Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Dari Simeulue Membawa Cengkih

Petani cengkih di Simeuleu di musim panen raya saling memperebuntukan tenaga pemetik. Tapi kini mereka terjerat oleh pengijon di mana pengurus KUD turut terlibat. Di mana-mana penijon mencekik petani cengkih.

26 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIANG itu KM Nusa Indah merapat di Pelabuhan Sinabang, Simeulue, sebuah pulau di pantai barat Kabupaten Aceh Barat. Sejumlah penumpang, kehanyakan lelaki, berjubel keluar. Kapal kecil yang sebenarnya berkapasitas 25 penumpang itu, sarat dengan 80 orang lebih ditambah puluhan ton muatan barang. Mereka umumnya dari Tapaktuan, Aceh Selatanl Sumatera Utara atau Sumatera Barat. Mereka adalah buruh-buruh pemetik cengkih yang bulan ini hampir setiap hari mengalir ke Simeulue, daerah penghasil cengkih terbesar di Aceh. Mereka dijemput oleh para petani pemilik kebun. Umumnya mereka memang sudah merupakan langganan sebagai pemetik. Upahnya jangan heran: seorang rata-rata mendapat Rp 10.000 sampai Rp 15.000/hari. Ada pula pemetik yang mendapat upah berupa natura, yaitu sepertiga dari cengkih yang dipetik. Bahkan kalau waktu sudah mendesak, artinya bunga cengkih mulai mekar, petani meningkatkan bagi hasil menjadi se}aruhnya. Selama 3 bulan di Simeulue, tahun lalu Amrin dari Desa Samadua, Aceh Selatan, misalnya, membawa pulang Rp 1,5 juta. Selama bulan November-Desember ini pasaran tenaga kerja memang ramai. Sebab pada bulan-bulan itu panen sudah dimulai. Sekitar 50.000 penduduk Simeulue rupanya tidak mampu memetik cengkih hasil kebun mereka sendiri yang setiap tahun rata-rata menghasilkan 2.000 ton. Awal Januari nanti diperkirakan merupakan panen terbesar dengan produksi tiga kali lipat. Untuk itu diperlukan tenaga kerja sekitar 30.000 orang. Langkanya pemetik di Simeulue menimbulkan persaingan dalarn memperebutkan tenaga kerja pendatang di antara para petani cengkih. Maka bisa dimaklum kalau ada petani yang mencari pemetik ke daratan Sumatera. Mereka menawarkan upah tinggi dan menjanjikan tambahan persentase jumlah cengkih yang dipetik. Ada pula yang sangup menyediakan akomodasi, seperti Kamil, petani dari Sibigo, sebuah desa di pedalaman pulau cengkih itu. "Setiap panen saya selalu menyediakan penginapan dan menangung biaya makan pemetik," katanya. Kamil dkk datang sendiri ke desa-desa di Aceh Selatan agar lebih cepat mendapatkan buruh pemetik. TV Berwarna Usai panen nanti biasanya nilai uang merosot. Artinya, para petani menghambur-hamburkan duit hampir tidak ada yang menabung," tutur Ketua Bappeda Aceh, Drs. Adrian. Dengan uang melimpah, para petani membeli barang-barang mewah, motor, televisi berwarna -- meskipun siaran tv belum dapat ditangkap di sana. "Tidak sedikit pula yang berfoya-foya ke Medan atau Jakarta," tambah Adrian. Akibatnya ketika tiba saat harus menggarap kebun, petani kehabisan modal untuk biaya sehari-hari maupun untuk merawat kebun. Barang-barang mewah yang dibeli tempo hari dijual lagi - dengan harga yang amat murah. Para pengijon yang sudah mulai mengintai sejak putik cengkih mulai tampak, mulai beroperasi. Dengan tak disadari para pengijon telah dirasakan para petani sebagai juru selamat. Sebab mereka merasa lebih mudah meminjam uang kepada pengijon daripada kepada bank. "Peminjam uang di bank terlalu banyak syaratnya. Lagi pula terlalu banyak potongannya," kata seorang petani. Bank yang dimaksud ialah Bank Pembangunan Daerah Aceh (BPD) cabang Simeulue. Para pengijon beroperasi dengan cara mengumbar uang atau keperluan petani denan imbalan berkali lipat yang harus dibayar petani di musim panen, berupa uang atau cengkih. Celakanya ada pengijon yang beroperasi lewat beberapa oknum pengurus KUD Simeulue. Hal itu diakui oleh beberapa pejabat di A-eh Barat. Kabarnya ada enam orang pengurus KUD yang sudah diketahui menjadi kaki-tangan pengijon. Mereka bulan lalu sudah diperingatkan oleh Ka Kanwil Perdagangan Aceh, Anwar Bait Harahap. "Kalau masih diteruskan akan saya tindak tegas," kata Anwar. Dalam beberapa kali musim cengkih akhir-akhir ini di Simeulue timbul masalah baru. Yaitu KUD kekurangan modal --bahkan pernah kehabisan sama sekali. Akibatnya: hasil panen yang sudah dipetik menumpuk, ratusan ton di gudang KUD dan puluhan ton lainnya di rumahrumah petani. Musim panen bulan ini pun hal itu terjadi. Sampai minggu lalu belum ada penawaran dari pembeli. KUD sendiri tidak mampu menampung semua hasil karena kehabisan modal-sekaligus kehabisan gudang penampungan. Sementara itu para pedagang antarpulau belum berani menawar, masih menunggu sampai panen raya, dengan harapan harga akan turun. Petani Tercekik Karena itu dalam beberapa minggu terakhir ini di Simeulue sudah mulai ada petani yang menukarkan 1 kg cengkih dengan 10 kg beras. Itu berarti 1 kg cengkih hanya dihargai Rp 2.500. Padahal harga dasarnya ditetapkan antara Rp 7.500 sampai Rp 8.000/kg "Habis, saya tak punya uang lagi," kata Nakmin, petani dari Sinabang. Untunglah pemerintah cepat turun tangan. Akhir Desember ini Departemen Keuangan mencairkan dana Rp 5 milyar untuk PT Kerta Niaga, hingga penjualan cengkih secara lelang dapat segera Airnulai. Dalam tataniaga cengkih, perusahaan ini berfungsi sebagai penyangga. "Kalau penawaran dalam lelang tidak mencapai harga dasar (Rp 7.500-Rp 8.000/kg), Kerta Niaga akan membelinya dengan harga dasar tersebut," kata Syukri Alimuddin, Ka Humas Departemen Perdagangan dan Koperasi. Pengijon tidak hanya merajalela di Simeulue. Di Sulawesi Utara dan Lampung, dua provinsi yang juga kaya cengkih, mereka juga suka mencekik petani. Para petani yang tercekik biasanya yang memiliki kebun kurang dari 1 ha. Untuk menentukan besarnya pinjaman, pengijon dan petani bersama-sama menaksir perkiraan hasil panen yang akan dipetik kelak. DiLampung, biasanya para petani selalu rugi. Mereka meminjam uang, tapi ketika panen tiba, hasil seluruhnya diangkut oleh pemilik uang. Di Sul-Ut kini sudah mulai banyak petani yang pandai menaksir perkiraan hasil panennya. Biasanya perkiraan itu melebihi perkiraan si pengijon, hingga petani selamat. Ada pula pengijon yang terpaksa gigit jari, karena hasil panen ternyata jauh di bawah perkiraannya. Karena itu tak jarang pengijon menggunakan petani lain yang berpengalaman untuk menaksir hasil panen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus