Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mau Hemat, Malah Terjerat

Lapindo harus menanggung penuh biaya penanganan bencana. Tak sepeser pun diganti pemerintah jika terbukti ada kelalaian.

18 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANAS lumpur Sidoarjo kini mulai ”merambat” ke sejumlah perusahaan penambangan asing. Sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, 8 September lalu, para juragan tambang itu disengat rasa waswas: jangan-jangan nasib serupa bakal menimpa mereka di kemudian hari.

Dalam keputusan itu memang telak-telak disebutkan bahwa Lapindo Brantas Inc. harus menanggung semua biaya yang diperlukan tim nasional tersebut. Beranggotakan sejumlah menteri, tim ini dibentuk pemerintah untuk mengambil alih dan menangani bencana di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang telah berlangsung selama 112 hari itu.

Lapindo tak lain adalah anak perusahaan Grup Bakrie. Operator pengeboran ladang gas di Blok Brantas ini dituding menjadi biang keladi muntahnya jutaan meter kubik lumpur akibat pengeboran di sumur Banjar Panji-1.

Dengan penegasan itu, jelas pemerintah tak bakal menggelontorkan duit sepeser pun buat menopang gawean tim nasional. Dengan kata lain, Lapindo sebagai operator menjadi satu-satunya pihak yang harus menanggung penuh biaya bencana ini, yang ditaksir mencapai lebih dari Rp 1 triliun.

Inilah yang kemudian ramai digunjingkan para pengusaha tambang sepekan terakhir. Mereka khawatir keputusan ini akan menjadi preseden baru dalam dunia tambang di Indonesia: setiap risiko harus ditanggung penuh oleh investor atau operator.

Padahal, dalam eksplorasi, biaya investasi sepenuhnya mereka tanggung, meski nantinya bisa dimintakan penggantiannya ke pemerintah lewat apa yang disebut dengan cost recovery. Nah, kalau unsur beban risiko itu kini tak bisa dimasukkan dalam penghitungan cost recovery, para investor merasa diperlakukan tak adil. Sudah keluar jutaan dolar, harus menanggung risiko sendirian pula.

Dalam kasus Lapindo, pemerintah tampaknya memang tak punya banyak pilihan. Jauh-jauh hari orang sudah ramai berteriak agar semua biaya menjadi tanggungan penuh Lapindo. ”Ini jelas keputusan politis,” kata seorang eksekutif perusahaan tambang asing mengomentari surat presiden. Ia khawatir keputusan ini bisa memukul iklim investasi tambang di dalam negeri.

Tapi, tunggu dulu. Kekhawatiran itu sesungguhnya tak cukup beralasan. Jika Lapindo bisa membuktikan bahwa kasus ini akibat bencana alam seperti sering disebut-sebut, bisa jadi perusahaan itu terbebas dari beban tersebut. Sebaliknya, seperti dikatakan seorang pengusaha tambang lain, kalau Lapindo terbukti melakukan kelalaian, ongkos itu sudah semestinya menjadi tanggungannya.

Buat Lapindo dan keluarga Bakrie, konsekuensi ini jelas tak ringan. Apalagi, dalam perjanjian operasi kerja sama yang diteken para pemodal Blok Brantas, disepakati bahwa jika terbukti ada kelalaian maka semua biaya kerugian sepenuhnya ditanggung operator, dalam hal ini Lapindo—yang juga pemilik konsesi pengelolaan Blok Brantas (50 persen). Sedangkan dua pemodal Blok Brantas lainnya—PT Medco E&P Brantas (32 persen) dan Santos Ltd. (Australia)—bisa lenggang kangkung.

Bagaimana membuktikan ada-tidaknya kelalaian itu, memang tidak mudah. ”Agar obyektif, butuh penilai independen dari kalangan profesional pertambangan,” kata sumber Tempo di Blok Brantas. Dan jika upaya itu mentok, pintu pengadilan arbitrase internasional pun terbuka lebar.

Menilik sejumlah fakta di lapangan, posisi Lapindo tampaknya tak cukup kuat. Dari bocoran informasi yang diperoleh majalah ini diketahui bahwa Alton International Indonesia (anak perusahaan PT Medici Citra Nusantara), yang ditunjuk sebagai kontraktor pengeboran, memang diragukan kompetensinya.

Salah satu indikasinya, alat pengeboran (rig) yang dipakai perusahaan yang baru dibentuk dua tahun lalu ini tak bisa bekerja maksimal saat melakukan eksplorasi. Dari 1.200 jam kerja, sebanyak 840 jam rig berhenti karena terjadi kerusakan. Padahal, normalnya dalam 20 jam kerja hanya 1 jam berhenti akibat kerusakan.

Tak aneh, masa pengeboran pun molor jauh melewati tenggat kesepakatan yang dipatok cuma 37 hari. Hingga terjadi semburan lumpur panas pada 29 Mei lalu, sudah 82 hari dihabiskan untuk pengeboran. ”Artinya, kondisi keuangan perusahaan sudah berdarah-darah,” kata sumber tadi.

Bisa jadi, gara-gara kantongnya sudah kering kerontang, selubung bor di sumur Banjar Panji-1 di kedalaman 8.500 kaki (2.590 meter) tak jadi dipasang, demi penghematan. Maklum, untuk pemasangan casing ini butuh dana sekitar US$ 500 ribu. Tapi, siapa nyana keputusan ini berbuah bencana. Sekitar 50 ribu meter kubik lumpur kini muncrat setiap harinya menggenangi sebagian kawasan Porong.

Padahal, kata sumber Tempo di Brantas, jika saja selubung itu terpasang, lumpur tak bakal naik dan merembes ke areal sekitar pengeboran. Lapisan bebatuan di kedalaman itu cukup kuat menahan rembesan lumpur. ”Jadi, tak ada alasan mengkambinghitamkan gempa bumi sebagai penyebab bencana,” ujarnya.

Persoalan kini kian rumit karena biaya penanganan semburan lumpur terus membengkak. Dua mitra Lapindo—Medco dan Santos—pun tampaknya ogah urunan. Direktur Medco Energi (induk Medco Brantas), Hilmi Panigoro, dan Dody Mochtar, juru bicara Santos, telah menyatakan peran mereka sebatas penyertaan modal. Karena itu, mereka tak bisa dimintai pertanggungjawaban. ”Dalam perjanjian sudah jelas apa yang menjadi tanggung jawab operator dan pemegang saham,” kata Hilmi.

Konon kabarnya, para pemegang saham Blok Brantas pun kini jengkel lantaran Lapindo alpa mengasuransikan potensi blow out (semburan fluida ke permukaan akibat pengeboran) dengan nilai pertanggungan sampai US$ 60 juta. Besarnya pertanggungan baru sebatas US$ 27,5 juta, seperti ditetapkan BP Migas. Itu sebabnya, dana yang bisa dicairkan cuma segede itu. Padahal, jika premi asuransi dibayar penuh, para pemodal baru harus merogoh koceknya untuk menutup biaya bencana, setelah batas US$ 60 juta terlewati.

Sampai pekan lalu, ongkos penanganan kasus ini kabarnya sudah sekitar US$ 40 juta. Selisih yang sekitar US$ 12,5 juta itulah yang kini mesti ditanggung Lapindo dan keluarga Bakrie. Biaya itu pun diperkirakan terus membengkak sampai di atas US$ 100 juta, tergantung kapan semburan itu bisa dihentikan.

Menanggapi berbagai sinyalemen ini, seorang eksekutif Lapindo mengakui rig yang dioperasikan tak bisa berjalan maksimal. ”Memang ada sedikit masalah pada pompa,” ujarnya. Namun, ia menampik jika dikatakan Alton sebagai kontraktor tak kompeten. Alasannya, perusahaan ini diperkuat oleh tenaga-tenaga ahli lulusan Amerika dan pernah bekerja di sejumlah pertambangan di Timur Tengah.

Soal kealpaan pemasangan casing, ia pun berargumen bahwa pada kedalaman 3.580 kaki telah dipasang selubung bor yang bisa menahan tekanan hingga 16,4 pound per gallon. Tahanan sebesar itu bahkan cukup kuat untuk menahan tekanan hingga kedalaman 9.400 kaki.

Itu sebabnya, casing dirasa tak perlu dipasang pada kedalaman 8.500 kaki. Dan saat blow out terjadi, pengeboran pun baru sampai pada kedalaman 9.297 kaki. ”Medco dan Santos juga tahu, karena menerima laporan setiap hari,” katanya.

Mana yang benar dari kedua argumen ini, sekali lagi jawabannya memang tak mudah. Kardaya Warnika, Kepala BP Migas—wakil pemerintah dalam kepemilikan ladang minyak dan gas di Indonesia—pun menolak menjawab ada-tidaknya unsur kelalaian. ”Laporan penelitian tim independen ada di tangan Menteri Energi,” ujarnya.

Meski begitu, ia memberikan gambaran umum, pemasangan casing pada dasarnya bukan dimaksudkan untuk antisipasi, melainkan untuk mengatasi masalah. ”Jadi, patokannya bukan pada ukuran kedalaman, tapi pada ada-tidaknya tekanan,” ujarnya. ”Kalau tidak ada tekanan, ya, tidak perlu pasang.”

Terlepas dari perdebatan itu, ia menegaskan, sesuai dengan kontrak bagi hasil, semua biaya akibat dampak pengeboran harus ditanggung Lapindo sebagai operator. Biaya ini pun tak serta-merta bisa dimasukkan sebagai komponen cost recovery jika terbukti ditemukan kelalaian. Bagaimana jika kasus ini nantinya dikategorikan sebagai bencana? ”Wah, kalau soal itu, sudah di luar kewenangan BP Migas,” katanya.

Metta Dharmasaputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus