DAMAI lewat agama". Itulah tema yang ingin dicapai Konperensi
Asia pertama tentang Agama dan Perdamaian di Singapura minggu
terakhir bulan lalu. Tidak kurang dari 300 peserta mewakili 10
agama dari 17 negara Asia ambil bagian dalam pertemuan ini.
Sebuah deklarasi, resolusi, dan satu Badan Pekerja ditelorkan
oleh konperensi yang menelan biaya Rp 33 juta itu. Puluhan
kertas kerja serta laporan dari masing-masing negara memenuhi
koper peserta begitu mereka meninggalkan lobi gedung Pusat
Regional Pengajaran Bahasa Inggeris (Regional English Language
Center) tempat konperensi berlangsung. Ada yang bicara soal
toleransi antara Budha dan Islam di Muangthai, atau tentang
nasib golongan minoritas di Pilipina Selatan. Atau mengenai
pengungsi Vietnam yang terkatung-katung tanpa ada negara Asia
mau menerimanya.
"Kita bertemu sekarang dalam keadaan di mana negara-negara Asia
terus mengalami krisis, ketidak seimbangan ekonomi, adanya
kesewenang-wenangan baik atas kebebasan maupun terhadap mereka
yang minoritas. Kita bertemu pada saat kenangan pahit perang
dunia kedua belum lagi terkubur, sementara peperangan lokal
masih melanda di beberapa negara lain", demikian bunyi deklarasi
di akhir konperensi. Mungkin itu pula sebabnya konperensi ini
tidak melibatkan wakil-wakil dari Timur Tengah yang sekarang
masih dilanda peperangan karena sebab agama juga. Sekjen
Konperensi, Yasuo Katsuyama dari Jepang, dengan hati-hati
berdalih, bahwa "kawasan Timur Tengah memang tidak dimasukkan
dalam wilayah Asia".
Tak Dapat Paspor
Tapi soal-soal yang erat dengan politik tidak hanya menyangkut
negara-negara Timur Tengah saja. Negara-negara Indo Cina yang
kini berpemerintahan Komunis, ternyata menimbulkan berbagai
tanda-tanya. Beberapa pendeta Katolik dan Budha dari Vietnam
yang diundang, dikabarkan tidak mendapat paspor dari pemerintah
setempat. Keadaan serupa juga dialami seorang pendeta dari India
dan seorang lagi dari Pilipina. Tapi baik terhadap negara-negara
Indo Cina maupun Pilipina dan India. Konperensi tidak mengirim
memorandum protes.
Perdamaian, keamanan, harkat manusia, orde ekonomi internasional
baru, pendidikan agama serta kerukunan antar agama menjadi bahan
utama pembahasan dalam tiga komisi. Salah satu jalan menuju
perdamaian, begitu perdebatan di komisi satu, agar negara-negara
super power hendaknya menahan dlri untuk membuat senjata
mutakhir dan nuklir. Namun ini tidak berarti bahwa dengan
tiadanya perang maka dunia akan damai. Bahkan yang lebih penting
sebenarnya adalah masalah keadilan. "Dengan keadilan bisa juga
diciptakan perdamaian", demikian Anwar Haryono dari Indonesia.
Dunia kini, seperti diucapkan seorang pekerja tulus Ibu Teresa
dari India menghadapi berbagai kelaparan. "Kelaparan cinta dan
damai" katanya. Ibu Teresa, 66 tahun, yang bekerja di kalangan
masyarakat paling miskin di India hadir di tengah-tengah
konperensi dalam pakaian sari putih bergaris-garis biru. Tokoh
ini menarik perhatian paling besar. "Saya tidak datang atas nama
saya. Tapi saya kemari atas nama kaum miskin dan mewakili
mereka", katanya yang diiringi dengan linangan airmata sebagian
hadirin. Wajahnya yang sudah berkerut serta umur yang makin
menua tidak menyebabkannya mundur dari amalannya saat ini.
Berbagai penghargaan internasional yang didapatnya tidak
mengantar dirinya untuk bersikap angkuh.
Kode Etik
Damai menurut Ibu Teresa tidak sesulit seperti yang dikerjakan
Menlu AS Henry Kissinger. Baginya cukuplah "mendekatkan diri
kepada Tuhan selama 24 jam terus menerus. Ciptakan kedamaian di
rumah sendiri dan dengan begitu akan tercipta pula damai di
dunia". Mulai di rumah berarti mulai dengan keluarga, antara
orang tua dengan anak. Para kaum agamawan pun sampai pada
kesimpulan perlunya pendidikan agama digalakkan di kalangan
keluarga. Kepada siapa? Beberapa pihak menyatakan untuk
kebutuhan sang anak. Namun yang lain membantah, "yang perlu
dididik sekarang bukannya yang muda, tapi yang tua. Orang-orang
tua ini sekarang yang banyak korupsi, berbuat sewenang-wenang
yang dilarang oleh agama", demikian seorang Utusan Muangthai.
Dalam soal kehidupan antar agama deklarasi konperensi ini
menerima usul perlunya diciptakan "kode etik" antar umat
beragama. Usul Anwar Haryono dari Indonesia itu, sebelumnya
sudah beberapa kali dikemukakan oleh Presiden. Suharto. Baik
Anwar Haryono maupun beberapa utusan negara-negara lain
nampaknya punya cukup pengalaman akan praktek-praktek penyebaran
agama yang kadang-kadang bisa memancing salah paham.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini