Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Buruh indonesia: sebuah potret ...

Sejumlah buruh dari sejumlah pabrik di pinggiran jakarta melakukan unjuk rasa ke perwakilan ilo di jakarta. kondisi buruh di indonesia masih mempri- hatinkan.

8 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buruh Indonesia: Sebuah Potret Compang-camping Sekjen Serikat Buruh Merdeka Setiakawan "hilang" sehari sebelum unjuk rasa ke perwakilan ILO. Nasib buruh Indonesia masih memprihatinkan. Buruh hanya menjadi "tumbal pembangunan"? MATAHARI belum lagi tinggi. Walaupun begitu, suasana gerah mulai menjalari sekitar seratus orang yang berkumpul di trotoar jalan di depan kantor gedung perwakilan PBB di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Senin pagi pekan ini. Sejak pukul delapan mereka sudah berkumpul di sana, tapi tak bisa masuk gedung. Hampir semua muda usia. Beberapa di antaranya ada yang memakai kaus bertuliskan Serikat Buruh Merdeka Setiakawan (SBMS). Mereka tampak kebingungan menanti Saud H. Aritonang, Sekjen SBMS yang merancang unjuk rasa ini. Sementara itu, sejumlah aparat keamanan tampak berjaga-jaga. Beberapa di antaranya membawa alat pemotret, dan membidik wajah-wajah para pengunjuk rasa. Ada juga yang mencoba menghalau kerumunan di depan pusat perbelanjaan Sarinah itu. Mereka ternyata tidak beranjak Tampaknya, mereka sudah bulat bertekad untuk menyatroni kantor organisasi buruh sedunia International Labour Organization (ILO) -- sebuah organisasi yang menjadi salah satu organ PBB. "Kami ingin mengadukan nasib kami," kata Budi, 25 tahun, salah seorang demonstran. Disebut-sebut, misalnya, tentang kenaikan upah tahun ini yang hanya Rp 50/hari. Juga tentang pembentukan serikat buruh di pabrik tempat ia bekerja yang tak demokratis karena campur tangan pemimpin perusahaan. Mereka, katanya, datang dari sejumlah pabrik yang berada di pinggiran Jakarta. Unjuk rasa ini jelas merupakan bagian dari pergolakan buruh yang belakangan ini terus menggelegak. Namun, yang menarik, inilah unjuk rasa pertama yang mendatangi kantor ILO, hingga seakan berusaha mengadukan langsung nasib buruh Indonesia pada badan internasional ini. Dan yang menggerakkan adalah SBMS, serikat buruh baru yang berusaha "menyaingi" SPSI. Gejolak buruh belakangan memang terasa meningkat. Sepanjang tahun lalu, di Jakarta dan sekitarnya saja tercatat ada 61 kasus unjuk rasa yang melibatkan lebih dari 31 ribu tenaga kerja. Tahun ini -- sampai April 1991 silam -- sudah 34 kasus serupa meletus. Ditambah lagi dengan enam kasus pengaduan soal perburuhan ke DPR Pusat. Bisa diduga, peningkatan itu segera ditanggapi dengan kecurigaan. "Ada yang mendalangi orang-orang ini untuk melakukan unjuk rasa. Ada kasus-kasus yang sudah selesai, kemudian ditimbulkan lagi dengan cara seakan-akan mau membela buruh," kata D. Saragih Turnip, Direktur Bina Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja. Namun, lain lagi komentar Ketua Umum Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Imam Soedarwo. Menurut dia, meningkatnya jumlah unjuk rasa ini, "Karena pekerja semakin tahu hak-haknya. Dari segi pendidikan politik, ini positif." Kembali ke rombongan pengunjuk rasa tadi, sampai tengah hari, Saud yang dinanti tak juga muncul. Para pengunjuk rasa di depan gedung ILO itu tampak semakin resah. Rupanya, mereka tak tahu, sehari sebelumnya, Ahad lalu, Saud "diciduk" sejumlah orang berpakaian preman yang mengaku aparat keamanan, tidak jauh dari rumah sakit Metropolitan Medical Centre (MMC) di Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan. Ketika itu Saud dalam perjalanan menengok Ketua SBMS H.J.C. Princen yang sedang dirawat di MMC. Ia juga membawa dokumen berupa laporan kondisi perburuhan di Indonesia, yang rencananya diberikan kepada pejabat ILO yang dijadwalkan bertemu Senin pagi pekan ini. Isinya, konon, berupa keprihatinan tentang keadaan buruh di Indonesia, seperti soal upah, kesejahteraan, penghargaan jam kerja dan lembur, pemutusan hubungan kerja (PHK), serta kebebasan berserikat. Nasib Saud kini tak jelas. Pihak SBMS Senin petang lalu mengeluarkan siaran pers tentang raibnya Saud. "Sampai saat ini belum jelas di mana Saudara Saud H. Aritonang ditahan karena petugas yang menangkapnya tidak menunjukkan surat perintah penangkapan, dan tanpa menunjukkan identitas apa pun," begitu bunyi sebagian isi siaran pers yang ditandatangani oleh Hamid Huesin, Wakil Presiden SBMS itu. Mengapa Saud dkk. merencanakan pergi ke kantor perwakilan ILO di Jakarta? Sejak Rabu pekan ini, di markas besar ILO di Jenewa, dimulai konperensi ke-78 ILO. Dan Menteri Tenaga Kerja RI Cosmas Batubara mencalonkan diri menjadi Presiden International Labour Conference (ILC) alias pemimpin konperensi yang dijadwalkan berlangsung sampai akhir Juni 199l mendatang. Pencalonan itulah yang dikecam oleh SBMS, yang kini terdaftar resmi sebagai anggota ILO dengan nomor registrasi RL 74337 (di Indonesia SBMS belum terdaftar resmi). Dengan becermin pada keadaan buruh di Indonesia yang masih memprihatinkan itu, "Tidaklah etis kalau Menteri Tenaga Kerja RI terpilih menjadi Presiden ILC," kata Saud kepada Sandra Hamid dari TEMPO, Sabtu pekan silam, sehari sebelum ia diciduk. Akhirnya, Hamid terpaksa menggantikan Saud dalam pertemuan dengan Direktur ILO perwakilan Indonesia, Ian G. Cummings, Senin siang lalu itu. Hamid menjelaskan kepada Cummings tentang raibnya Saud -- bersama dokumen pernyataan protes yang sudah disusunnya. Ia kemudian diminta menuliskan kembali isi pernyataannya itu. "Ya, seingat saya saja jadinya. Lalu saya tanda tangani," kata Hamid seusai pertemuan kepada TEMPO di restoran MacDonald, yang letaknya persis di seberang kantor ILO. Sambil mengunyah roti hamburger ia menjelaskan, nota protes yang ditanda tanganinya itu tak berbeda dengan isi dokumen yang raib bersama Saud itu: keberatan dengan pencalonan Menteri Cosmas sebagai Presiden ILC. "Nanti kalau ia terpilih, bisa-bisa soal keadaan buruh yang buruk di sini semakin ditutup- tutupi," kata Hamid. Ditutupi atau tidak, kondisi buruh di Indonesia memang masih buruk. Cosmas sendiri mengakui. "Siapa yang mengatakan masalah buruh sudah habis," katanya pada TEMPO (baca: Seperti Memegang Burung). Selanjutnya ia membeberkan sejumlah beleidnya yang dianggap sangat melindungi kepentingan buruh, sejak ia memegang jabatan menteri tenaga kerja pada 1988. Seperti soal penetapan upah minimum dan jumlah jam kerja. Untuk daerah DKI, misalnya, untuk tahun ini ditentukan upah minimum Rp 2.600 per hari (tahun sebelumnya Rp 2.100/hari), sedangkan jam kerja setiap minggu ditetapkan berkisar 40-53 jam. Namun, peraturan di atas kertas prakteknya bisa berbeda di lapangan. Misalnya saja soal ketentuan upah minimum. Hasil penelitian yang dilakukan oleh SPSI terhadap 500-an pekerja cleaning service di 42 kantor pemerintah di Jakarta, pada Oktober tahun silam, mengungkapkan di 12 gedung kantor pemerintah, pekerja pembersih hanya mendapat upah berkisar dari Rp 900 sampai Rp 1.200 per hari. Masih di Jakarta, dua pekan lalu terungkap terjadinya penyekapan belasan buruh anak-anak berusia 12-14 tahun dalam sebuah kamar berukuran 4 x 6 meter di pabrik pengepakan PT Maju Jaya Mas Sejati, kawasan Penjaringan, Jakarta Utara. Selama berbulan-bulan bekerja, mereka tak pernah menikmati gaji, dan jam kerja tak jelas. Tampaknya, potret buruh Indonesia memang masih compang-camping. Jumlah mereka kini ditaksir hampir mencapai 20 juta orang, hampir seperdelapan di antaranya adalah buruh anak-anak berusia 10-14 tahun. Mereka terserak di berbagai bangunan pabrik -- lambang modernisasi Indonesia -- tapi nasib para buruhnya jauh dari modern. Inilah yang dilihat Saralen Purba, Ketua Sektor Perkayuan SPSI, sebagai akibat dari semangat deregulasi dan swastanisasi yang kelewat berkobar-kobar. Akibatnya, kualitas hidup buruh tak seimbang dengan laju pertumbuhan ekonomi. Faktor produksi, seperti modal, mesin, dan teknologi, terus ditingkatkan. Tapi, upah buruh malah ditekan. "Buruh cuma jadi tumbal pembangunan," ujarnya. Iming-iming tenaga kerja murah memang ditawarkan buat menggaet para investor asing agar datang ke sini. Memang di kawasan ASEAN, upah tenaga kerja Indonesia terhitung paling murah: US$ 25 sen/jam. Bandingkan dengan Malaysia yang upah buruhnya dua kali lipat, atau Muangthai yang tiga kali lebih besar. Maka, tak heran kalau Ketua Induk Koperasi Karyawan (Inkopar) Agus Sudono mengecam kecilnya upah buruh di Indonesia. Ia melihat ada pabrik milik Korea Selatan di sini yang memproduksi sepatu kualitas ekspor dengan harga US$ 100-150, tapi upah buruhnya hanya berkisar US$ 1/hari. "Ini keterlaluan. Jangankan hidup layak, untuk kebutuhan hidup minimun saja sudah nggak bisa," katanya. Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat UI Darmin Nasution juga terheran-heran melihat fakta ini. Secara teoretis, menurut dia, kenaikan hasil produksi biasanya akan diimbangi dengan meningkatnya upah yang sesuai. "Kenyataannya, kenaikan upah malah cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan kenaikan hasil produksi," katanya. Memang bukan rahasia lagi bila pendapatan minimum buruh di Indonesia hanya sekitar 60% dari kebutuhan fisik minimum (KFM). "Ini kan yang bikin buruh gampang terbawa emosi," kata Saralen Purba. Di Jakarta, misalnya, angka KFM menunjukkan sekitar Rp 70 ribu/bulan, atau setara dengan kebutuhan kalori minimum sekitar 2.600 kalori. Apa boleh buat, buruh kita tampaknya memang tak berdaya, baik secara ekonomi maupun politik. Membanjirnya penawaran tenaga kerja membuat para pengusaha tak ragu menendang buruhnya yang rewel, yang mencoba memperjuangkan nasibnya. Apalagi, kata Menteri Cosmas, sebagian besar buruh Indonesia itu hanya berpendidikan SD (77,9%). Lalu 20 persen lainnya berpendidikan SLP/SLA, dan sisanya perguruan tinggi (1,9%). Tentu tak heran kalau mereka gampang ditekan. Selain itu, untuk mendirikan serikat pekerja, seperti yang dijamin dalam pasal 28 UUD '45, masih sangat sulit. Pemerintah cenderung tak ingin buruh berpolitik seperti zaman Orde Lama dahulu, dan menginginkan hanya ada satu wadah tunggal untuk para buruh: SPSI. Bisa dimengerti bila kemudian Pemerintah ikut membidani lahirnya SPSI pada 1985 (menggantikan Federasi Buruh Seluruh Indonesia), yang sempat dikecam karena dinilai tidak demokratis. Beleid Pemerintah ini juga dikecam dunia internasional. Organisasi gabungan serikat buruh AS (AFL-CIO) dalam lima tahun terakhir ini sudah tiga kali mengadukan kondisi terpotongnya hak-hak buruh di Indonesia kepada Menteri Perdagangan AS. Mereka mendesak supaya GSP (Generalized System of Preferences) untuk Indonesia dicabut. Dengan fasilitas ini pemerintah RI mendapat keuntungan untuk mengekspor komoditi tertentu tanpa pajak. Soal "monopoli" SPSI ini pun sempat bergema sampai ke forum ILO. Semangat "wadah tunggal" -- yang di sini memang lazim -- dianggap bertentangan dengan semangat demokrasi. Dua tahun silam, dalam sidang ILO, beberapa organisasi buruh dari Eropa ikut mengecam keras pemerintah RI. Melihat itu, H.J.C. Princen pada September 1990 nekat memproklamasikan SBMS sebagai organisasi buruh alternatif. "Kelahiran SBMS merupakan puncak ketidakpuasan terhadap eksistensi SPSI," katanya. SPSI dinilainya sebagai organisasi yang tak mandiri -- karena dibiayai pemerintah -- dan tak bisa diandalkan untuk memperjuangkan hak-hak buruh. Sudah bisa ditebak, pejabat pemerintah seperti Dirjen Sospol Harisoegiman tak mengakui organisasi ini. "Lha, kalau sudah ada wadah tunggal, lantas Serikat Buruh Merdeka Setiakawan itu mewadahi siapa?" katanya. Banyak yang menganggap bentuk organisasi SPSI merugikan perjuangan buruh. Di FBSI yang sifatnya federatif, keanggotaannya terdiri dari Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan (SBLP). Artinya, pengelompokan buruh berdasarkan jenis pekerjaan. SBLP inilah yang memainkan peran penting. Mereka sangat otonom dan terkadang sulit "dikendalikan", bahkan oleh induk organisasi FBSI sekalipun. Sebaliknya, formula SPSI sifatnya unitarian, yang menerapkan unit kerja (tempat kerja) sebagai satuan terkecil dari organisasi pekerja. Dengan SBLP, kalau ada pemogokan di satu pabrik sepatu, misalnya, ada kemungkinan aksi itu meluas ke pabrik sepatu lainnya. Tapi dengan sistem unit kerja, aksi mogok bisa terlokalisasi hanya di satu unit kerja sebuah pabrik. Skenario itu kini diragukan karena ternyata banyak hak buruh yang dipotong. Meski Menteri Cosmas berjanji akan terus menindak pengusaha yang "nakal" ("Sudah 40 pengusaha yang diseret ke pengadilan karena melanggar ketentuan perburuhan. Delapan di antaranya dihukum penjara"), tak banyak yang yakin bahwa dengan aturan main yang ada ini nasib buruh Indonesia akan segera terangkat. Tampaknya, pendekatan baru perlu dilakukan. Sudah tiba saatnya buruh kita juga ikut menikmati kue pembangunan. Ahmed K. Soeriawidjaja, Indrawan, dan Andy Reza Rohadian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus