Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Demi Masa Depan dan Supermi

Pertemuan Xanana dan Wiranto menuai kecaman di Timor Leste. Xanana bersikap sesuai dengan persoalan berat negerinya.

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGITU mendarat di Bandar Udara Nicolau Lobato, Dili, tidak seperti biasanya, Presiden Timor Leste Xanana Gusmao turun dari tangga pesawat dengan muka berkerut masam. Sambil menggendong putranya, diapit sang istri, Kirsty Sword Gusmao, dia melangkah ke luar bandara, Senin dua pekan silam. Kepulangannya dari Bali, seperti dilaporkan koresponden TEMPO, hanya disambut seorang opsir kantor kepresidenan dan sejumlah pengawal.

Begitu dia masuk ke ruang khusus di bandara itu, puluhan anak muda langsung menyergapnya dengan aksi demonstrasi. Dari luar ruangan, para demonstran berteriak-teriak, "Tangkap Wiranto, tangkap Wiranto." Spanduk dibentangkan. "Xanana telah membohongi rakyat Timor Leste," teriak sejumlah demonstran dari Aliansi Timor Leste untuk Pengadilan Internasional. Aliansi ini menuntut Wiranto, bekas Panglima TNI, disidangkan atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dalam pergolakan menuju pemisahan Timor Leste (dulu Timor Timur) dari wilayah RI pada 1999.

Xanana sontak memerah mukanya. Perjalanannya ke Kuta, Bali, dua hari sebelumnya, rupanya menuai protes. Sang Presiden, bekas pemimpin gerilya Timor Leste yang kerap disebut "si Raja Hutan", bertemu dengan Wiranto. Kedua bekas seteru itu berpelukan hangat. Foto peristiwa itu?Xanana tertawa lebar dan Wiranto tersenyum?segera tersiar luas ke sekujur penjuru bumi. Orang masih ingat bagaimana Xanana harus meringkuk di Penjara Cipinang, Jakarta Timur, akibat aksinya di hutan itu. Kini, dalam posisi yang berbeda, Xanana sebagai presiden dan Wiranto kandidat presiden, keduanya bagaikan sobat akrab.

Mereka bercengkerama, dalam sebuah pertemuan tertutup, di Cottage 212 Hotel Oberoi, Legian, Kuta. Seperti diakui Xanana, perjumpaan itu bersifat "pribadi dan bukan kenegaraan." Wiranto menyebut perjumpaan itu sebagai "pertemuan dua orang sahabat membicarakan kepentingan bangsa." Seusai acara, Wiranto menggelar konferensi pers. Tak banyak yang bisa dijelaskan Wiranto kepada kuli tinta waktu itu. Sayang, Xanana tak ikut berjumpa dengan wartawan. Dia langsung pergi sambil menunggu acara makan malam bersama Wiranto dan istri.

Bagi Wiranto, pertemuan itu seperti seteguk anggur segar. Sebagai kandidat Presiden RI dari Partai Golkar, dia kerepotan dibayangi tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste. Perjalanannya ke Istana Presiden tersaruk-saruk isu hak asasi itu. Di Timor Leste, Februari 2003, Jaksa Penuntut Kejahatan Berat dari Serious Crime Unit (SCU), satu badan peradilan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Leste, mendakwa Wiranto serta tujuh pejabat militer dan sipil terlibat pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste.

Tuduhan tersebut bermula dari kedudukannya sebagai Panglima TNI pada masa itu. Seusai jajak pendapat yang dimenangi kelompok pro-kemerdekaan, Timor Timur nyaris hancur dilumat bentrokan kubu pro-integrasi dan pro-kemerdekaan. "Dari sekitar 1.041 kasus pembunuhan yang terjadi pada masa itu, ada oknum TNI yang terlibat," ujar Jaksa Agung Timor Leste, Longuinhos Monteiro, kepada Faisal Assegaf dari Tempo News Room. Sebagai komandan tertinggi, Wiranto dipersalahkan.

Timor Leste sempat melangkah. Surat penangkapan bagi Wiranto telah dikeluarkan Hakim Panel Khusus Kejahatan Berat, Phillip Rapoza, pada 10 Mei silam. Panel Khusus adalah pengadilan campuran untuk kejahatan berat. Sebagian hakimnya berasal dari Timor Leste dan separuhnya lagi dari PBB.

Tapi surat yang ditandatangani Rapoza, hakim asal Amerika Serikat, hanya berumur sehari. Esoknya, Jaksa Agung Longuinhos Monteiro memveto surat penangkapan itu. Alasannya? "Saya tak ingin konfrontasi dengan Indonesia," ujarnya. Alasan lain Monteiro, dakwaan itu butuh sejumlah revisi dan melihat perkembangan politik nasional Timor Leste.

Xanana juga membaca perkembangan politik Indonesia. Sebelum dengan Wiranto, Xanana bertemu Presiden Megawati Soekarnoputri, di Hotel Patra, Kuta, 15 Mei silam. Kala itu, pembicaraan lebih banyak soal hubungan dua negara. "Kami tak bicara spesifik surat penangkapan Wiranto," ujar Xanana. Cuma, kata dia, ada satu kesepakatan penting: kedua negara setuju kasus pelanggaran hak asasi manusia diselesaikan lewat jalan rekonsiliasi.

Jika Xanana bersikap lunak, itu bukan tanpa perhitungan. Di mata Xanana, Indonesia tetaplah negeri penting bagi Timor Leste. "Kita masih makan Supermi, bahkan pakaian dan sandal juga dari Indonesia," ujarnya lagi. Ekonomi negeri baru itu masih sulit. Lebih dari separuh penduduk Timor Leste menganggur. Menurut Xanana, itu sebabnya dia lebih mementingkan kesejahteraan rakyat ketimbang menggelar pengadilan internasional.

Tapi diplomasi Xanana tidak diterima oleh seluruh rakyatnya. Demonstrasi di bandara tadi adalah buktinya. Menjawab pendemo, Xanana membela diri. Dia rela mengundurkan diri sebagai presiden seandainya "pertemuan Bali itu merugikan rakyat Timor Leste," ujarnya. Soal menggelar pengadilan internasional, kata Xanana, otoritas itu ada di tangan PBB.

Kondisi negerinya membuat Xanana bersikap pragmatis. Itu pula alasan dia mau menerima undangan Wiranto ke Bali. Sumber TEMPO di kantor kepresidenan Timor Leste mengatakan pertemuan itu terjadi akibat surat dan telepon dari Wiranto yang mengajak Xanana bertemu di Bali.

Di Pulau Dewata, keduanya memilih Hotel Oberoi di Kuta. Soalnya, kata sumber tadi, Xanana bersama Menteri Luar Negeri Ramos Horta dan Jaksa Agung Timor Leste pernah bertemu dengan Wiranto untuk kedua kalinya di hotel yang sama.

Dan kini bekas penguasa perang dan bekas tahanan itu "mesra" di Bali. Inilah yang dikritik rekan seperjuangan Xanana, Menteri Luar Negeri Ramos Horta. Menurut Horta, Xanana seharusnya menunda pertemuan itu hingga berakhirnya pemilu presiden di Indonesia. Langkah Xanana, menurut Horta, telah melecehkan martabat bangsa Timor Leste. Suka atau tidak suka, kata Horta, proses penuntutan oleh Panel Khusus itu harus dihargai. "Pertemuan itu telah merusak proses hukum terhadap Wiranto," katanya.

Reaksi Wiranto tentulah lebih rileks. Dia mengaku pertemuan itu sudah berlangsung berulang-ulang dan merupakan hal biasa. "Itu pertemuan biasa, pertemuan antara dua sahabat," ujar Wiranto di sela acara kampanye presiden di Nusa Tenggara Barat, Jumat silam. Pertemuannya dengan Xanana, kata Wiranto, adalah perjumpaan dua sahabat yang mengerti bahwa pertempuran itu hanya menyengsarakan rakyat.

Hanya itu? Kubu Wiranto membantah tudingan ada janji politik tertentu di balik pertemuannya dengan Xanana. "Deal politik apa? Saya sendiri menyaksikan, kok," kata Suaidi Marasabessy, pensiunan jenderal bintang tiga, salah satu motor tim kampanye Wiranto. Menurut Suaidi, kalaupun ada deal politik, itu menyangkut kerja sama membangun masa depan Timor Leste ketimbang memperkarakan masa lalu.

Tapi benarkah kubu Wiranto memfasilitasi pertemuan itu? Suaidi mengelak. Dia mengaku tidak tahu awal proses pertemuan. Alasannya, pertemuan itu bukan yang pertama, melainkan sudah yang ketiga kalinya. "Saya sendiri tidak punya kontak pribadi dengan Presiden Xanana," ujarnya.

Siapa pun yang mengontak sebenarnya tidak penting lagi. Wiranto seperti mendapat kartu baru dalam pencalonan presiden, tapi Xanana justru harus banyak menjelaskan kunjungannya ke Bali. Ada yang mengkritik, tapi ada juga dukungan untuknya. Nelson Correia, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Timor (PST), menyebut langkah itu realistis. Sebagai negara baru, kata dia, Timor Leste bakal kerepotan menangani agenda besar peninggalan PBB. "Salah satunya adalah dakwaan yang diajukan oleh SCU terhadap Wiranto itu," ujar Correia kepada Selma Hayati, koresponden TEMPO di Dili.

Kasus warisan PBB itu secara resmi belum ditutup. Jaksa Agung Monteiro melempar berkas perkara itu ke Dewan Nasional. Dipimpin oleh Presiden Xanana, Dewan Nasional terdiri atas wakil dari parlemen, mahkamah agung, dan masyarakat. Rencananya, dewan itu mengambil alih kebijakan pemerintahan PBB, yang bakal meninggalkan Timor Leste pada Desember mendatang. Dewan itu juga akan memutuskan kebijakan hukum, semisal pengadilan bagi pelanggar hak asasi manusia. "Dalam satu atau dua bulan ini, dewan itu segera terbentuk," ujar Monteiro.

Bisa dipastikan, selama Xanana memimpin Dewan Nasional, ia tak akan membawa Wiranto ke pengadilan, apalagi bila Wiranto memenangi kursi Presiden RI. Itu semua demi hubungan baik, dan Supermi.

Nezar Patria, Alexandre Assis (Dili), Sujatmiko (Mataram)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus