Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Darurat Perdagangan Orang di Nusa Tenggara

Lima daerah di NTT masuk kategori darurat perdagangan orang. Faktor kemiskinan mendorong tingginya jumlah pekerja migran.

27 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Empat korban kasus perdagangan orang antar provinsi yang sempat disekap tiba di bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur, 14 Januari 2017. ANTARA/Kornelis Kaha

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Korban perdagangan orang di Timor Tengah Selatan dalam lima tahun terakhir mencapai 791 orang.

  • Penyebab tingginya kasus perdagangan orang di NTT adalah lemahnya penegakan aturan.

  • Sindikat perdagangan orang biasanya tidak langsung ke negara tujuan, melainkan transit di beberapa pintu perlintasan.

JAKARTA – Hasil pemantauan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan lima daerah di Nusa Tenggara Timur masuk kategori darurat perdagangan orang. Kelima daerah tersebut adalah Kabupaten Kupang, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Malaka, dan Flores.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kelima daerah itu sudah masuk kategori darurat perdagangan orang,” kata komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, Jumat, 26 Mei 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Tim Tindak Pidana Perdagangan Orang Komnas HAM ini mengatakan kelima kabupaten tersebut merupakan basis pekerja migran. Dari lima daerah tersebut, kata dia, Kabupaten Timor Tengah Selatan menjadi perhatian serius Komnas HAM. Pekerja migran di Nusa Tenggara Timur yang bekerja di luar negeri paling banyak berasal dari Timor Tengah Selatan.

Komnas HAM mencatat korban perdagangan orang di Timor Tengah Selatan dalam lima tahun terakhir mencapai 791 orang. Lalu di Kabupaten Kupang sebanyak 440 orang. Total korban perdagangan orang di Nusa Tenggara Timur selama lima tahun terakhir sebanyak 2.793 orang.

Anis mengatakan tim Komnas HAM memantau implementasi peraturan daerah tentang pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang di Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan. Tingkat stunting dan angka kemiskinan di dua daerah itu cukup tinggi dibandingkan dengan di daerah lainnya di Nusa Tenggara Timur. “Dua kabupaten itu menjadi perhatian karena faktor utama masalah ini adalah kemiskinan dan layanan dasar, seperti akses kesehatan dan pendidikan, yang tidak terpenuhi,” ujar Anis.

Faktor kemiskinan inilah yang membuat warga setempat tergiur tawaran bekerja di luar negeri. Apalagi mereka diberi janji gaji yang tinggi, meski bekerja sebagai asisten rumah tangga ataupun buruh di perkebunan. 

Selain faktor kemiskinan, kata Anis, penyebab tingginya kasus perdagangan orang di dua kabupaten itu adalah lemahnya penegakan aturan. Padahal daerah ini mempunyai Peraturan Daerah Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang sejak 2011. Kedua daerah tersebut juga sudah membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang, tapi tim itu tidak berjalan optimal.

Tenaga kerja non-prosedural asal Nusa Tenggara Timur diamankan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Pelabuhan Larantuka, Flores Timur, NTT, 21 Maret 2022. Dok. Disnakertrans Provinsi NTT

Tim Komnas HAM juga mendapati bahwa hukuman bagi pelaku perdagangan orang terlalu ringan karena penegak hukum hanya menggunakan pasal penyelundupan orang dalam Undang-Undang Keimigrasian. Hukuman ringan ini membuat pelaku tak jera. Jadi, ada perekrut pekerja migran yang sudah dua kali dipenjara, tapi tetap beroperasi. 

Berdasarkan informasi yang diperoleh Komnas HAM, sindikat perdagangan orang di Nusa Tenggara Timur biasanya tidak langsung membawa korban ke negara tujuan, seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong. Korban lebih dulu transit di Batam dan Natuna, Kepulauan Riau; Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat; Nunukan, Kalimantan Utara; Medan; Jakarta; dan Surabaya. Biasanya korban dengan mudah melewati pintu-pintu perlintasan karena berdalih ingin bertemu dengan keluarga, bersekolah, atau akan menghadiri hajatan pernikahan. 

Penyebab berikutnya adalah pemerintah daerah mengalokasikan anggaran yang sangat minim untuk pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang. “Anggaran pencegahan TPPO hanya Rp 50 juta per tahun,” ujar Anis. 

Keterbatasan anggaran ini membuat pemerintah daerah sangat jarang mensosialisasi aturan pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang. Akibatnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui aturan tersebut. “Sebenarnya dari aspek kebijakan dan kelembagaan sudah terbangun, tapi tidak berjalan, yang menyebabkan perdagangan orang di wilayah itu setiap tahun tinggi,” kata dia.

Ketua Tim TPPO Komnas HAM, Anis Hidayah, serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga menjemput jenazah pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur, Jacob Martins, di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 24 Mei 2023. ANTARA/Ho-Humas Kemen PPPA 

Anis berharap pemerintah daerah memperhatikan dengan serius praktik perdagangan orang di wilayahnya. Sebab, sindikat perdagangan orang telah menelan banyak korban jiwa. 

Sesuai dengan catatan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), sebanyak 120 jenazah pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur dipulangkan melalui jalur yang tak sesuai dengan prosedur pada 2022. Lalu, sejak Januari hingga 12 Mei tahun ini, tercatat 56 jenazah pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur dipulangkan melalui Bandara El Tari, Kupang. 

“Pemerintah daerah harus memberikan perhatian dalam masalah ini. Kami lihat sampai sekarang belum ada koordinasi antara perangkat daerah dan gugus tugas TPPO yang mereka bentuk,” ujar Anis.

Kepala BP2MI, Benny Ramdhani, mengakui Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu kantong pekerja migran. Perekrut tenaga kerja kerap menyelundupkan pekerja migran secara ilegal ke Malaysia melalui beberapa pelabuhan. Misalnya, pelabuhan di Parepare, Sulawesi Selatan; Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau; Pulau Sebatik, Kalimantan Utara; Nunukan; dan Entikong.  

Ia menegaskan, perdagangan orang ini sering kali melibatkan banyak pelaku, baik pihak swasta, pegawai pemerintah, maupun penegak hukum. “Kejahatan ini melibatkan banyak oknum, dari instansi swasta sampai pemerintah, bahkan aparat penegak hukum,” katanya.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, mengatakan pemerintah Nusa Tenggara Timur sebenarnya sudah melakukan moratorium penempatan pekerja migran ke luar negeri. Namun kebijakan tersebut tetap tak menghentikan laju perdagangan orang di sana. “Kebijakan tersebut justru makin memicu warga NTT bekerja melalui jalur yang tidak sesuai dengan prosedur,” kata Wahyu.

Ia mengatakan tingkat perdagangan orang asal Nusa Tenggara Timur ke luar negeri makin tinggi selama masa pandemi Covid-19. Apalagi dibarengi bencana topan Seroja dan flu babi, yang membuat perekonomian warga semakin terjepit. Kondisi ekonomi ini menjadi faktor pendorong warga Nusa Tenggara Timur bekerja ke luar negeri, meski melalui jalur tak resmi dan penuh risiko.

Wahyu menyarankan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran pelatihan bagi calon pekerja migran. Lalu pemerintah daerah berkoordinasi dengan kepolisian untuk memantau, mengawasi, dan menindak sindikat perdagangan orang. “Pelaku utama semestinya ditindak karena mereka bagian dari sindikat perdagangan orang yang memiliki relasi dengan penegak hukum,” kata dia.

IMAM HAMDI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus