Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADEGAN kekerasan itu masih terbayang jelas di mata Faiz Sungkar, 38 tahun. "Tiba-tiba mobil yang ane naiki bareng teman-teman dihadang masyarakat di Jalan Proklamasi. Semua penumpang lari. Tapi ada satu yang ketangkep: dipukulin sampai babak-belur. Untung ane selamat. Mobilnya sendiri dibakar massa," ujar bujangan yang kini membuka percetakan di Tanah Abang, Jakarta, itu. Faiz menceritakan kembali kejadian di kawasan Jakarta Pusat pertengahan November 1998.
Teman-teman yang disebut Faiz sebetulnya adalah orang-orang yang baru dikenalnya selama beberapa hari. Tak ada yang akrab dengannya, kecuali seorang tetangga yang mengajaknya ikut bergabung ke kelompok itu.
"Kadang-kadang kita kumpul di Manggala Wana Bhakti, Gedung BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), atau Parkir Timur Senayan," katanya. Ketiga tempat itu letaknya tak jauh dari Gedung MPR/DPR, lokasi yang biasa dijadikan tempat demo mahasiswa.
Suatu ketika, sang tetangga memperkenalkan Faiz kepada seorang jenderal yang sedang berada di Tugu Proklamasi. "Tapi ane enggak ingat lagi siapa namanya," tuturnya mengingat-ingat. Entah siapa jenderal itu. Yang pasti, seorang jenderal yang berada di lokasi tak jauh dari Faiz adalah Mayjen (Purn.) Kivlan Zen, yang saat itu adalah Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Ia tak menampik bila disebut sebagai pemimpin kelompok yang populer dengan sebutan Pasukan Pengamanan (Pam) Swakarsa. Kivlan juga mengakui berada di Tugu Proklamasi saat itu.
Ia merasa punya alasan yang kuat memimpin massa. "Selain Gedung MPR/DPR, tempat ini adalah simbol yang harus dipertahankan supaya tidak jatuh ke tangan mahasiswa," katanya kepada TEMPO, Rabu dua pekan silam, sembari menunjukkan draf bukunya, Konflik Internal TNI-AD. Buku yang akan terbit bulan ini tersebut adalah hasil tesis S2 Kivlan di Jurusan Politik Universitas Indonesia.
Tapi omongan Kivlan tak cuma sampai di sini. Ia juga menyodok bekas atasannya, Panglima TNI Jenderal (Purn.) Wiranto, sebagai orang yang paling berperan dalam pembentukan kelompok pengamanan partikelir tersebut. "Itu perintah lisan Wiranto yang diberikan di Mabes pada 4 November pukul 15.30," ujarnya. Kivlan langsung bergerak. Puluhan ribu orang bisa segera dimobilisasi mulai 6 November. "Setelah itu, kita rapat lagi di rumah dinas Wiranto tanggal 9 November.
Menurut Kivlan, Wiranto menunjuk dirinya sebagai koordinator Pam Swakarsa karena kesuksesannya mengerahkan massa untuk merebut kembali Gedung MPR/DPR dari tangan mahasiswa pada 22 Mei 1998. Untuk memudahkan operasi di lapangan, Kivlan mengaku dijanjikan akan mendapat dana operasional yang sudah disetujui Presiden Habibie. Sumbernya dari Bulog dengan plafon Rp 10 miliar. Pembayaran awal sebesar Rp 1,25 miliar disampaikan oleh staf presiden, Jimly Asshiddiqie.
Ternyata, itulah pembayaran satu-satunya. Selebihnya mandek. Ia harus menombok dari sakunya sendiri sebesar Rp 5,75 miliar, yang ditutup dengan menjual rumah. "Saya memang habis-habisan," katanya. Setelah itu bolak-balik ia menemui Habibie, termasuk di Jeddah, Arab Saudi, tahun 2001. "Katanya sudah dibayarkan semua ke Wiranto." Yang membuat Kivlan kesal, selain Wiranto tak mengakui bahwa pembentukan laskar sipil itu merupakan perintahnya, urusan penyelesaian dana juga terkatung-katung. "Itu semua utang Wiranto," ujarnya.
Wiranto, yang ditemui dalam pembekalan juru kampanye Tim Wiranto-Wahid di Hotel Shangri-La, Senin pekan silam, dengan gusar membantah Kivlan. "Utang? Utang apa? Itu fitnah yang luar biasa, fitnah yang keji. Fitnah apa ini? Saya (dikatakan) tidak pernah membayar," kata calon presiden dari Partai Golkar itu berkali-kali.
Koordinator Bidang Perencanaan, Konsepsi, dan Evaluasi Tim Kampanye Wiranto, Letjen (Purn.) Suaidi Marasabessy?ia lulus berbarengan dengan Kivlan di Akabri Angkatan Darat, Magelang (1971)?menengarai rekan satu kampusnya dulu itu hanya dijadikan alat politik oleh lawan-lawan politik Wiranto. "Ada dua orang yang selalu mengembus-embuskan kasus seperti ini," katanya. Sayang, Suaidi memilih tak menyebutkan nama mereka. "Yang jelas, ini aneh. Itu kejadian 1998, kenapa baru dipersoalkan sekarang?" tanya dia.
Mantan Kepala Staf Umum TNI ini menjelaskan, dua pekan sebelum pelaksanaan Konvensi Partai Golkar, seseorang memintanya menemui Kivlan di kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selatan. Pertemuan itu berlangsung sekitar 10 menit.
Sebelumnya, ia sudah mendengar bahwa Kivlan menggadaikan rumahnya di Surabaya kepada Mayjen (Purn.) Noor Aman, mantan Asisten Pengamanan KSAD, senilai Rp 150 juta. Ketika Suaidi kembali ke kantornya di Menara Imperium, tak dinyana ia bertemu Noor Aman di lantai 7 gedung itu dan mendapat konfirmasi tentang penggadaian rumah Kivlan. Setelah mendengar cerita itu, menurut Suaidi, ia urunan dengan Jenderal (Purn.) Fachrul Razi, Wakil Ketua Tim Wiranto, Rp 200 juta untuk membantu Kivlan. "Harapan saya, persoalan Kivlan bisa segera selesai. Tapi ternyata malah berkembang seperti ini," ujarnya.
Kivlan membenarkan bahwa dia pernah menggadaikan rumahnya kepada Noor Aman seharga Rp 150 juta. Dia juga membenarkan pernah ditawari bantuan dari Suaidi Rp 200 juta. Tapi ketika itu ia minta tanda terima, dan ditolak Suaidi. "Tanpa kuitansi, saya tak mau karena itu cuma biaya tutup mulut saja," kata Kivlan. Sayang, sampai akhir pekan lalu, Noor Aman tak bisa dihubungi untuk dimintai keterangan.
Sementara itu, Jimly Asshiddiqie, yang kini menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, juga membantah soal uang Rp 1,25 miliar. "Enggak mungkin, dong. Saya kan bukan tentara. Masa, sipil bisa intervensi ke tentara. Itu kan urusan intern mereka," tuturnya kepada Angelus Tito S. dari Tempo News Room. Ia menyarankan agar Kivlan membawa masalah ini ke polisi, bahkan ke pengadilan, untuk membuktikan persoalan ini.
Terbentuknya Pam Swakarsa memang tak bisa dipisahkan dengan penyelenggaraan Sidang Istimewa (SI) MPR, 10-13 November 1998. Suhu politik menjelang SI saat itu memang luar biasa panas akibat gesekan kubu yang pro dan anti-SI.
Adalah Letjen (Purn.) Kemal Idris, salah seorang yang memantik semangat kubu anti-SI. Ketua Barisan Nasional (Barnas) itu tanpa tedeng aling-aling menyerukan kepada mahasiswa agar berdemonstrasi untuk menjatuhkan Habibie, dan menjalankan pemerintahan lewat sebuah presidium. Habibie, menurut Kemal, tak bisa dipercaya untuk menjalankan pemilu yang jujur dan adil. Selain itu, SI yang menguras biaya Rp 20 miliar itu tak akan ada hasilnya jika masih diisi oleh orang-orang Orde Baru.
Ajakan Barnas disambut hangat oleh para aktivis mahasiswa, utamanya oleh Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) serta Forum Kota (Forkot). Mereka bersumpah untuk menolak penyelenggaraan SI. Sumpah Famred dan Forkot itu kontan dijawab sejumlah ormas Islam, antara lain Forum Umat Islam untuk Keadilan dan Konstitusi (Furkon), yang menyatakan akan "berjihad" untuk menyukseskan SI.
Pandangan umum ormas Islam adalah bahwa SI adalah tahap terpenting menuju Pemilu 1999, dan pemerintah Habibie adalah pemerintahan transisi sehingga perlu diantar secara mulus. Untuk itu, diperlukan dua syarat mutlak yang harus dipenuhi: adili Soeharto dan cabut dwifungsi ABRI. Sesungguhnya paradigma ini bukan cuma eksklusif dimiliki kubu Islam, karena juga menjadi fokus tuntutan Forkot dan Famred.
Walhasil, saling ngotot kedua kubu ini telah menumpahkan darah yang tidak sedikit dan puluhan nyawa yang tercerabut sia-sia.
Namun, Pam Swakarsa bukan terdiri dari massa ormas Islam semata. Tak sedikit juga anggota Pam Swakarsa yang sifatnya "individual" karena tertarik ajakan teman seperti Faiz. Uang sakunya menarik. "Selama menjadi anggota sekitar tujuh hari itu, saya mendapat Rp 500 ribu. Enggak semuanya uang transpor, ada juga uang yang saya pinjam tapi tidak diminta kembali," ujarnya sembari tertawa kecil. Sayang, tak semua anggota Pam "seberuntung" Faiz.
Akmal Nasery Basral, Sudrajat, Fajar Wh. (Koran Tempo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo