Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pergeseran, Tapi Belum Berantakan

Soal perawan masih sangat dihargai di Indonesia, terutama di masyarakat dengan adat yang kokoh. Kaum pria masih menuntut keperawanan dalam memilih jodoh.(pdk)

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKARA "penelitian keperawanan" rupanya bikin ramai bukan karena soal "penelitian"nya, tapi soal "keperawanan" Ini, ternyata kata itu masih menyengat, meskipun menurut Dr. Soerjono Soekanto, dosen sosiologi di Universitas Indonesia, di kota-kota besar kini ada pergeseran nilai keperawanan. "Orang ada yang tidak lagi melihat aspek biologis keperawanan seseorang dalam memilih jodoh," ujarnya, "tetapi yang dilihat adalah cinta kasih dan kesetiaan seseorang, selain faktor-faktor fisik." Namun demikian ia tidak dapat mengatakan bahwa saat ini terjadi perobahan nilai dalam masyarakat Indonesia ke arah yang lebih bebas dari segala ikatan. Dan nampaknya memang begitu. Jadi jangan cemas. Meskipun terpaksa agak repot Dr. F A. Moeloek, itu ahli kandungan di Klinik Raden Saleh Jakarta, menyatakan, bicara soal keperawanan di hadapan masyarakat awam sangat sulit.Ini dalam hubungannya dengan kondisi yang ada di Indonesia. Berbeda halnya dengan di dunia Barat. Ia menceritakan tentang seorang ibu dunia Barat yang dengan tak segan-segan berpesan kepada anak gadisnya yang hendak pesiar, begini: "Jane, jangan lupa minum pil anti hamilmu." Moeloek lalu menyebutkan pula data dari Negeri Belanda: di sana yang lebih banyak melakukan pengguguran adalah kaum wanita yang belum nikah. Sebaliknya di Indonesia yang banyak melakukan pengguguran adalah wanita yang sudah bersuami. Artinya: hubungan jasmani di luar nikah, masih ketat dicegah dan tidak dilakukan. Ini terutama berlaku di masyarakat dengan adat yang kokoh. Misalnya di Sumatera Barat. "Soal perawan itu mutlak dalam kehidupan masyarakat Minang," kata Sutan Pamenan, seorang ayah asal Bukittinggi. Dalam tradisi pernikahan di Sumatera Barat, ada yang disebut isyarat salapah kosong. Salapah adalah sebentuk tempat rokok. Dulu, kalau seorang suami menemukan isterinya tidak perawan lagi di malam pengantin, paginya sudah dapat diketahui dengan perginya sang suami sambil meninggalkan salapahnya dalam keadaan kosong. Setelah itu jangan diharap lagi ia akan pulang ke rumah isterinya. Ini juga sesuai dengan apa yang dikatakan "berpantang memakan sisa orang" dalam roman Tenggelamnya Kapal van Der Wijk karya Hamka. Apa yang ditulis oleh Hamka, memang banyak berbeda kemudian dengan apa yang ditulis oleh pengarang yang lebih mutakhir. Pramudya Ananta Toer misalnya, dalam buku Keluarga Gerilya menyebut ucapan seorang tokohnya ke pada pacarnya yang tidak perawan lagi Antara perawan dan tidak perawan katanya, cuma ada beberapa detil "yang tidak usah diperhitungkan," Zaman memang belum berantakan tapi toh sudah berubah. Seorang pelajar SMA Swasta di Yogya, kelas II, usia 17 tahun, bernama Susy menceritakan bahwa banyak anak-anak muda sekaranang sudah tidak perawan lagi, sebelun nikah. Tapi ia membela: "Apakah setiap pecahnya perawan seseorang gadis moralnya rusak? Tidak!" ujarnya tegas Lalu dengan tenang ia menceritakan sahabatnya yang telah melakukan kontak jasmani di luar nikah dengan pacarnya. Susy tidak melihatnya sebagai sesuatu yang bejat, karena kedua mereka tahu, yakin: setelah tamat SMA akan nikah. Apakah sikap Susy sudah umum di kalangan generasinya? Inilah kata Petty Tunjungsari, puteri sulung penyanyi Titiek Puspa, gadis metropolitan yang pernah memakai mahkota Puteri Remaja Indonesia tahun 1975. "Keperawanan itu penting sekali, untuk memberi tanda bahwa kita adalah anak baik, dan saya akan berusaha menjaganya sekuat mungkin," ujarnya. "Jangan lakukan itu sebelum memasuki masa perkawinan -- dan saya anjurkan setiap gadis menahannya." Ia sendiri bahkan pernah menangis waktu pacarnya memberi sun di pipi ketika ia masih berusia 13 tahun. "Saya merasa waktu itu kehilangan sesuatu, saya kira perbuatan seperti itu dulu sangat tercela," ujarnya. Padahal cuma sun, ya? Ketatnya sikap seperti sikap Petty mungkin juga karena ketatnya kaum pria juga. Seorang pelajar SMA Negeri Cikampek, misalnya berkata: "Bagaimana kita harus menerima isteri yang tak murni padahal belum nikah" Komentar ini mungkin merupakan satu jalur umum dari kebanyakan pelajar -- yang menghendaki adanya kemurnian pada gadis-gadis. Sementara seorang siswi bekas SMA VI Jakarta lantang bicara: "Mengapa hanya siswi yang diributkan keperawanannya? Bagaimana dengan para siswa yang saya tahu banyak tidak perawan lagi" Kaum wanita memang berhak diperlakukan tidak adil. Maka untuk menutup cerita ini, baik juga didengar protes Murniati, murid SPG kelas I Yogya, usia 17 tahun. "Kalau soal perawan bagi gadis harus diumumkan secara terbuka, harus diperlihatkan kepada orang lain, diperbolehkan diperiksa, kapan lagi seorang gadis punya sesuatu yang dirahasiakan?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus