IBARAT ayam dan telur, entah mana yang duluan, antara upah dan produktivitas buruh di Indonesia tampaknya juga sulit ditebak. Yang jelas, mereka, entah karena dibayar murah atau bukan, sering dituding pemalas dan tidak produktif. Bila dibandingkan beberapa negara lain buruh Indonesia memang patut mengelus dada. Di Muangthai, kata Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sanyoto Sastrowardoyo, upah buruh tiga kali lipat dari yang diterima pekerja Indonesia. Di Malaysia, dua kali lipat. Di Jepang, malah 20 kali lipat. Perlakuan beda antara tenaga kerja asing dan tenaga kerja lokal ternyata juga diterapkan oleh perusahaan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) maupun perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing). Buktinya, ketika PT Hutama Karya, yang bekerja sama dengan perusahaan Takenaka Nippo, membangun jalan layang Pancoran, ada pekerja Indonesia mengeluh. Gaji pekerja Jepang waktu itu, katanya, rata-rata hampir dua kali lipat pekerja Indonesia. Pekerja "tamu" masih diberi kendaraan dan subsidi untuk mengontrak rumah di kawasan mewah Pondok Indah, Jakarta Selatan. Padahal, katanya lagi, beban kerja sama. "Bila upah riil buruh dinaikkan, produktivitasnya akan cenderung meningkat," kata Darmin Nasution, Kepala Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia. Seorang buruh PT Solitron perusahaan elektronik di Simpang Depok. Cimanggis, juga berpendapat demikian. Ia bersama kelompoknya setiap hari merakit 80 unit televisi dan 200 radio. Padahal, mereka sebenarnya sanggup merakit lebih banyak. Mengapa bekerja lebih keras? "Buat apa kerja seperti kuda, kalau upah cuma Rp 2.100 sehari," katanya. "Kalau dibayar Rp 5.000, kami bisa ngebut merakit 300 unit radio setiap hari." Sekitar tujuh tahun lalu, perusahaan elektronik National Gobel pernah membandingkan produktivitas tenaga kerja Indonesia dan Jepang di tempat mereka. "Selain banyak omong, orang kita juga terlalu sering ke belakang," kata seorang manajer National Gobel. Ia menambahkan dengan jam kerja 465 menit, 98 pekerja Indonesia hanya bisa merakit 600 televisi hitam putih 14 inci sehari. Pekerja Jepang, dengan jumlah orang dan jam kerja yang sama, mampu merakit 680 televisi dengan kualitas lebih baik. Banyak orang menganggap etos kerja bangsa Indonesia amat memprihatinkan. Ternyata, itu tak mengurangi perusahaan PMA, yang biasanya memiliki etos kerja tinggi, menanam modal di Indonesia. Pada 1987 hanya ada 130 proyek PMA baru, tetapi pada tahun berikutnya naik jadi 145 proyek, dan pada 1989 melonjak sampai 294 proyek. Gejala ini, kata Ketua BKPM Sanyoto, berkaitan dengan upah buruh yang murah, bahan baku melimpah dan Paket Kebijaksanaan Oktober 1986 yang memberikan sejumlah kelonggaran baru pada investor asing. Lalu, Pemerintah juga menurunkan nilai minimal investasi dari US$ 1 juta menjadi US$ 250.000 saja. Selain itu, kepemilikan mereka atas saham untuk investasi di Jawa bisa mencapai 95%, di luar Jawa bahkan bisa 100%. "Banyak pengusaha asing tak suka bila perusahaan mereka dipegang perusahaan lokal. Khawatir kehilangan inisiatif dan sulit berkembang," kata Hiroshi Takeda, Direktur Japan External Trade Organization (Jetro) di Jakarta. Priyono B. Sumbogo, Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini