Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIDNEY Jones akhirnya harus mengepak barangnya. Sepucuk surat dari Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia DKI Jakarta, Selasa pekan lalu, memaksa Direktur International Crisis Group (ICG) itu hengkang. Selain mencabut izin keimigrasian Jones dan rekannya Lawe Davies Francesca Miriam, surat sakti itu juga memerintahkan keduanya segera cabut dari Indonesia.
Namun kepergian Jones tak serta-merta membuat kamar 1402 di Gedung Menara Thamrin itu tutup. Jumat pekan lalu memang sudah terlihat lebih sepi, tapi aktivitas di kantor tersebut masih menggeliat. "Yayasannya kan masih ada, dan tidak bermasalah," kata staf ICG, Lani Jauhari. Katanya, dalam hal tertentu "pengusiran" itu tidak banyak mengubah suasana kantornya. "Dulu pun sering sepi begini," ujarnya. Maklum, sehari-harinya di sana memang hanya bekerja empat orang: Jones, Francesca, Lani, dan Mahlil Harahap, satu-satunya staf pria.
Sulit dipercaya, kegiatan tiga cewek dan satu cowok sipil itu bisa-bisanya mengganggu tidur para petinggi Badan Intelijen Negara (BIN). Puncaknya dua pekan lalu, ketika dalam sebuah rapat tertutup dengan Komisi Pertahanan-Keamanan DPR, Kepala BIN Hendropriyono menyatakan ada sejumlah lembaga nonpemerintah dan individu yang diprediksi bisa mengganggu kelancaran pemilu presiden 5 Juli. Nama Sidney Jones pun muncul selepas pertemuan tersebut.
Mengapa perempuan berkulit putih itu ditakuti? "(Dia) membuat laporan-laporan yang dipublikasikan, sebagian dikirim ke luar negeri, yang (isinya) tidak semuanya benar," kata Hendro, usai sidang kabinet dua pekan silam. Laporan yang mana, ia belum lagi menjelaskan terperinci.
Jones sendiri mengaku tidak bisa mengira-ngira kasus apa yang mementalkan dirinya. Kata dia, banyak yang menghubungkan pendeportasian dirinya dengan laporan ICG tentang konflik di Aceh dan Papua. Yang lain menyebut laporan kasus Talangsari, Lampung?saat itu Hendro jadi Komandan Korem?yang menjadi pemicu. "Saya bingung, ini berhubungan dengan riset kami yang mana," kata Jones.
Aktivis hak asasi itu sendiri bukan tak mau mengklarifikasi. Menurut dia, sudah berkali-kali pihaknya meminta waktu bertemu Kepala BIN, lewat orang-orang dekat Hendro. Dua surat bahkan mereka layangkan pada April lalu. Tetapi BIN bergeming. "Kalau mereka memang tak mau, bagaimana lagi?" ucap Jones.
Kebingungan Jones memang beralasan. Selama ini hubungan ICG dengan Kepolisian dan BIN laiknya sebuah simbiosis. Dalam kasus terorisme dan isu Jamaah Islamiyah, misalnya, laporan ICG justru sering dianggap sebagai justifikasi pihak keamanan Indonesia untuk menelikung Abu Bakar Ba'asyir. Berkali-kali pula Jones tampil dalam perbincangan di TV bersama pejabat BIN. "Ya, saat itu mereka seolah saling mendukung," kata Ray Rangkuti, Koordinator Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), salah satu LSM yang disebut masuk dalam 20 LSM yang dipermasalahkan BIN.
Karena itu Ketua ICG Indonesia Todung Mulya Lubis melihat pengusiran tersebut sebagai langkah mundur. "Demokrasi sedang dilemahkan," katanya kepada Yopiandi dari Tempo News Room. Todung juga melihat pengusiran Jones dan pernyataan tentang 20 LSM yang menjual bangsa mengindikasikan telah hidup kembalinya cara-cara lama untuk menciptakan rasa takut dan saling curiga di masyarakat. "Kami merasa sudah mulai berhadapan dengan mesin represi dan intimidasi, seperti di masa lalu," kata Todung, yang mengadukan pengusiran Jones dan rekannya ke Komisi Pertahanan-Keamanan DPR bersama sejumlah tokoh LSM dan budayawan.
Namun tidak semua pihak menyangga atau bersimpati kepada Jones. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), salah satunya. Menurut juru bicara MMI, Fauzan al-Anshory, bila kenyataannya Jones memang merugikan citra Indonesia, pengusiran adalah harga yang pantas diterimanya. Fauzan sendiri menyatakan, MMI, terutama ketuanya, Abu Bakar Ba'asyir, termasuk yang dirugikan oleh apa yang disebutnya kebohongan ICG. "Gencarnya kampanye terorisme di sini juga tak lepas dari peran dia," kata Fauzan tentang Jones.
Menyerahkah Jones? "Saya akan tetap melawan tudingan itu," katanya. Sementara, "Saya akan parkir dulu di Singapura."
Darmawan Sepriyossa, Sunariah (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo