SURAT penghentian penyidikan perkara (SP3) yang dikeluarkan Kejaksaan Agung pada kasus Texmaco dipertanyakan para wakil rakyat, Jumat pekan lalu. Jaksa Agung Marzuki Darusman dan para stafnya sibuk menjawab pertanyaan anggota Komisi II dan Komisi IX DPR dalam rapat kerja di Senayan itu. Umumnya mereka menyatakan sulit menerima alasan Kejaksaan Agung menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi Marimutu Sinivasan, pemilik Grup Texmaco, terhitung sejak 16 Mei lalu.
Mengapa? Beberapa alasan penerbitan surat yang dikemukakan jaksa agung memang terkesan dipaksakan. "Sampai saat ini belum ada bukti negara dirugikan," katanya kepada Tiarma Siboro dari TEMPO. Kesimpulan itu berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap kredit Texmaco.
Selain itu, Marzuki menandaskan, kredit pra-pengapalan (preshipment) yang diperoleh Marimutu Sinivasan dari Bank BNI—diterima November 1997 sebesar US$ 616 juta dan Rp 450 miliar—baru akan jatuh tempo pada Desember 2000. Ditambah lagi, utang itu saat ini sedang dalam taraf restrukturisasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Maklum, BNI adalah pasien badan tersebut. Sehingga, Marzuki menyimpulkan saat ini tuduhan korupsi itu belum terbukti.
Argumentasi kejaksaan itu dibantah banyak pihak. Di antaranya Teten Masduki, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW). Menurut dia, pelanggaran yang dilakukan Sinivasan tidak hanya soal kredit macet, tetapi juga penggunaan dana. "Kredit itu seharusnya untuk modal ekspor, tetapi digunakan Sinivasan membayar utang dan pengembangan usaha," ujarnya. Diperkirakan dana yang diselewengkan untuk maksud tersebut sebesar US$ 17,16 juta dan Rp 1,4 triliun. Pengertian kerugian negara, kata Teten, tidak bisa dilihat dari pengertian sempit, tetapi juga harus dilihat dari perekonomian dalam arti makro. "Untuk merekap BNI, pemerintah mengeluarkan obligasi yang dibayar dari APBN. Apa itu tidak merugikan negara?" ujarnya. Biaya rekapitalisasi BNI, sebesar kurang lebih Rp 80 triliun, sebagian besar berasal dari kredit yang dikucurkan kepada Texmaco.
Bambang Widjojanto, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, juga menolak jika disebut negara tidak dirugikan oleh ulah Marimutu Sinivasan. Menurut dia, perjanjian itu hanya untuk 6 bulan tetapi prakteknya ditunda sampai 2 tahun tanpa membayar bunga. "Secara normatif, negara sudah dirugikan. Siapa yang bayar bunganya? Uang itu milik rakyat," katanya tegas.
Selain itu, hasil audit BPKP tidak sepenuhnya menyatakan kasus Texmaco steril dari korupsi. Pada kesimpulan yang dibuat masih ada kata "jika aktiva yang dijaminkan ternyata bernilai jual lebih kecil dari nilai kredit, selisihnya akan menjadi kerugian negara".
Tidak hanya itu. Penggunaan auditor pemerintah ternyata hanya sebatas memeriksa data yang disodorkan oleh pihak kejaksaan. "Harusnya, BPKP diberi kebebasan melakukan pencarian data sendiri untuk mengusut kasus tersebut," kata Soejatna Soenoebrata, mantan pejabat BPKP. Prosedur yang dipakai selama ini, menurut mantan Deputi Pengawasan Khusus BPKP itu, pihak kejaksaan hanya memberi order, sedangkan pengusutan dan pencairan data dilakukan oleh BPKP.
Kejanggalan-kejanggalan itulah yang kemudian menebarkan aroma politis di balik penerbitan SP3 itu. "Saya tidak heran kalau ada kepentingan politik di balik kasus ini," kata praktisi hukum Todung Mulya Lubis kepada Levi Silalahi dari TEMPO.
Melihat kedekatan Marimutu Sinivasan dengan berbagai elite politik, termasuk kalangan Istana, kemungkinan itu tidak mustahil terjadi. Ketika kasusnya sedang diproses, ia pernah bertemu dengan Presiden Abdurrahman Wahid. "Pertemuan itu bisa ditafsirkan jaksa agung sebagai bentuk perlindungan. Karena itu, ia tidak berani melimpahkan kasus itu ke pengadilan," tutur Teten Masduki. Presiden sendiri menyatakan tidak ikut campur dalam kasus Texmaco. Gus Dur bahkan mengaku tidak tahu akan ada penerbitan surat tersebut.
Di sisi lain, Marimutu Sinivasan juga punya hubungan khusus dengan Partai Golkar. "Adiknya kan bendahara Golkar," kata Bambang Widjojanto. Apalagi, Marzuki Darusman, si pengusut, juga dari Golkar. Posisinya semakin kuat ketika Taufik Kiemas, suami Wakil Presiden, dirangkulnya sebagai komisaris Texmaco seperti pernah diungkapkan Syaifullah Yusuf.
Namun, sinyalemen itu dibantah Marimutu Sinivasan. Menurut dia, tak ada nama Taufik Kiemas dalam akta perusahaan. Soal lobi-lobi politik yang disebut dilakukan Texmaco juga ditolaknya. "Kalau kami sekuat itu, kenapa tidak minta saja sama Marzuki agar tidak dijadikan tersangka?" ia menandaskan. Marzuki Darusman juga membantah ada intervensi politik dalam penghentian penyidikan ini. "Hal ini murni dilakukan berdasarkan pertimbangan hukum dan merupakan tanggung jawab penuh Kejaksaan Agung," katanya.
Namun, argumentasi yang disampaikan dengan suara datar itu rupanya sulit meyakinkan orang ramai, bahkan menerbitkan kecurigaan. "Orang tidak akan percaya lagi itikad baik dan kesungguhan pemerintah memberantas korupsi," ujar Todung Mulya. Komisi II dan Komisi IX DPR menyimpulkan penerbitan SP3 memang wewenang jaksa agung, tapi juga merekomendasikan bila di kemudian hari ditemukan bukti baru, surat penghentian penyidikan ini harus dicabut dan pemeriksaan dibuka kembali. Sejauh mana rekomendasi ini akan dijalankan? Barangkali akan berpulang pada kinerja Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang baru dilantik Marzuki Darusman pada Rabu pekan lalu.
Johan Budi S.P., IG.G. Maha Adi, Arief A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini