Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MELINTASNYA pesawat tak dikenal di langit Kepulauan Natuna menjadi perbincangan serius di Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu pekan lalu. Informasi itu awalnya diperoleh Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Madya Hadiyan Sumintaatmadja dari Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional Marsekal Muda Abdul Muis.
Menurut Hadiyan, Abdul Muis bercerita bahwa pesawat terdeteksi radar pertahanan udara Indonesia yang terpasang di Pulau Ranai, Natuna, Selasa pekan lalu. Radar jarak jauh itu dioperasikan Satuan Radar 212, salah satu satuan di bawah Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional I, yang berpusat di Jakarta. Namun tidak diketahui jenis pesawat itu. "Pesawat tempur atau pesawat angkut, kami tidak tahu," ujar Hadiyan, Rabu pekan lalu.
Hadiyan mengatakan perlu mengirim pesawat tempur, seperti Sukhoi dan F-16, untuk mengecek detail pesawat. Identifikasi visual bakal diikuti pengusiran atau memaksa mendarat untuk diinterogasi. Namun, karena radar tak cepat menangkap sinyal pesawat, identifikasi juga tak bisa segera dilakukan. Terlebih tak ada jet tempur yang siap digunakan di dekat Natuna. Walhasil, "pesawat asing" itu melenggang bebas di udara Natuna. Abdul Muis membenarkan kejadian tersebut.
Radar di Pulau Ranai berjenis Thomson tipe TRS 2215 R buatan perusahaan asal Prancis, Thales Raytheon System. Cakupan radar yang dipasang sejak 1982 itu meliputi wilayah Natuna dan Kepulauan Anambas. Menurut Hadiyan, radar di Ranai masuk kategori beroperasi tapi kinerjanya tak maksimal karena uzur. "Risikonya, sering terjadi penerbangan gelap di wilayah Indonesia," katanya.
Radar di Ranai adalah satu dari 20 unit radar jarak jauh yang dimiliki Indonesia. Radar disebar di 20 lokasi di bawah empat Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional, yang masing-masing berpusat di Jakarta, Makassar, Medan, dan Biak. Menurut Hadiyan, jumlah 20 radar belum bisa mencakup seluruh wilayah udara Indonesia. "Idealnya punya 32 radar," ujar mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional ini.
Dari sisi produk, 13 radar adalah keluaran Thales Raytheon System, yang terdiri atas delapan tipe Thomson dan lima Master T. Kerja sama Indonesia-Thales dimulai sejak 1959. Produk terakhir yang dibeli adalah lima unit Master T pada 2006-2012. Adapun tujuh radar lain diproduksi perusahaan asal Inggris, Siemens Plessey.
Menurut seorang perwira TNI, performa delapan radar buatan Thales sudah menurun lantaran dimakan usia. Salah satunya, daya jangkau pancaran yang rendah. Selain itu, teknologi Thomson usang. Thomson, antara lain, mulai kehilangan kemampuannya sebagai primary surveillance radar (PSR). "Kemampuan PSR mulai lemah. Tinggal sepertiganya."
Thomson cuma bisa berfungsi sebagai secondary surveillance radar (SSR). Padahal, idealnya, radar pertahanan udara punya kemampuan primary dan secondary surveillance sekaligus. Primary surveillance berfungsi menangkap sinyal pesawat militer dan komersial. Sedangkan secondary surveillance cuma bisa menangkap sinyal pesawat komersial. Pesawat komersial menggunakan transmitter responder sehingga terdeteksi. Adapun pesawat militer tidak menggunakan perangkat sinyal otomatis itu.
Menurut perwira tadi, pemeliharaan mengalami kendala karena Thales mengunci akses perangkat keras dan lunak radar serta mematok harga suku cadang yang tinggi. "Semuanya diblok," katanya. Selama kurang-lebih 50 tahun, Thales juga menutup pintu transfer teknologi untuk Indonesia. Bukan hanya itu, lima unit Master T yang dibeli pemerintah dari Thales pada 2006-2012 ternyata tak diproduksi lagi oleh perusahaan tersebut. Pada 2006, Thales sudah mulai menjual radar baru tipe GM-400. "Kita beli barang cuci gudang."
Wakil Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan Eris Heriyanto membenarkan tiadanya transfer teknologi dari Thales. "Saat itu memang tak dipersyaratkan," katanya. Tapi, menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan pada 2010-2013 itu, Undang-Undang Industri Pertahanan saat ini memaksa produsen melakukan transfer teknologi supaya industri lokal bisa mendukung pemeliharaan radar. "Sekarang kami menuntut itu." Eris membantah rumor bahwa pemerintah membeli barang cuci gudang dari Thales.
Kepada Tempo, Thales, melalui perusahaan rekanan di Indonesia, PT CITAC, menyangkal mengunci segala akses radar buatannya dan mempersulit suku cadang. "Bagaimana TNI mengoperasikannya kalau kami kunci?" ujar Direktur CITAC Ahmad Riyad. Soal tak ada transfer teknologi, itu dilakukan Thales karena kemampuan dan fasilitas industri serta sumber daya manusia Indonesia belum mendukung. "Kami harus logis menghadapi situasi seperti itu."
Toh, catatan negatif itu tak menghentikan laju Thales menyodorkan produknya. Setelah menang tender lima unit Master T, Thales kembali ikut tender empat unit radar pada April tahun lalu. Pengadaan ini masuk Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pertahanan 2010-2014 dengan anggaran US$ 114 juta. Selain Thales, berdasarkan salinan dokumen penawaran tender yang diperoleh Tempo, terdapat delapan perusahaan lain yang ikut.
Seorang pejabat yang terlibat dalam pengadaan radar mengatakan Thales bisa mendapat perlakuan istimewa lantaran didukung seorang pejabat TNI Angkatan Udara. Campur tangan pejabat ini dilakukan saat diskusi pemilihan spesifikasi teknis dan kebutuhan operasional radar di Angkatan Udara. Spesifikasi kebutuhan kemudian diusulkan Angkatan Udara ke Kementerian Pertahanan. "Pilihannya selalu mengarah ke produk Thales," katanya.
Sang perwira tinggi, menurut pejabat tadi, membantu Thales menang dalam tender lima unit Master T pada 2006-2012. Dia juga aktif mengegolkan proposal Thales dalam tender enam radar pada April tahun lalu. Tapi kala itu tender dibatalkan tujuh bulan setelahnya. Sumber ini mengatakan pejabat Angkatan Udara itu ikut bermain dalam pembatalan tender. "Tender digagalkan karena upaya mendorong Thales tak berhasil," katanya.
Sekretaris ketua panitia pengadaan saat itu, Kolonel Budi Prasetyono, membenarkan tender empat unit radar batal pada November 2015. Tapi, menurut dia, penyebabnya lantaran tak ada peserta tender yang bisa memenuhi persyaratan spesifikasi dan kebutuhan Angkatan Udara. "Tender gagal dan diulang di renstra berikutnya," ujar Budi. Direktur CITAC Ahmad Riyad memastikan Thales ikut tender ketika itu. "Kami tak bisa memenuhi syarat terkait spesifikasi."
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara Marsekal Pertama Wieko Syofyan mengakui instansinya menyampaikan usul spesifikasi kebutuhan radar ke Kementerian Pertahanan. Usul itu memang mengarah ke produk Thales. "Itu yang dibutuhkan, cocok dengan medan kita, dan terbukti cukup baik," katanya. Tapi Wieko membantah kabar adanya campur tangan perwira tinggi Angkatan Udara untuk memenangkan Thales. Ahmad Riyad juga menyangkal anggapan bahwa Thales dibantu seorang petinggi Angkatan Udara. "Semua melalui tender."
Di Kementerian Pertahanan, tender pengadaan radar yang sempat tertunda itu kembali masuk Rencana Strategis 2015-2019. Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal Djundan Eko Bintoro mengatakan ada penambahan enam radar untuk mengejar kebutuhan ideal 32 unit. "Sekarang masih proses pengadaan," ujarnya. Ada lima perusahaan yang ikut tender. Salah satunya Thales Raytheon System. "Menang atau tidak, kami belum tahu, dong," kata Ahmad Riyad.
Prihandoko
Tabel Perbandingan Radar
Jenis | Thales GM 40 | Lockheed Martin, AN/TPS-77 | Weibel MFSR-2100/48-5120 | |
Produksi | Thales, Prancis | Lockheed Martin, Amerika Serikat | Weibel Scientific, Denmark | |
Tahun Produksi | 2005 | 1990 | 2010 | |
Kemampuan | Surveillance, limited tracing | Surveillance, limited tracing | Multi-mission surveillance, tracing | |
Jarak (km) | 370 | 333 | 400 | |
Akurasi (m) | 50 | 50 | 50 | |
Ketinggian (km) | 30 | 30 | 30 | |
Sensor tambahan | tidak ada | tidak ada | Kamera optik | |
Harga (US$) | 38-40 juta | 38-40 juta | 28-30 juta | |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo