Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bung Hatta, Bung Karno pergerakan...

Sejarah pergerakan nasional indonesia amat dipengaruhi oleh dua pemimpin, bung hatta & bung karno yang aktiv di pni. walau keduanya kemudian berbeda, sebenarnya tak ada pertentangan ideologis yang besar.

25 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM sejarah Indonesia sebelum Perang Dunia ke-II, mungkin tak ada suatu masa yang demikian penting seperti berdirinya PNI dan perkembangannya antara 1927 sampai 1934. Bukan saja karena itulah cetusan suatu gerakan nasional yang sejati, tetapi juga karena para pemimpinnya adalah orang-orang yang kemudian membawa Indonesia ke kemerdekaan di tahun 1945. Sikap dan pertentangan antar mereka sangat mempengaruhi sejarah Indonesia kontemporer. Masa yang penting ini ditinjau oleh seorang sejarawan muda dari Australia, Dr. John Ingleson, dalam bukunya yang baru terbit, Road To Exile (Heinemans Educational Books, Kuala Lumpur/Hongkong, 1979). Tulisan ini bukan resensi atas buku yang sangat berharga itu. Kita hanya akan memakainya untuk meninjau satu segi sejarah pergerakan nasional kita -- yaitu mengenai sifat ideologinya. Tokoh yang secara istimewa muncul dalam buku Ingleson adalah Bung Hatta dan para mahasiswa Indonesia di Nederland di masa itu. Di kalangan mereka inilah ide satu partai nasionalis dilahirkan. Mereka adalah anggota Perhimpunan Indonesia (PI), dengan penerbitannya Indonesia Merdeka, dan dengan tokoh-tokoh seperti Hatta, Ali Sastroamidjojo Sartono, Sudjadi dan lain-lainnya. Lewat Sudjadi, PI kemudian berhubungan dengan klub-klub studi yang ada di tanahair, di mana ide nasionalisme juga tumbuh. Nasionalisme yang pada waktu itu dilahirkan punya beberapa pokok fikiran. Pertama, kesatuan nasional, yakni mengesampingkan perbedaan daerah dan suku utuk melahirkan suatu negara-nasion. Kedua, solidaritas, yakni untuk menciptakan front yang dijajah terhadap penjajah. Ketiga, nonkooperasi (tak hendak bekerja sama) dengan penjajah dan berdiri atas kaki sendiri. Sebenarnya dalam program ini tak ada yang baru. Sebelumnya ide kesatuan nasional sudah dilancarkan oleh Indische Partij, berdikari oleh Sarekat Islam dan kemerdekaan serta non-kooperasi dikemukakan oleh Partai Komunis Ind-onesia. Tetapi dalam progra PI semuanya disatukan. Kalau pokok-pokok fikiran PI ditinjau, maka sebenarnya hampir tidak ada sesuatu yang bersifat "isme" -- kecuali prinsip "kesatuan nasional". Tak ada pemikiran mengenai perubahan struktur masyarakat Indonesia. Yang menonjol adalah mengenai cara untuk mencapai Indonesia merdeka, bukan pemikiran mengenai masyarakat yang akan datang. HATTA DAN MARXISME PI sangat dipengaruhi oleh gerakan Sinn Fein yang di tahun 1920-an membebaskan Irlandia dari penjajahan Inggeris. Juga gerakan nasional India jadi contoh. Tapi revolusi Rusia di tahun 1917, yang melahirkan tatanan masyarakat baru sama sekali tak mengilhami PI. Mungkin karena revolusi Rusia tersisih dari dunia intelektuil Belanda waktu itu. Hatta dan banyak mahasiswa Indonesia waktu itu memang terpengaruh oleh Marxisme, tanpa mempunyai tali dengan komunisme. Yang menarik dari Marxisme bagi mereka adalah teorinya tentang imperialisme, dan juga faham determinisme sejarahnya, yang memberi mereka keyakinan bahwa Ihdonesia atau jajahan manapun akan merdeka suatu hari nanti.ÿ20 Waktu itu Hatta juga tak menolak kerja-sama dengan kaum komunis. Bahkan ada hubungan erat dengan Semaun, tokoh komunis dan agen Komintern (Komunisme Interna~sional) waktu itu. Dalam suratnya kepada Sudjadi ia menulis, bahwa " . . . kaum komunis juga punya cita-cita sama seperti kita, yakni kemerdekaan." Kalau mereka menekankan perjuangan klas, kata Hatta, itu sama dengan "perjuangan rasial kita" (terhadap penjajah Belanda). Pun Hatta tak percaya bahwa Semaun atau komunis Indonesia lain adalah komunis sejati. Sebab, "Struktur sosial ekonomis masyarakat Indonesia tak merupakan tempat yang subur bagi komunisme dalam arti Barat . . . " Pendapat Hatta pada tahun 1920-an dan 1930-an ini kedengaran mirip dengan pemikiran Bung Karno tentang kaum komunis. Pembentukan suatu partai nasional sendiri sangat erat hubungannya dengan kegagalan pemberontakan komunis di tahun 1927. Juga setelah terjadinya perpecahan Sarekat Islam (SI) antara sayap kanan dan sayap kiri. Moh. Hatta dari Negeri Belanda pun merencanakan suatu Indonesische Nationalistische Volkspartij, yang kemudian di Indonesia dinamakan Sarekat Ra'jat National Indonesia (SRNI). Tapi program SRNI agak konservatif bila dibandingkan dengan tulisan-tulisan PI awal tahun 20-an. Mungkin ini reaksi terhadap rencana kaum komunis yang bertujuan menggulingkan kekuasaan kolonial secara revolusioner. KEKERASAN Hatta agak segan memakai kekerasan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, biarpun dia cukup realistis untuk melihat bahwa kekerasan pada akhirnya harus dipakai. Kekerasan ini pun diharapkannya hanya sekali saja perlu dalam sejarah Indonesia -- suatu ide yang sama dengan PNI Sukarno, yang di tahun 1927 juga enggan untuk memakai kekerasan. Meskipun begitu kalangan Sukarno (dan Sartono) tidak menyetujui program SRNI yang meminta "hak suara umum" dari pemerintah kolonial Belanda. Bagi Sukarno cs., ini bertentangan dengan asas non-kooperasi. Bagaimana seandainya pemerintah kolonial memberi hak itu, dan Volksraad (Dewan Rakyat) kolonial pun dipilih secara demikian? Apakah itu menjadikan Volksraad legal di mata kaum non-kooperator dan nasionalis? Tapi juga program PNI yang dipimpin Sukarno pada dasarnya tak lebih radikal dari program SRNI Hatta. Bagi kedua pemimpin pergerakan nasional yang kemudian jadi proklamator itu, masyarakat Indonesia kelak masih dilihat secara samar-samar. Baik SRNI maupun PNI waktu itu tak memuat dalam programnya hal-hal yang dapat menyinggung kalangan elite Indonesia sendiri. Tak ada soal landreform, pembagian kekayaan dan lain-lain yang biasanya dikaitkan dengan program sosialistis. Juga tak ada analisa mengenai masyarakat Indonesia waktu itu, kecuali mungkin mengenai golongan kooperator dan kapitalisme asing. Seperti yang disebut oleh Ingleson, dan juga terlihat dari tulisan-tulisan para pemimpin itu, tak ada suatu perbedaan ideologis yang besar antara mereka. Khususnya antara Bung Karno dan Bung Hatta. Keduanya samar-samar punya komitmen terhadap sosialisme, tetapi tidak menjelaskannya lebih lanjut bagi Indonesia. Perpecahan yang timbul kemudian juga pada dasarnya merupakan faksionalisme di kalangan yang berideologi sama. Ketika Sukarno ditahan di tahun 1929, Hatta sangat kecewa bahwa tak ada aksi apapun dari gerakan nasionalis. Bahkan PNI dibubarkan sendiri oleh Sartono -- satu tindakan yang menurut Ingleson akibat tekanan Jaksa Agung Hindia Belanda. Periode bubarnya PNI itu kemudian jadi sumber perpecahan antara PNI-Baru yang didirikan Hatta dan Sjahrir dengan Partindo, yang dipimpin kembali oleh Sukarno. Disebutkan bahwa Partindo menekankan aksi massa, sedang PNI-Baru menekankan kaderisasi. Namun prakteknya kedua partai itu tak berbeda banyak. PARTAI ORANG KOTA Kaderisasi dilakukan juga oleh Partindo. Dari jumlah anggotanya sebelum perang Dunia II, dapat ditarik kesimpulan Partindo tetap merupakan suatu partai orang kota. Ia berbeda dari Sarekat Islam (SI) atau Sarekat Rakjat (SR) dahulu, yang dapat berakar ke desa-desa, karena SI dapat dukungan kaum ulama dan karena aksi radikal SR menyalurkan keresahan sosial-ekonomis di pedesaan. Sebaliknya PNI-Baru Hatta & Sjahrir juga dihadapkan pada keperluan aksi massa, di desa-desa. Di Indramayu, misalnya, pengaruh PNI-Baru sampai ke pedesaan -- karena kebetulan ada seorang bupati yang sangat menekan rakyat dan dibenci penduduk. Di situ penduduk desa pun berduyunduyun mencari keanggotaan pada PNI-Baru untuk menghadapi tekanan bupati itu. Mereka butuh perlindungan. Keadaan seperti di Indramayu ditemui juga di desa-desa lain -- terutama berupa konilik klasik antara petani di dekat hutan dalam menghadapi peraturan hutan negara. Meskipun begitu, kaum elite nasionalis di kota-kota rupanya segan melihat aksi massa seperti yang mulai nampak di Indraunayu itu. Sebab bukan maksud mereka untuk memberikan kekebalan kepada rakyat, hanya keyakinan. PNI-Baru pun mulai menegur para aktivis mereka yang bergerak di kalangan rakyat. Tapi tak urung, pemerintah Belanda sudah cemas sekali melihat bergeraknya rakyat yang secara sporadis itu. Mereka tambah cemas melihat bahwa rakyat desa kehilangan kepercayaan kepada lurah dan bupati -- dan berpaling kepada para pemimpin cendekiawan kota. Kecemasan yang terlalu berlebihan ini berakibat ditindaknya semua pemimpin pergerakan nasional. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, ditahan dan dibuang. Pergerakan nasional pun seakan-akan dihentikan, sebelum para pemimpin itu secara dalam masuk ke dalam masalah sosial-ekonomis masyarakatnya, dan sebelum mereka merumuskan suatu ideologi yang akan menjawab masalah-masalah itu. Maka kita dapat bertanya, sampai sejauh mana sebenarnya buah pemikiran para pemimpin Indonesia di zaman pergerakan itu merupakan metode untuk mencapai tujuan? Sampai di mana pula ia memang merupakan suatu cita-cita yang dapat mendasari suatu negara yang merdeka? Pertanyaan itu mungkin tidak sekedar kita perlu tujukan ke masa lalu, tapi juga ke masa kini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus