Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Caleg Depresi ala Buku Teks

Tujuh caleg di Boyolali terancam gugur tak lulus uji kesehatan jiwa. Tapi hasil uji itu dianggap terlalu berpedoman pada buku teks.

11 Januari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAMBANG Sutopo terperanjat bukan kepalang. Untuk beberapa saat ia tak kuasa berkata-kata. Kepala Desa Sambon, Banyudono, Boyolali, Jawa Tengah itu tegas bersaksi bahwa Sumardi sebagai bawahannya tak pernah menampakkan perilaku aneh. Sebagai petugas pembantu pencatat nikah di KUA Banyudono, Sumardi juga tak pernah berbuat salah atawa bertindak neko-neko.

"Maksudnya kelainan jiwa itu yang bagaimana, to? Dia tidak gila, kok," kata Bambang kepada TEMPO sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Semua warga Sambon pun mengenal Sumardi sebagai pria supel dan rajin, sehingga mereka tak heran jika pengurus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menempatkan dia sebagai calon anggota legislatif nomor 3 untuk daerah pemilihan Boyolali III. Kalaupun ada yang tak jamak bagi mereka, hingga kini Sumardi, 40 tahun, belum juga beristri. Tapi, "Nikah kan soal jodoh, bukan soal perilaku atau mental," kata adik Sumardi, yang tak mau namanya dikutip.

Sumardi adalah satu dari 24 caleg yang dikabarkan tak lulus uji kesehatan di Boyolali. Kabar itu semula diembuskan Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Boyolali, Roni Budi Santosa, Kamis dua pekan lalu. Ia mengaku mendapat informasi dari sumbernya di RSUD Boyolali. Mereka lantas direkomendasi memeriksakan diri ke psikiater di RS Jiwa Klaten. Ketua KPU Boyolali, Purwanto, langsung meminta para caleg mengikuti rekomendasi itu. Hasilnya, tujuh orang dinyatakan tetap tidak lolos alias mengalami gangguan kejiwaan. Tapi tak ada penjelasan terperincinya. "KPU tak mendapatkan tembusan hasil diagnosis," kata Purwanto.

Secara umum Kepala RSUD Boyolali, Yulianto Prabowo, hanya menyatakan pihaknya menemukan indikasi kemung- kinan para calon wakil rakyat itu me- miliki gangguan kejiwaan, yakni berupa skizofrenia dan antisosial. Meski baru taraf gejala, katanya, secara teoretis para penderita skizofrenia biasanya mengalami gejala seperti mendengar suara dari dalam dirinya, yang tidak didengar oleh orang lain. Atau meyakini orang lain tengah membaca dan mengendalikan pikiran mereka. "Ucapan dan perilaku mereka sangat tidak beraturan sehingga kerap menakutkan orang yang berada di sekitarnya," kata Yulianto.

Para pengurus partai politik umumnya menolak membeberkan identitas kader mereka yang tak lulus uji kesehatan rohani itu. Hanya Abdul Rouf, Wakil Sekretaris PKB cabang Boyolali, yang bersedia menyebut nama kadernya. Dialah Sumardi, B.A., yang sehari-hari mengajar di sebuah SLTP swasta, dan Sumardi yang itu tadi. Sumardi yang BA menjadi caleg pada nomor urut 7 di daerah pemilihan I. "Kalau dari surat keterangan dokter, mereka mengalami kecenderungan depresi," kata Rouf.

Ketua PKB Boyolali, Jamal Yazid, mengaku sudah bertemu dengan kedua caleg tersebut dan tim dokter. Kepada dia, dokter menyampaikan, dari hasil tes, kedua kadernya itu terindikasi tidak bisa diajak berpikir dan bekerja berat. "Dikhawatirkan, kalau berpikir keras akan depresi," kata Jamal, mengutip penjelasan dokter. Hanya, kolega Jamal dari PDI Perjuangan, Probo Suhartono, meragukan akurasi hasil uji ini. Jika para caleg itu diperiksa ulang oleh tim dokter dari rumah sakit lain, dia percaya hasilnya akan berbeda. "Jadi, mereka jangan dicurigai dan dikatakan menderita kelainan jiwa," katanya.

Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, guru besar psikologi sosial Universitas Indonesia, menilai kesimpulan tim dokter RSUD Boyolali maupun psikiater yang memeriksa para caleg terlalu berpedoman pada text book, sehingga bias. Dia menduga analisis dan kesimpulan yang dibuat hanya merujuk pada buku panduan teknis semacam DSM-MD (Diagnostic Statistical Manual for Mentally Disorder). Padahal, di Amerika Serikat buku itu sudah banyak dikritik. Untuk sampai pada kesimpulan bahwa seseorang mengidap skizofrenia, menurut Sarlito, psikolog biasanya juga me- wawancarai anggota keluarga dan orang-orang dekat si pasien. Kalau soal depresi? "Siapa sih sekarang ini yang tidak begitu?" Sarlito menukas.

Sudrajat dan Imron Rosyid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus