Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Demi Memulas Citra

18 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kamis, 14 september 2006, pukul 09.30 waktu Washington, DC:

”Bisa bicara dengan Mister Richard Collins? Ini telepon dari Indonesia”

Collins & Company: ”Telepon dari Indonesia? Tunggu sebentar.…”

Beberapa detik berlalu, Pak Collins ada di ujung telepon. Tempo menyebut identitas dan mengutarakan niat untuk mewawancarai dia perihal Gus Dur Foundation. Presiden Collins & Company itu, perusahaan pelobi yang disewa Badan Intelijen Negara (BIN), menjawab singkat, sopan, dan tegas. Menurut dia, kontrak yang terjadi adalah resmi antar-pemerintah. Bukan individual. ”Saya tidak nyaman berbicara dengan pers,” kata dia. Klik. Telepon ditutup.

Collins & Company, beralamat di 2111 Wilson Blvd, Suite 700, Arlington, Virginia, rupanya punya daya ”jual” kuat bagi Indonesia. Yang memimpin lobi Indonesia di Collins adalah Eric Newsom. Dia pensiunan staf Senat dan menjadi penasihat Senator Patrick Leahy (1987-1989). Leahy dikenal amat kritis terhadap kejahatan militer dan pemberlakuan embargo bagi Indonesia.

Nah, urusan lobi embargo senjata membuat BIN mengalirkan US$ 120 ribu (setara dengan Rp 1,1 miliar)—separuhnya melalui Gus Dur Foundation—ke rekening Collins & Co. Hal itu tercantum dalam dokumen yang disetorkan perusahaan tersebut kepada pemerintah Amerika—yang kemudian menjadi dokumen publik yang beredar luas. Lalu apa komentar Gus Dur yang namanya tercantum dalam dokumen itu? ”Itu tidak benar. Kami tidak punya hubungan apa pun dengan BIN,” ujar Yenny Wahid. Dalam dokumen kontrak BIN-Collins—yang juga diperoleh Tempo--tercantum kontak berakhir pada 1 November 2005. Sekitar tiga pekan kemudian, embargo dicabut.

Collins & Company bukan satu-satunya pelobi Amerika Serikat yang pernah menerima guyuran uang dolar dari Indonesia demi bersih-bersih citra diri. Setelah penembakan Santa Cruz-Dili tahun 1991, majalah Far Eastern Economic Review menulis pemerintah Indonesia membayar perusahaan pelobi Burson-Marsteller sebesar lima juta dolar AS untuk memperbaiki citra Indonesia dalam urusan hak asasi manusia dan lingkungan.

Pertanyaannya, apakah guyuran dolar bisa mencapai sasaran. Menurut Joko Susilo, anggota Komisi Pertahanan DPR, embargo memang tak ada lagi sekarang. Tapi itu terjadi setelah gembong teroris asal Malaysia, Dr Azahari, tewas dalam penyerbuan polisi di Batu, Jawa Timur, 10 November 2005. Perang anti-terorisme global yang diuar-uarkan Amerika menuntut kerja sama yang padu dengan Indonesia.

Menurut Joko, isu pencabutan embargo pasti sudah terendus ke lorong-lorong Kongres jauh sebelumnya. ”Sudah ketahuan bakal dicabut, kita malah buang uang untuk melobi,” ujarnya.

Seperti menabur garam ke laut.

KS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus