besar, meskipun sebelumnya banyak orang Budha sendiri sudah
merayakannya -- yakni yang orang Jawa. "Ini khas Indonesia, di
luar negeri tidak ada," kata Jinarakkhita.
Tapi mengapa perayaan harus diadakan bersama kalangan
Kepercayaan? Brigjen (Pur) Sumantri M.S., Ketua Umum MUABI
(Majelis Upasaka-Upasika Agama Budha Indonesia, organisasi ulama
di bawah biksu) mengatakan: "Kepercayaan dan Agama Budha
tujuannya satu. Kita punya kesamaan dalam puja bakti atau
samadi." Malahan, dikatakan oleh Bhikku Jinarakkhita, "yang
paling dekat dengan kita adalah Aliran Kepercayaan." la
membandingkannya dengan sekte-sekte agama Budha sendiri yang
belum tentu rukun-lebih-lebih dengan yang "non theis".
Dan itu memang tema lama. Seorang dari Sekte Kasogathan misalnya
lantas mengomentari: "Anehnya, mereka bukan berpelukan sesama
umat Budha. Malah dengan Kepercayaan. " Lalu ia menunjuk bahwa
MUABI itu tidak ikut dalam Perwalian Umat Budha Indonesia.
Bagaimana pula tanggapan kalangan Budhis yang lain?
"Saya bisa menerima 1 Sura sebagai hari raya Budhis, kalau
memang sudah ada penyelidikan benar-benar masuknya Aji Saka dulu
berarti mulainya perkembangan Budhisme di Indonesia." Ini kata
Bhikku Khemiyo (27 tahun), dari Sekte Theravada alias Hinayana.
Begitu pula dari Sekte Nichiren. "Bagi kami 1 Sura biasa saja,"
kata Seno Sunoto, Ketua Umum. "Yah kalau kami diundang, tidak
akan menolak. Tapi kami takkan mengambil inisiatif. Apa
untungnya? Yang terpenting 'kan toleransi," katanya.
Rupanya perayaan bersama itu memang menarik. Bahkan I Gde Sandy,
dari Ditjen Hindu Budha Departemen Agama, menyatakan
keheranannya. "Kalau atas nama MUABI, apakah lembaga Budhis itu
telah masuk Kepercayaan, atau Kepercayaan yang masuk MUABI?",
katanya.
Untuk kalangan Kepercayaan sendiri sebenarnya juga bisa timbul
kesan, seolah mereka sedang "cari kawan". Untuk apa? Padahal,
berlainan dengan keinginan seperti dilontarkan Sumantri dari
MUABI (ke arah terbentuknya semacam badan kerjasama
agama-kepercayaan) Zahid Husein maupun Arimurthy dari
kepercayaan menyatakan tidak berfikir ke situ. Bisa timbul kesan
bahwa Kepercayaan akhirnya identik atau dekat dengan Budhisme,
dan siapa tahu orang Kepercayaan yang tak dekat ke situ akan tak
senang -- kalau mereka memang peduli. Tapi seperti dikatakan
Zahid Husein: "Apa iya ada orang Kepercayaan yang tidak senang?"
Jadi ternyata beres. Lebih-lebih, seperti dikatakan Zahid lagi,
"yang terpenting adalah 'sujud menyembah bersama-sama, tanpa
mementingkan perbedaan lahir."
Maka perayaan pun berjalan lancar. Di hari kedua, pukul enam
pagi diselenggarakan 'larungan sesaji' di Kali Cipendawa. Dua
jam kemudian malah ada khitanan beberapa orang anak. Lalu
makanan dibagi-bagi kepada penduduk sekitar. Hadirin seluruhnya,
menurut siaran pers dari panitia, berjumlah 2.000 orang. Menurut
Berita Buana, 4.000 orang Menurut catatan Bachrun Suwatdi dari
TEMPO, 400 orang dari kalangan Budhis dan 25 orang dari
Kepercayaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini