BANYAK yang kaget ketika berita itu muncul: 637 karyawan Caltex diberhentikan serentak karena terbukti terlibat dalam pemberontakan G-30-S/PKI. Beberapa hari kemudian ada laporan lagi: 960 karyawan Pertamina yang terlibat G-30S/PKI diberhentikan. Bisa dimengerti bila ada pertanyaan: Mengapa baru diberhentikan sekarang, 20 tahun setelah Peristiwa G-30-S/PKI? Apakah keterlibatan mereka dalam G-30-S/PKI baru saja terungkap? Ataukah pemberhentian itu ada hubungannya dengan kelesuan harga minyak saat ini? A. Zuhdi Pane, Kepala Humas Pertamina, membantah. "Bukan karena kelesuan harga minyak," katanya pekan lalu. Menurut dia, pemberhentian 1.641 karyawan Pertamina dan dua perusahaan asing, Caltex dan Tesoro, sejak 1 November 1985 ini berdasar keterlibatan mereka dalam Perbum (Persatuan Buruh Minyak). Organisasi ini dikenal sebagai onderbouw PKI. Golongan ini dianggap tidak berbahaya, hingga pemerintah masih memperkenankan mereka tetap bekerja, asal tidak diberi tugas yang berfungsi penting, dan nonstaf. "Kalau pada saat itu kita ganti, bisa kelabakan kita mencari penggantinya. Banyak di antara mereka tenaga lapangan yang ahli," ujar Zuhdi. Pada 1975 keluar Keppres Nomor 28 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang terlibat G-30-S/PKI golongan C. Mereka terbagi dalam tiga kelompok. Golongan C 1 adalah yang pernah terlibat dalam Peristiwa Madiun. Sedang C 2 adalah anggota biasa bekas organisasi masa yang seasas atau bernaung di bawah bekas PKI. Golongan C 3 adalah yang bersimpati terhadap G-30-S/PKI melalui sikap lahir, perbuatan atau tulisan, tapi tidak jelas peranannya dalam kegiatan pemberontakan G-30-S/PKI. Di Keppres itu disebutkan, pegawai negeri - termasuk karyawan perusahaan negara - yang termasuk golongan C 1 diberhentikan tidak dengan hormat. Sedang golongan C 2 dan C 3 yang masih bekerja dapat terus dipekerjakan disertai pembinaan dan pengawasan khusus. Selain Keppres itu, Kopkamtib juga mendesak agar mereka yang terlibat itu segera diselesaikan. "Jadi, hanya persoalan waktu saja, jika tahun ini baru bisa selesai. Kebetulan pengganti sudah siap dan dana untuk memberikan pesangon telah ada," tutur Zuhdi. Mereka yang diberhentikan itu terdiri dari orang-orang yang sudah hampir dipensiunkan, hingga bisa saja dipercepat pensiunnya. "Ini keputusan terbaik buat mereka, daripada mereka selalu merasa rendah diri, sebab semua orang sudah tahu siapa mereka. Sejak 1966 mereka tak lagi menikmati kenaikan pangkat. Sedangkan kalau mereka mengundurkan diri, jelas tidak akan mendapat pesangon." Jumlah pesangon yang diberikan, kata Zuhdi, memadai. Di Caltex ada yang menerima sampai Rp 14 juta, dan di Pertamina juga tak jauh berbeda. Mengapa sejak 1966 tidak diupayakan penyelesaian berangsur? "Itu bisa menimbulkan gejolak. Bagaimana mungkin memberhentikan yang satu, dan masih memakai yang lain? Maka kami putuskan: lebih baik memilih satu kali saja gejolak." Gejolak yang dikhawatirkan itu agaknya belum tampak. Tidak terdengar ada keluhan atau protes sejauh ini. Toh pihak keamanan tampaknya telah siap. Di hari pertama dan kedua PHK diberlakukan (31 Oktober dan 1 November), seperti dilaporkan Antara dari Pakanbaru, pihak ABRI melakukan penjagaan ketat untuk menghadapi segala kemungkinan, tapi situasi ternyata tenang. Menurut Anwar Baytil Sutan Midin, Kepala Bagian Personalia PT Caltex di Rumbai, Pakanbaru, PHK terhadap 637 karyawan Caltex tersebut secara efektif baru dimulai 1 Desember 1985. Artinya, mereka masih menerima gaji bulan November. Mereka yang terkena PHK itu semuanya nonstaf, 159 orang di antaranya semula bekerja di distrik Rumbai, 127 di Minas, 281 di Duri, 68 di Dumai, dan dua orang di Jakarta. Pesangon yang mereka terima, Rp 6 juta sampai Rp 25 juta. Pemberhentian mereka yang dianggap terlibat G-30-S/PKI di Caltex dan Pertamina tersebut tampaknya lebih lambat dibanding sejumlah perusahaan vital lain yang juga terkena ketentuan yang sama. Di PLN (Perusahaan Listrik Negara), misalnya, pembersihan besar-besaran dilakukan pada 1974 setelah turun instruksi Pangkopkamtib Sudomo (waktu itu). Menurut sebuah sumber di PLN, waktu itu ada 3 ribu (dari sekitar 20 ribu karyawan PLN di seluruh Indonesia) dirumahkan. Mereka yang tergolong kategori C 2 dan C 3 itu, 80 persen pegawai golongan I dan II, dan sisanya tingkat menengah (golongan III). Cara penyelesaian di PLN: mereka yang sudah mencapai usia pensiun langsung dipensiunkan. Sedang yang belum terpaksa dirumahkan, tapi selama dua tahun masih memperoleh gaji berikut fasilitas jabatannya semula. Jika setelah itu mereka memasuki usia pensiun, mereka langsung dipensiunkan. Jika belum, mereka tiap bulan selama 5 tahun memperoleh "uang tunggu" sebesar gajinya semula. Selama 7 tahun itu karyawan tersebut boleh bekerja di tempat lain, dan tetap memperoleh "uang tunggu". Pembersihan 1974 itu ternyata terus berlanjut. Pada 1982 di Sum-Ut terungkap ada 32 karyawan eks G-30-S/PKI golongan C 2. Di beberapa daerah lain, kemudian juga terungkap adanya satu-dua kasus yang sama. Kini, menurut sumber tersebut, PLN "sudah bersih". Di PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) pembersihan juga terus berjalan. Sebuah sumber mengungkapkan, saat ini "tak lebih dari satu persen" dari 51.399 karyawan PJKA yang bekas anggota SBKA yang menginduk ke SOBSI, yang termasuk organisasi PKI. Dominasi SOBSI di PJKA pada 1965 sangat kuat. Sekitar 60 persen dari 80 ribu karyawan PJKA waktu itu masuk SBKA. Pada 1966-1967 mereka yang terdaftar sebagai pengurus SBKA dipecat. Bekas anggota SBKA yang memegang jabatan penting (masinis, kepala stasiun, kondektur, dan kepala bengkel), kendati dinilai termasuk kategori PKI berat, masih tetap dipertahankan karena belum ada penggantinya. Baru sejak 1973 tak ada lagi bekas anggota organisasi terlarang itu yang memegang jabatan vital, setelah pengganti mereka siap. Pemberhentian karyawan golongan C 2 dan C 3 sekarang ini, menurut Menteri Tenaga Kerja Sudomo, memang merupakan pelaksanaan Keppres 28 Tahun 1975. Ditegaskannya, meski telah 20 tahun berlalu, masih ada kemungkinan eks PKI bergerak. "Apakah mereka digerakkan, atau bergerak sendiri, kita tidak tahu. Karena itu, masih merupakan bahaya laten." Susanto Pudjomartono Laporan Indrayati, Musthafa Helmy (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini