BILA pejabat diberhentikan, itu tidak aneh. Tapi bila ada yang berhenti atas permintaan sendiri, itu kejadian langka di negeri kita. Karena itu, ketika Burhamzah, Dirut Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan, mengajukan permohonan mengundurkan diri dari jabatannya, peristiwa itu segera menjadi berita, pekan lalu. Lebih-lebih ketika Gubernur pun tanpa banyak ngomong segera saja melantik H.A. Alimuddin, staf Kantor Gubernur, menggantikan Burhamzah, Jumat pekan lalu. Tindakan nekat Burhamzah, yang baru tahun 1983 menjadi Dirut BPD itu, tentu saja bukan tanpa sebab. Ia telah berani menolak mencairkan dana dari secarik cek Rp 25 juta yang ditandatangani Gubernur Amiruddin, dengan alasan cek kosong. Dalam posisi seperti itu, tindakan seperti yang diambil Burhamzah itu sulit ditemukan sekarang. "Tapi saya bangga karena saya sudah profesional," ujar Burhamzah kepada TEMPO, setelah menyerahkan jabatannya. Selain itu, Burhamzah merasa pengunduran dirinya konsisten dengan komitmennya bersama Gubernur Amiruddin: memperbaiki citra Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika Burhamzah, dosen senior Unhas, ditarik Amiruddin (gubernur ini bekas Rektor Universitas Hasanuddin) untuk memimpin BPD SulSel, dua tahun yang lalu, bank itu nyaris bangkrut. Dirutnya, Maula Rachman, diusut kejaksaan karena korupsi Rp 4,7 milyar. Maka, Burhamzah mencoba mengobati bank sakit itu, dengan cara memperbaiki sistem. Artinya, sekalipun milik Pemda, bank itu dikelolanya secara profesional sebagaimana layaknya sebuah bank, termasuk dalam menerima dan mendidik pegawai. "Kalau sedikit-sedikit 'ini perintah Pak Gubernur', kita akan kembali seperti dulu lagi," katanya. Tapi, belakangan, hubungan antara Amiruddin dan Burhamzah, yang dulu berteman akrab serta sama-sama dari Unhas itu, jadi retak. Itu mulai jelas, ketika 30 Agustus lalu, Burhamzah membuat pernyataan di koran lokal, yang berisi antara lain bahwa yang berhak mengawasi BPD hanya Bank Indonesia dan BPKP. Entah mengapa Gubernur menyuruh Burhamzah mempertanggungjawabkan pernyataannya itu kepada Mendagri di Jakarta. "Saya tidak ada dasar langsung menemui Mendagri," kata Burhamzah. Ia memang tak menghadap ke Jakarta. Lalu muncullah soal cek itu. Kisahnya, semula, Yayasan Perumahan Kantor Gubernur yang dipimpin Amiruddin memesan pembangunan 78 rumah (untuk pegawai) seharga Rp 450 juta lebih, kepada developer, PT Lima Jayakarta. Developer memodali pembangunan perumahan itu dengan mengambil kredit dari BPD Sul-Sel. Entah bagaimana ceritanya, uang yang dipinjamkan pada perusahaan itu jadi kredit macet. Atas permintaan Burhamzah, Juli lalu, Gubernur memberi bantuan Rp 25 juta kepada developer itu, dan uang itu dimasukkan di dalam rekening koran perusahaan itu di BPD. Tapi belakangan, entah dengan alasan apa, Direktur PT Lima Jayakarta mengadakan persetujuan bahwa uang yang Rp 25 juta itu tak lagi diperlukannya. Dan sebagai tindak lanjutnya, 26 Oktober yang lalu, direktur perusahaan tadi membuat surat ke BPD mcnyetujui pemindahan uang itu dari rekeningnya ke rekening Yayasan Perumahan Kantor Gubernur. Padahal, menurut Burhamzah, itu sesuatu yang musykil, karena rekening PT Lima Jayakarta masih tetap minus. Sebab, sekalipun Gubernur sudah membantu Rp 25 juta, masih belum cukup jumlahnya untuk melunasi utang perusahaan itu pada BPD. Oleh BPD uang itu memang sudah dikelola sebagai cicilan kredit. Sementara itu, Gubernur, yang merasa uang Rp 25 juta itu sudah dipindahkan ke dalam rekening Yayasan, 31 Oktober lalu, mencoba mengambilnya dengan cek bernomor 090177. Tentu ditolak Burhamzah. Pada tanggal 5 November lalu Burhamzah betul-betul membuat surat pengunduran diri, dan hari itu juga dikabulkan Gubernur. "Kita 'kan merupakan sebuah tim, kalau dia sudah tidak mau, apa lagi?" kata Amiruddin. Gubernur itu menolak bicara lebih lanjut dengan alasan, "Sudah watak saya tak menjelek-jelekkan bawahan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini