Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Damailah di rumah, kata ibu teresa

Konperensi asia pertama tentang agama & perdamaian di singapura dihadiri sekitar 300 orang mewakili 10 agama dari 17 negara asia. wakil-wakil dari timur tengah tidak diikut sertakan. (ag)

18 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAMAI lewat agama". Itulah tema yang ingin dicapai Konperensi Asia pertama tentang Agama dan Perdamaian di Singapura minggu terakhir bulan lalu. Tidak kurang dari 300 peserta mewakili 10 agama dari 17 negara Asia ambil bagian dalam pertemuan ini. Sebuah deklarasi, resolusi, dan satu Badan Pekerja ditelorkan oleh konperensi yang menelan biaya Rp 33 juta itu. Puluhan kertas kerja serta laporan dari masing-masing negara memenuhi koper peserta begitu mereka meninggalkan lobi gedung Pusat Regional Pengajaran Bahasa Inggeris (Regional English Language Center) tempat konperensi berlangsung. Ada yang bicara soal toleransi antara Budha dan Islam di Muangthai, atau tentang nasib golongan minoritas di Pilipina Selatan. Atau mengenai pengungsi Vietnam yang terkatung-katung tanpa ada negara Asia mau menerimanya. "Kita bertemu sekarang dalam keadaan di mana negara-negara Asia terus mengalami krisis, ketidak seimbangan ekonomi, adanya kesewenang-wenangan baik atas kebebasan maupun terhadap mereka yang minoritas. Kita bertemu pada saat kenangan pahit perang dunia kedua belum lagi terkubur, sementara peperangan lokal masih melanda di beberapa negara lain", demikian bunyi deklarasi di akhir konperensi. Mungkin itu pula sebabnya konperensi ini tidak melibatkan wakil-wakil dari Timur Tengah yang sekarang masih dilanda peperangan karena sebab agama juga. Sekjen Konperensi, Yasuo Katsuyama dari Jepang, dengan hati-hati berdalih, bahwa "kawasan Timur Tengah memang tidak dimasukkan dalam wilayah Asia". Tak Dapat Paspor Tapi soal-soal yang erat dengan politik tidak hanya menyangkut negara-negara Timur Tengah saja. Negara-negara Indo Cina yang kini berpemerintahan Komunis, ternyata menimbulkan berbagai tanda-tanya. Beberapa pendeta Katolik dan Budha dari Vietnam yang diundang, dikabarkan tidak mendapat paspor dari pemerintah setempat. Keadaan serupa juga dialami seorang pendeta dari India dan seorang lagi dari Pilipina. Tapi baik terhadap negara-negara Indo Cina maupun Pilipina dan India. Konperensi tidak mengirim memorandum protes. Perdamaian, keamanan, harkat manusia, orde ekonomi internasional baru, pendidikan agama serta kerukunan antar agama menjadi bahan utama pembahasan dalam tiga komisi. Salah satu jalan menuju perdamaian, begitu perdebatan di komisi satu, agar negara-negara super power hendaknya menahan dlri untuk membuat senjata mutakhir dan nuklir. Namun ini tidak berarti bahwa dengan tiadanya perang maka dunia akan damai. Bahkan yang lebih penting sebenarnya adalah masalah keadilan. "Dengan keadilan bisa juga diciptakan perdamaian", demikian Anwar Haryono dari Indonesia. Dunia kini, seperti diucapkan seorang pekerja tulus Ibu Teresa dari India menghadapi berbagai kelaparan. "Kelaparan cinta dan damai" katanya. Ibu Teresa, 66 tahun, yang bekerja di kalangan masyarakat paling miskin di India hadir di tengah-tengah konperensi dalam pakaian sari putih bergaris-garis biru. Tokoh ini menarik perhatian paling besar. "Saya tidak datang atas nama saya. Tapi saya kemari atas nama kaum miskin dan mewakili mereka", katanya yang diiringi dengan linangan airmata sebagian hadirin. Wajahnya yang sudah berkerut serta umur yang makin menua tidak menyebabkannya mundur dari amalannya saat ini. Berbagai penghargaan internasional yang didapatnya tidak mengantar dirinya untuk bersikap angkuh. Kode Etik Damai menurut Ibu Teresa tidak sesulit seperti yang dikerjakan Menlu AS Henry Kissinger. Baginya cukuplah "mendekatkan diri kepada Tuhan selama 24 jam terus menerus. Ciptakan kedamaian di rumah sendiri dan dengan begitu akan tercipta pula damai di dunia". Mulai di rumah berarti mulai dengan keluarga, antara orang tua dengan anak. Para kaum agamawan pun sampai pada kesimpulan perlunya pendidikan agama digalakkan di kalangan keluarga. Kepada siapa? Beberapa pihak menyatakan untuk kebutuhan sang anak. Namun yang lain membantah, "yang perlu dididik sekarang bukannya yang muda, tapi yang tua. Orang-orang tua ini sekarang yang banyak korupsi, berbuat sewenang-wenang yang dilarang oleh agama", demikian seorang Utusan Muangthai. Dalam soal kehidupan antar agama deklarasi konperensi ini menerima usul perlunya diciptakan "kode etik" antar umat beragama. Usul Anwar Haryono dari Indonesia itu, sebelumnya sudah beberapa kali dikemukakan oleh Presiden. Suharto. Baik Anwar Haryono maupun beberapa utusan negara-negara lain nampaknya punya cukup pengalaman akan praktek-praktek penyebaran agama yang kadang-kadang bisa memancing salah paham.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus