Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pak Haji Pun Jadi Sinterklas

Rupa-rupa persiapan "manggung" calon legislatif dalam kampanye nanti. Ada yang ingin masuk museum rekor.

11 Januari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAWA renyah para bocah mendadak membuncah begitu melihat pria tua berjenggot panjang seputih salju dengan topi kerucut merah menjulang. Berlarian mereka mendekat sambil menjulurkan tangan. "Sinterklas, Sinterklas!" pekik mereka kegirangan di Plaza Tunjungan, Surabaya, sekitar Natal silam, sembari berebut permen.

Sang "Sinterklas" pun melempar senyum ramah, sambil sesekali mengibaskan "rambut" ikal gondrongnya—mungkin gerah kelamaan memakai wig nilon itu. Padahal rambut dan jenggot aslinya sendiri sudah panjang berjela-jela. Tapi ada yang nyeleneh dalam penampilan tokoh Natal ini: ia hanya memakai kemeja dan celana panjang kasual.

Sinterklas "salah kostum" ini tiada lain daripada Haji Abdul Djalil Latuconsina, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Jawa Timur dengan nomor urut 23. Kampanye pemilu tinggal dua bulan lagi, dan rebutan empat kursi DPD dengan 44 kandidat lainnya bukan perkara enteng. "Dengan begini, orang mudah mengingat saya," kata Abah Djalil—begitu panggilannya—seperti dikutip tabloid Sapujagat.

Abah senang betul dipanggil Sinterklas oleh anak-anak. Tapi sayang, mereka belum akan nyoblos dalam pemilu mendatang. Adapun ketertarikan para orang tua belum lagi terbukti. Selain belum pemilu, bisa saja pemilih pangling. Sebab, tanpa jenggot dan rambut palsu, wajah pria kelahiran Namlea, Pulau Buru, Maluku ini lebih mirip... Usamah bin Ladin.

Kampanye Si Abah tak berhenti sampai di situ. Ia juga memproduksi sarung "Sapujagat" (sesuai dengan nama tabloid yang dipimpinnya) merek "Tjap Abah Djenggot". Pada plastik kemasan dicetak foto Djalil mengenakan kopiah dan baju hitam. Apakah sarung itu akan dibagikan gratis? Belum jelas, karena pada kemasannya ada tulisan "For Sale".

"Kampanye sarung" bukan monopoli Djalil. Calon anggota DPRD Surabaya dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Walidji, sudah memesan tiga ribu sarung yang akan dibagikan kepada pemilih. Di sisi depan bungkusnya tertera PKPI, nama dan foto wajahnya. "Hampir semua orang suka me- makai sarung," ujarnya. "Biar pemilih mudah mengingat."

Persaingan ketat antarcalon legislatif dan anggota DPD dalam pemilu nanti memang mulai seru. Masing-masing berlomba "menjual" wajah dan penampilan dengan berbagai cara, begitu resmi masuk daftar calon. Strategi nonkonvensional pun dilancarkan buat menekuk pesaing. Tengok saja Effendy Choirie, calon anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Effendy berencana membentangkan spanduk ukuran 1.150 x 1,15 meter di daerah pemilihannya, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Biaya Rp 25 juta tak masalah buat bekas wartawan ini. "Spanduk sedang digarap, nanti dipasang pas masa kampanye," ujarnya kepada TEMPO, Rabu lalu. Spanduk dibikin dari kain putih, dengan pesan-pesan politik berwarna hijau.

Pada tiap tujuh meter tersemat pesan sponsor, diapit logo PKB dan Nahdlatul Ulama (NU). Pokoknya semua slogan, nama, serta gambar wajah tokoh yang dianggap bisa mendongkrak simpati pemilih tumplek blek di sana. Tentu termasuk wajah Gur Dur, panggilan akrab bekas presiden Abdurrahman Wahid. Setidaknya ada sembilan pesan politik tercantum, macam "PKB Pilihanku," "NU Jami'yahku", "Untuk Membangun Gresikku", "Gus Dur Pemimpinku", dan "Robbach Ma'sum Bupatiku".

Dirasa kurang ramai, sekitar 160 bendera PKB dan NU bakal dipajang dari ujung ke ujung spanduk. "Tapi nama saya dan PKB yang mendominasi," katanya. Lokasi pemasangan pun dipilih strategis, yakni di wilayah Bunder dekat terminal dan pintu tol Gresik. Effendy tak khawatir spanduk politik sepanjang satu kilometer lebih itu akan dipersoalkan calon lain gara-gara menghabiskan tempat "jualan". Apa lagi yang mem- buatnya aman kalau bukan pencantuman nama Bupati Robbach di spanduk.

Biar kelihatan tambah wah, ia bahkan sudah melobi Museum Rekor Indonesia di Semarang, agar "spanduk naga" dicatat sebagai pemecah rekor terpanjang. Namun lembaga yang dipimpin Jaya Suprana itu menolak, karena rekor teranyar adalah spanduk sepanjang lima kilometer. Walau sudah ditolak, Effendy tetap menganggap spanduknya layak dicatat. "Ini spanduk politik terpanjang," ujarnya berdalih.

Calon anggota DPD dari DKI Jakarta, Bambang Warih Koesoemo, punya gaya lain untuk tampil beda. Buat mensosialkan gagasan sekaligus menarik simpati pemilih, dia sudah menyiapkan komik politik. Komik berjudul Ketika Harus Berdemokrasi itu bakal dicetak 20 ribu eksemplar menjelang kampanye nanti. "Ini untuk konsumsi kaum muda," katanya kepada TEMPO.

Makanya sampul depan komik bakal didominasi foto wajah bekas politikus Golkar ini sewaktu muda. Tokoh utama komik tadi juga pemuda: Tomo, anak desa cerdas yang kuliah di Jakarta. Namun isi cerita bukan "rayuan" agar memilih Bambang dalam pemilu, melainkan ide-ide tentang demokrasi secara umum. "Ini memang untuk jangka panjang," katanya.

Beda lagi Herman Rivai. Calon anggota DPRD Surabaya ini sibuk mencetak 100 ribu lembar stiker politik. Tapi isinya doa sehari-hari untuk pemilih beragama Islam. Contohnya, doa hendak keluar rumah dan sesudah makan. Memang tak ada logo partai di gambar tempel ukuran 10x4 sentimeter itu, tapi jelas pembuatnya aktivis Partai Amanat Nasional (PAN). Warnanya saja biru PAN, belum lagi di sebelah kiri ada foto Ketua Umum PAN Amien Rais, dan ujung kanannya foto Herman. "Mohon doa restu, saya mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di Surabaya," katanya kepada setiap orang yang ditemui di sebuah kafe di Plaza Surabaya, Ramadan lalu.

Persiapan berlaga di pemilu bukan cuma bagi-bagi barang. Kemampuan "menghipnotis" lautan massa tak luput dari perhatian. Itu sebabnya calon anggota DPRD Kota Bandung, Muhammad Fauzan Rachman, 35 tahun, terus me-ngasah kepandaiannya cuap-cuap di depan orang banyak. Dua kali seminggu halaman rumahnya di Jalan Banyu Biru, Kecamatan Marga Cinta, menjadi ajang orasi.

Temanya rupa-rupa, dari advokasi kaum miskin kota sampai "pembekalan" politik buat massa pendukung. Para anggota lembaga swadaya masyarakat Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia yang dipimpinnya setia menghadiri undangan rutin itu. "Kadang sepuluh orang," kata Fauzan kepada TEMPO, Jumat lalu. Seperti laiknya orator ulung, aktivis Partai Golkar ini mencoba me- yakinkan "massa"-nya agar mendesakkan perubahan di Indonesia.

Supaya lebih bersemangat, pidato di-lakukan bergantian dengan anak buahnya. Fauzan tak lupa memakai alat pengeras suara: peranti karaoke atau megafon. "Warga tidak mengeluh, karena sudah biasa," katanya. Ia mengaku tak hanya andal berorasi dalam sejumlah demonstrasi di kotanya, tapi juga membawakan puisi untuk menyemangati pendukungnya. Lalu selarik puisi dibacanya dengan sepenuh jiwa, "Menang, jika kita bersatu dengan rakyat/Rakyat dalam posisi menangis...." Ehm.

Jobpie Sugiharto, Sunudyantoro (Surabaya), dan Bobby Gunawan (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus