Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tidak Semudah Membuat Kaleng Kerupuk

Pengadaan kotak suara tersendat. Apa yang dilakukan KPU?

11 Januari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANDUNG Bondowoso rasanya perlu didatangkan ke Surabaya. Kesatria dalam mitos yang membangun seribu candi dalam semalam itu perlu diminta bertandang untuk membantu pengusaha seperti Johny Susanto.

Direktur Utama PT Sinar Mulia Harapan itu kelihatan benar dirongrong capek. Ia duduk berselonjor, melemaskan kakinya. Meski gampang tersenyum, Johny tak kuasa menutupi keletihan dan lingkar hitam di bawah matanya. Sudah berminggu-minggu ini waktu tidurnya berkurang. Saban hari Johny tak bisa meninggalkan bengkel di kawasan Simo Tambaan di Surabaya. Di lahan seluas 2.000 meter persegi itu, siang dan malam, Johny harus bekerja ekstrakeras memantau para pekerjanya menyelesaikan pesanan.

Kali ini bukan onderdil sepeda motor dan mobil yang ia kerjakan seperti hari-hari biasanya. Sinar Mulia sedang bergulat dengan lempengan aluminium yang harus dibentuk menjadi kotak. Ukuran kotak aluminium itu harus pas: lebar 40 cm x panjang 40 cm x tinggi 60 cm. Kotak ini pun harus dibuat dengan sistem "knockdown", sehingga mudah dirakit, dibongkar-pasang.

Kotak itu juga harus diberi baut, gantungan, dan gerendel. Semuanya diberi logo Komisi Pemilihan Umum dan di- kemas dengan bagus, lalu dikirim ke berbagai daerah. Total jenderal pesanan yang datang ke pabrik Sinar Mulia adalah 300 ribu unit. Harga yang diterima Sinar Mulia adalah Rp 150 ribu plus pajak untuk sebuah kotak.

Itulah kotak suara yang akan digunakan dalam hajatan penting nasional bernama Pemilihan Umum 2004. Jatah kotak yang ditangani Sinar Mulia adalah bagian dari pekerjaan besar membuat perangkat penting pemungutan suara itu.

Yang menang tender adalah konsorsium PT Survindo Indah Prestasi, yang kebagian total pengadaan kotak suara sebanyak 2.194.155 unit. Johny Susanto adalah salah satu rekanan PT Survindo yang beruntung mendapat cipratan order. Tapi ada permintaan yang tak boleh ditolak, yakni order harus dikerjakan dengan kecepatan supertinggi. Maklum, terhitung sejak majalah edisi ini terbit, pemilihan umum tinggal 82 hari lagi.

Itu sebabnya Johny memerlukan Bandung Bondowoso. Soalnya, untuk membuat lebih dari 2 juta kotak suara tadi, konsorsium itu hanya diberi waktu 100 hari. Artinya, kalau mereka mau tepat jadwal, dalam sehari harus dibuat 20 ribu kotak. Itu terhitung sejak kontrak diteken PT Survindo pada 21 November 2003. Jadi, sesuai dengan kontrak, pada 29 Februari 2004, pekerjaan senilai Rp 311,5 miliar itu sudah harus rampung.

Survindo sudah menghitung bahwa kelompoknya sanggup mengerjakan 21.942 kotak dalam sehari. Dengan menghitung dipotong libur Minggu, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, serta persiapan pembuatan, Survindo setidaknya harus menghasilkan 25 ribu-30 ribu unit per hari. Dengan 11 bengkel, masing-masing enam di Jakarta, tiga di Surabaya, dan dua di Medan, tiap bengkel itu harus memproduksi sekitar 3.000 unit setiap hari.

Bila dana cukup, pasokan bahan baku (aluminum sheet) tersedia, mesin-mesin tidak ngadat, dan jumlah pekerja cukup, idealnya pengerjaan akan selesai tepat waktu. Apalagi, menurut Martin Hasan, Manajer Proyek Survindo, tiap pabrik punya kapasitas menghasilkan rata-rata 7.000-8.000 unit per hari.

Hitungan di atas kertas bisa tepat, bisa pula meleset. Pada kenyataannya, konsorsium itu baru bisa merampungkan 30 ribu unit pada hari ke-17, awal Desember silam. Sebanyak 3.000 kotak sudah diangkut dengan pesawat carteran Boeing 747-200 ke Papua. "Jumlah ini masih jauh dari target. Harusnya pada awal Desember itu mereka merampungkan 600 ribu unit. Tapi ini sisanya masih 2,1 juta lagi. Berat," kata Chusnul Mari'yah, Ketua Divisi Logistik Pemilu.

Angka sejumlah itu cukup membuat panik anggota Komisi Pemilu. Kepanikan ini semakin bertambah ketika pejabat Kedutaan Jepang di Indonesia menanyakan nasib sumbangan mereka senilai US$ 2,2 juta untuk membantu proyek ini. Proyek pengadaan kotak suara ini memang dibiayai melalui dua sumber: anggaran belanja negara dan bantuan dari pemerintah Jepang. "Para pejabat itu mendengar Survindo sulit berproduksi karena krisis bahan baku. Ini karena mereka kesulitan pendanaan," kata Sussongko Suhardjo, Wakil Sekretaris Jenderal KPU.

Pertanyaan itu cukup membuat Sussongko tak bisa tidur. Apalagi, sebagai Wakil Sekretaris Jenderal KPU, dialah yang meneken perjanjian jual-beli kotak suara antara Komisi Pemilu dan PT Survindo itu.

Tak cuma itu. Menurut Sussongko, PT Survindo juga tak bisa memenuhi permintaan KPU untuk menunjukkan jaminan bank. Padahal surat jaminan dari bank senilai Rp 64 miliar memang wajib diberikan pemenang tender kepada Komisi Pemilu sebagai jaminan pelaksanaan.

Kekecewaan Komisi Pemilu bertambah ketika dua surat peringatan dilayangkan, pada 15 Desember dan 18 Desember, tapi pengadaan kotak tetap tidak sesuai dengan jadwal. Alhasil, pada 19 Desember 2003, dalam rapat kecil KPU, diputuskan bahwa pembuatan kotak suara dipecah. Dua perusahaan yang dalam tender berada di bawah peringkat Survindo, yaitu PT Tjakrindo Mas dan PT Borimex, ditawari menggarap bagian 40 persen pengadaan kotak, yaitu 877.662 unit.

Nah, ketika kedua perusahaan itu ditawari menggarap masing-masing 20 persen, keduanya menyatakan sanggup. Dalam pertemuan itu, menurut Sussongko, PT Tjakrindo Mas menyanggupi. Tapi, belakangan, PT Borimex, karena alasan mepet-nya waktu, hanya bisa menyanggupi 10 persen. "Dalam rapat sehari kemudian, kami akhirnya memutuskan mengambil Tjakrindo Mas untuk menggarap 40 persen," kata Sussongko.

Pemecahan nilai kontrak itu sendiri dianggap tidak melanggar kontrak perjanjian. Sebab, dalam dokumen jual-beli dinyatakan, jika perusahaan pemenang tender tidak memiliki kinerja baik, KPU berhak mengurangi nilai kontrak itu. "Selain itu, waktu sudah mepet. Kita bicara apa yang harus terjadi saja," kata Chusnul.

Keputusan itu barangkali memang meringankan beban PT Survindo. Menurut Sihol P. Manullang, Direktur Utama PT Survindo, dana awal pengerjaan proyek kotak suara itu berasal dari pinjaman sementara Toga M. Sitompul, bekas Direktur Utama PT Surveyor Indonesia, salah satu pemegang saham Survindo, yang belum lama ini wafat. Dengan dana pinjaman Rp 12,5 miliar itulah pembuatan kotak suara diawali. Dana itu diduga telah habis terpakai.

Repotnya, Komisi Pemilu sendiri belum mencairkan uang muka sebesar 20 persen dari nilai kontrak, yaitu Rp 62 miliar. Padahal uang muka itu dibutuhkan untuk belanja bahan baku tambahan dan operasional produksi. Menurut Sussongko, uang muka hanya bisa dicairkan kalau PT Survindo menyerahkan surat jaminan bank dengan nominal yang sama. Tapi justru surat bank itu yang belum diperoleh Survindo.

Macet. Dan KPU pun memecah kontrak kotak suara ini. Selesaikah masalahnya?

Ternyata tidak. Kini Komisi Pemilu dan PT Tjakrindo Mas dihadapkan pada harga bahan baku atau aluminum sheet yang berubah. Saat proses tender berlangsung September hingga Oktober, harga bahan baku yang berkisar Rp 20.100 per kilogram plus pajak menjadi Rp 20.200. Meski cuma seratus perak, dengan tingkat kebutuhan aluminium yang sangat tinggi, kenaikan harga itu cukup merepotkan PT Tjakrindo Mas. "Yang jelas, ongkos produksi pada akhirnya juga meningkat," kata Tirto Soeseno, Direktur Pemasaran PT Tjakrindo Mas.

Kenaikan harga itu cukup membuat kesal Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin. Ia menuding kenaikan itu disengaja untuk mengganggu proses produksi kotak suara. Sebagian besar aluminum sheet di Indonesia kini diproduksi oleh PT Maspion lewat anak perusahaannya, Alumindo Light Metal Industry.

Alim Satria, Manajer Eksekutif PT Alumindo Light Metal Industry, membantah sengaja menaikkan harga. "Apalagi menghambat pemilu," kata Alim. Menurut dia, perbedaan seratus perak itu terjadi karena Survindo membeli barang jauh lebih dulu. "Kenapa Tjakrindo lebih mahal Rp 100, itu karena dia (Tjakrindo) pembeli baru. Jika belinya bareng, harganya akan sama," kata Alim.

Menurut Alim, harga yang diberikan itu pun sudah paling murah di ASEAN, meskipun biaya masuk impor aluminium diturunkan sampai 5 persen. "Jadi, jika ada tuduhan bahwa PT Alumindo mempermainkan harga, itu sama dengan 'lempar batu sembunyi tangan'," kata Alim.

Saling tuding begini tak akan menyelesaikan masalah. Padahal, susu sudah tumpah, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang bisa dilakukan? Ya, berharap kedua perusahaan penggarap kotak suara itu bekerja ekstrakeras merampungkan target. Sebab, jika sampai 15 Januari 2004, saat evaluasi pertama, keduanya tak memenuhi target minimal yang ditentukan, bukan tak mungkin akan ada pembatalan kontrak. "Karena itu, ada gunanya kami menaruh dua petugas di masing-masing pabrik, supaya jelas," ujar Chusnul.

Dan harus jelas juga bahwa pemilihan umum tidak boleh diundurkan hanya gara-gara "kaleng" suara kurang jumlahnya atau diganti kaleng kerupuk.

Widiarsi Agustina, A.M. Fikri, Zed Abidien, Sunudyantoro (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus