SIANG itu KM Nusa Indah merapat di Pelabuhan Sinabang, Simeulue,
sebuah pulau di pantai barat Kabupaten Aceh Barat. Sejumlah
penumpang, kehanyakan lelaki, berjubel keluar. Kapal kecil yang
sebenarnya berkapasitas 25 penumpang itu, sarat dengan 80 orang
lebih ditambah puluhan ton muatan barang. Mereka umumnya dari
Tapaktuan, Aceh Selatanl Sumatera Utara atau Sumatera Barat.
Mereka adalah buruh-buruh pemetik cengkih yang bulan ini hampir
setiap hari mengalir ke Simeulue, daerah penghasil cengkih
terbesar di Aceh. Mereka dijemput oleh para petani pemilik
kebun. Umumnya mereka memang sudah merupakan langganan sebagai
pemetik. Upahnya jangan heran: seorang rata-rata mendapat Rp
10.000 sampai Rp 15.000/hari.
Ada pula pemetik yang mendapat upah berupa natura, yaitu
sepertiga dari cengkih yang dipetik. Bahkan kalau waktu sudah
mendesak, artinya bunga cengkih mulai mekar, petani meningkatkan
bagi hasil menjadi se}aruhnya. Selama 3 bulan di Simeulue,
tahun lalu Amrin dari Desa Samadua, Aceh Selatan, misalnya,
membawa pulang Rp 1,5 juta.
Selama bulan November-Desember ini pasaran tenaga kerja memang
ramai. Sebab pada bulan-bulan itu panen sudah dimulai. Sekitar
50.000 penduduk Simeulue rupanya tidak mampu memetik cengkih
hasil kebun mereka sendiri yang setiap tahun rata-rata
menghasilkan 2.000 ton. Awal Januari nanti diperkirakan
merupakan panen terbesar dengan produksi tiga kali lipat. Untuk
itu diperlukan tenaga kerja sekitar 30.000 orang.
Langkanya pemetik di Simeulue menimbulkan persaingan dalarn
memperebutkan tenaga kerja pendatang di antara para petani
cengkih. Maka bisa dimaklum kalau ada petani yang mencari
pemetik ke daratan Sumatera. Mereka menawarkan upah tinggi dan
menjanjikan tambahan persentase jumlah cengkih yang dipetik.
Ada pula yang sangup menyediakan akomodasi, seperti Kamil,
petani dari Sibigo, sebuah desa di pedalaman pulau cengkih itu.
"Setiap panen saya selalu menyediakan penginapan dan menangung
biaya makan pemetik," katanya. Kamil dkk datang sendiri ke
desa-desa di Aceh Selatan agar lebih cepat mendapatkan buruh
pemetik.
TV Berwarna
Usai panen nanti biasanya nilai uang merosot. Artinya, para
petani menghambur-hamburkan duit hampir tidak ada yang
menabung," tutur Ketua Bappeda Aceh, Drs. Adrian. Dengan uang
melimpah, para petani membeli barang-barang mewah, motor,
televisi berwarna -- meskipun siaran tv belum dapat ditangkap
di sana. "Tidak sedikit pula yang berfoya-foya ke Medan atau
Jakarta," tambah Adrian.
Akibatnya ketika tiba saat harus menggarap kebun, petani
kehabisan modal untuk biaya sehari-hari maupun untuk merawat
kebun. Barang-barang mewah yang dibeli tempo hari dijual lagi -
dengan harga yang amat murah. Para pengijon yang sudah mulai
mengintai sejak putik cengkih mulai tampak, mulai beroperasi.
Dengan tak disadari para pengijon telah dirasakan para petani
sebagai juru selamat. Sebab mereka merasa lebih mudah meminjam
uang kepada pengijon daripada kepada bank. "Peminjam uang di
bank terlalu banyak syaratnya. Lagi pula terlalu banyak
potongannya," kata seorang petani. Bank yang dimaksud ialah Bank
Pembangunan Daerah Aceh (BPD) cabang Simeulue. Para pengijon
beroperasi dengan cara mengumbar uang atau keperluan petani
denan imbalan berkali lipat yang harus dibayar petani di musim
panen, berupa uang atau cengkih.
Celakanya ada pengijon yang beroperasi lewat beberapa oknum
pengurus KUD Simeulue. Hal itu diakui oleh beberapa pejabat di
A-eh Barat. Kabarnya ada enam orang pengurus KUD yang sudah
diketahui menjadi kaki-tangan pengijon. Mereka bulan lalu sudah
diperingatkan oleh Ka Kanwil Perdagangan Aceh, Anwar Bait
Harahap. "Kalau masih diteruskan akan saya tindak tegas," kata
Anwar.
Dalam beberapa kali musim cengkih akhir-akhir ini di Simeulue
timbul masalah baru. Yaitu KUD kekurangan modal --bahkan pernah
kehabisan sama sekali. Akibatnya: hasil panen yang sudah dipetik
menumpuk, ratusan ton di gudang KUD dan puluhan ton lainnya di
rumahrumah petani. Musim panen bulan ini pun hal itu terjadi.
Sampai minggu lalu belum ada penawaran dari pembeli. KUD sendiri
tidak mampu menampung semua hasil karena kehabisan
modal-sekaligus kehabisan gudang penampungan. Sementara itu para
pedagang antarpulau belum berani menawar, masih menunggu sampai
panen raya, dengan harapan harga akan turun.
Petani Tercekik
Karena itu dalam beberapa minggu terakhir ini di Simeulue sudah
mulai ada petani yang menukarkan 1 kg cengkih dengan 10 kg
beras. Itu berarti 1 kg cengkih hanya dihargai Rp 2.500. Padahal
harga dasarnya ditetapkan antara Rp 7.500 sampai Rp 8.000/kg
"Habis, saya tak punya uang lagi," kata Nakmin, petani dari
Sinabang.
Untunglah pemerintah cepat turun tangan. Akhir Desember ini
Departemen Keuangan mencairkan dana Rp 5 milyar untuk PT Kerta
Niaga, hingga penjualan cengkih secara lelang dapat segera
Airnulai. Dalam tataniaga cengkih, perusahaan ini berfungsi
sebagai penyangga. "Kalau penawaran dalam lelang tidak mencapai
harga dasar (Rp 7.500-Rp 8.000/kg), Kerta Niaga akan membelinya
dengan harga dasar tersebut," kata Syukri Alimuddin, Ka Humas
Departemen Perdagangan dan Koperasi.
Pengijon tidak hanya merajalela di Simeulue. Di Sulawesi Utara
dan Lampung, dua provinsi yang juga kaya cengkih, mereka juga
suka mencekik petani. Para petani yang tercekik biasanya yang
memiliki kebun kurang dari 1 ha. Untuk menentukan besarnya
pinjaman, pengijon dan petani bersama-sama menaksir perkiraan
hasil panen yang akan dipetik kelak. DiLampung, biasanya para
petani selalu rugi. Mereka meminjam uang, tapi ketika panen
tiba, hasil seluruhnya diangkut oleh pemilik uang.
Di Sul-Ut kini sudah mulai banyak petani yang pandai menaksir
perkiraan hasil panennya. Biasanya perkiraan itu melebihi
perkiraan si pengijon, hingga petani selamat. Ada pula pengijon
yang terpaksa gigit jari, karena hasil panen ternyata jauh di
bawah perkiraannya. Karena itu tak jarang pengijon menggunakan
petani lain yang berpengalaman untuk menaksir hasil panen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini