PERKARA "penelitian keperawanan" rupanya bikin ramai bukan
karena soal "penelitian"nya, tapi soal "keperawanan" Ini,
ternyata kata itu masih menyengat, meskipun menurut Dr. Soerjono
Soekanto, dosen sosiologi di Universitas Indonesia, di
kota-kota besar kini ada pergeseran nilai keperawanan. "Orang
ada yang tidak lagi melihat aspek biologis keperawanan seseorang
dalam memilih jodoh," ujarnya, "tetapi yang dilihat adalah cinta
kasih dan kesetiaan seseorang, selain faktor-faktor fisik."
Namun demikian ia tidak dapat mengatakan bahwa saat ini terjadi
perobahan nilai dalam masyarakat Indonesia ke arah yang lebih
bebas dari segala ikatan.
Dan nampaknya memang begitu. Jadi jangan cemas. Meskipun
terpaksa agak repot Dr. F A. Moeloek, itu ahli kandungan di
Klinik Raden Saleh Jakarta, menyatakan, bicara soal keperawanan
di hadapan masyarakat awam sangat sulit.Ini dalam hubungannya
dengan kondisi yang ada di Indonesia. Berbeda halnya dengan di
dunia Barat. Ia menceritakan tentang seorang ibu dunia Barat
yang dengan tak segan-segan berpesan kepada anak gadisnya yang
hendak pesiar, begini: "Jane, jangan lupa minum pil anti
hamilmu."
Moeloek lalu menyebutkan pula data dari Negeri Belanda: di sana
yang lebih banyak melakukan pengguguran adalah kaum wanita yang
belum nikah. Sebaliknya di Indonesia yang banyak melakukan
pengguguran adalah wanita yang sudah bersuami. Artinya: hubungan
jasmani di luar nikah, masih ketat dicegah dan tidak dilakukan.
Ini terutama berlaku di masyarakat dengan adat yang kokoh.
Misalnya di Sumatera Barat. "Soal perawan itu mutlak dalam
kehidupan masyarakat Minang," kata Sutan Pamenan, seorang ayah
asal Bukittinggi. Dalam tradisi pernikahan di Sumatera Barat,
ada yang disebut isyarat salapah kosong. Salapah adalah sebentuk
tempat rokok. Dulu, kalau seorang suami menemukan isterinya
tidak perawan lagi di malam pengantin, paginya sudah dapat
diketahui dengan perginya sang suami sambil meninggalkan
salapahnya dalam keadaan kosong. Setelah itu jangan diharap lagi
ia akan pulang ke rumah isterinya. Ini juga sesuai dengan apa
yang dikatakan "berpantang memakan sisa orang" dalam roman
Tenggelamnya Kapal van Der Wijk karya Hamka.
Apa yang ditulis oleh Hamka, memang banyak berbeda kemudian
dengan apa yang ditulis oleh pengarang yang lebih mutakhir.
Pramudya Ananta Toer misalnya, dalam buku Keluarga Gerilya
menyebut ucapan seorang tokohnya ke pada pacarnya yang tidak
perawan lagi Antara perawan dan tidak perawan katanya, cuma ada
beberapa detil "yang tidak usah diperhitungkan,"
Zaman memang belum berantakan tapi toh sudah berubah. Seorang
pelajar SMA Swasta di Yogya, kelas II, usia 17 tahun, bernama
Susy menceritakan bahwa banyak anak-anak muda sekaranang sudah
tidak perawan lagi, sebelun nikah. Tapi ia membela: "Apakah
setiap pecahnya perawan seseorang gadis moralnya rusak? Tidak!"
ujarnya tegas Lalu dengan tenang ia menceritakan sahabatnya yang
telah melakukan kontak jasmani di luar nikah dengan pacarnya.
Susy tidak melihatnya sebagai sesuatu yang bejat, karena kedua
mereka tahu, yakin: setelah tamat SMA akan nikah.
Apakah sikap Susy sudah umum di kalangan generasinya? Inilah
kata Petty Tunjungsari, puteri sulung penyanyi Titiek Puspa,
gadis metropolitan yang pernah memakai mahkota Puteri Remaja
Indonesia tahun 1975. "Keperawanan itu penting sekali, untuk
memberi tanda bahwa kita adalah anak baik, dan saya akan
berusaha menjaganya sekuat mungkin," ujarnya. "Jangan lakukan
itu sebelum memasuki masa perkawinan -- dan saya anjurkan setiap
gadis menahannya." Ia sendiri bahkan pernah menangis waktu
pacarnya memberi sun di pipi ketika ia masih berusia 13 tahun.
"Saya merasa waktu itu kehilangan sesuatu, saya kira perbuatan
seperti itu dulu sangat tercela," ujarnya. Padahal cuma sun, ya?
Ketatnya sikap seperti sikap Petty mungkin juga karena ketatnya
kaum pria juga. Seorang pelajar SMA Negeri Cikampek, misalnya
berkata: "Bagaimana kita harus menerima isteri yang tak murni
padahal belum nikah" Komentar ini mungkin merupakan satu jalur
umum dari kebanyakan pelajar -- yang menghendaki adanya
kemurnian pada gadis-gadis. Sementara seorang siswi bekas SMA VI
Jakarta lantang bicara: "Mengapa hanya siswi yang diributkan
keperawanannya? Bagaimana dengan para siswa yang saya tahu
banyak tidak perawan lagi"
Kaum wanita memang berhak diperlakukan tidak adil.
Maka untuk menutup cerita ini, baik juga didengar protes
Murniati, murid SPG kelas I Yogya, usia 17 tahun. "Kalau soal
perawan bagi gadis harus diumumkan secara terbuka, harus
diperlihatkan kepada orang lain, diperbolehkan diperiksa, kapan
lagi seorang gadis punya sesuatu yang dirahasiakan?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini