Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia dan Malaysia sepakati perjanjian untuk memulangkan buruh migran.
Ribuan buruh migran Indonesia terjebak di Depo Tahanan Imigrasi Malaysia.
Perlu pembenahan tata kelola dari sisi dua negara.
JAKARTA - Indonesia dan Malaysia tengah mempersiapkan perjanjian bilateral untuk memulangkan pekerja migran asal Indonesia yang tertahan di Depo Tahanan Imigrasi (DTI) Malaysia. Pembicaraan awal tentang perjanjian itu disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim pada 8 Juni lalu. Adapun poin-poin yang menjadi substansi perjanjian tersebut saat ini masih dalam pembahasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini tercatat, sebanyak 2.959 warga Indonesia menjalani penahanan berkepanjangan tanpa batas waktu di DTI. Mereka sebagian besar merupakan pekerja migran yang masuk ke Malaysia secara ilegal. Meski telah tuntas menjalani hukuman dan siap untuk dideportasi, mereka tidak bisa segera pulang ke Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemulangan para pekerja migran ini terbentur faktor prosedural karena harus menunggu giliran. Terlebih, dalam pemulangan pekerja migran, pemerintahan Malaysia menggunakan pendekatan biaya secara mandiri. “Artinya, pekerja migran diminta membiayai sendiri (kepulangannya),” kata Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, kemarin. “Tapi kondisi WNI ini kan bermacam-macam, kebanyakan enggak punya uang.”
Kementerian Luar Negeri mencatat, dari 2.959 warga Indonesia yang tertahan di DTI Malaysia, sebanyak 2.160 orang berjenis kelamin laki-laki, 697 orang perempuan, dan 102 merupakan anak-anak di bawah usia 17 tahun. Anak-anak ini menjadi penghuni DTI karena mengikuti orang tua. "Kelompok rentan ini segera kami tangani,” kata Judha. Kementerian Luar Negeri sebelumnya telah memfasilitasi pemulangan 154 WNI dari kelompok rentan. “Mereka dipulangkan atas biaya pemerintah Indonesia."
Warga Negara Indonesia yang dideportasi dari Depot Tahanan Imigresen Semuja, Serian, Sarawak, 10 Januari 2023. Dok Kemlu
Dalam pemulangan pekerja migran ini, Kementerian Luar Negeri bekerja sama dengan sejumlah lembaga, antara lain Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kementerian Sosial, dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
Menurut Judha, penanganan pekerja migran ilegal tidak bisa hanya difokuskan pada pemulangan pekerja yang dideportasi. Karena itu, pemerintah perlu memperbaiki sisi regulasi. Misalnya, dengan menyederhanakan prosedur pemberangkatan pekerja migran agar lebih murah, cepat, dan aman. Dengan penyederhanaan ini diharapkan masyarakat tidak lagi menggunakan cara-cara ilegal untuk menjadi pekerja migran.
Penegakan hukum juga penting untuk memberikan efek jera. Sasaran utama dari penegakan hukum ini adalah para calo dan sponsor yang kerap memberangkatkan pekerja migran tanpa dokumen. Sedangkan dalam upaya pencegahan, pemerintah perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjadi pekerja migran yang legal. “Lakukan dengan mekanisme yang benar, kalau tidak, bukan kesejahteraan yang didapat, melainkan eksploitasi,” ujar Judha.
Judha memperkirakan, saat ini setidaknya ada 9 juta pekerja migran yang tersebar di berbagai negara. Namun, dari jumlah itu, pemerintah hanya memiliki catatan 4,7 juta pekerja. Catatan ini didasarkan atas dokumen yang dikeluarkan pemerintah untuk para pekerja migran. Sedangkan yang tidak tercatat dipastikan bekerja di luar negeri secara ilegal.
Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah. TEMPO/M Taufan Rengganis
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, mengatakan pemulangan pekerja migran yang dideportasi kerap terbentur pada biaya. Ia mencontohkan di Malaysia. Pemerintah negara itu tidak bersedia menanggung biaya pemulangan pekerja migran ilegal. Sedangkan pemerintah Indonesia belum memiliki mekanisme pembiayaan bagi para pekerja migran tersebut. “Mekanisme tersebut yang saat ini sedang dibahas pemerintah,” ujarnya. Berdasarkan Pasal 22 ayat 8 Konferensi Internasional tentang pelindungan pekerja migran, kata Anis, biaya administrasi pemulangan pekerja migran sepenuhnya ditanggung negara, baik negara penerima maupun negara asal.
Untuk memberikan pelindungan kepada pekerja migran, kata Anis, perlu ada pembenahan tata kelola dari dua sisi negara. Pemberangkatan pekerja migran tanpa dokumen akan tetap marak selama permintaan untuk buruh migran ilegal juga tetap tinggi. Di Malaysia, misalnya, banyak perusahaan yang berminat merekrut pekerja ilegal karena dapat dibayar murah dan tidak mengikat. “Harus ada sanksi tegas kepada mereka yang sengaja mempekerjakan buruh ilegal, termasuk untuk mendapat pekerja dengan upah yang lebih murah,” kata Anis.
Country Representative Migran Care di Malaysia, Alex Ong, mengatakan aspek pelindungan anak sering dikesampingkan dalam penanganan buruh migran ilegal. “Setiap kali ada razia, jika ada ibu dan anak, juga ikut ditahan,” ujarnya. Padahal tindakan ini menyalahi Child Rights Convention. “Ibu dan anak pekerja migran harus ditempatkan di shelter khusus, tidak bercampur dengan kamp penahanan pekerja migran umum.”
Alex menilai kondisi kamp penahanan pekerja migran di Malaysia masih jauh dari kata layak. Selain daya tampung sudah tidak memadai, fasilitas yang tersedia sangat minim. “Di sana tidak ada kasur,” ujarnya.
Di Depo Tahanan Imigrasi Malaysia, kata Alex, banyak pekerja migran Indonesia yang telah menuntaskan masa hukuman, tapi tetap harus tinggal di tempat itu lebih lama. Kondisi itu muncul karena banyak terjadi praktik menyimpang yang dilakukan pihak-pihak tertentu. Misalnya, pekerja migran diminta menghubungi keluarga atau kerabat untuk membiayai kepulangan mereka. Namun biaya yang dikenakan sangat tinggi. “Terkadang dia (pekerja migran) diminta mentransfer ke pihak ketiga. Contoh, tiket 300 ringgit, tapi biaya yang ditagihkan bisa 1.000 ringgit,” ujarnya.
Biaya itu tidak mengalir ke rekening pemerintah maupun ke KBRI, melainkan ke pihak ketiga. Alex pun menyebutkan biaya hidup di kamp tahanan sangat tinggi. “Untuk penggunaan telepon selama tiga menit bisa dikenakan sampai 20 ringgit, padahal itu hanya beberapa sen,” ujarnya.
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo