Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Detik-detik Kematian Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim karena Kecelakaan di Cimahi 70 Tahun Lalu

KH Wahid Hasyim seorang menteri agama dan pahlawan nasional Indonesia. Koranberbahasa Belanda tuliskan berita kematian ayah Gus Dur.

20 April 2023 | 09.27 WIB

Image of Tempo
Perbesar
KH. Wahid Hasyim. Wikipedia.org

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ayah Gus Dur, KH Abdul Wahid Hasyim meninggal dalam kecelakaan pada 19 April 1953. Sejumlah media berbahasa Belanda yang masih terbit pada 1950-an, menurunkan berita tentang peristiwa itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dikutip dari alif.id, Wahid Hasjim overleden. Bij auto-ongeluk Tjimahi Bandung, demikian  judul dalam Java-bode  nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-04-1953. Wahid Hasjim meninggal karena kecelakaan mobil di Cimahi, Bandung. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sementara judul Het auto ongeluk van W. Hasjim, diturunkan oleh Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-04-1953. Kecelakaan mobil Wachid Hasjim.

Dari sejumlah berita itu diperoleh keterangan bahwa kecelakaan terjadi di Cibeureum, Cimahi, pada hari Sabtu, sekitar pukul 11.30 siang. Sementara menurut keterangan A. A. Achsien dalam informasi resmi PBNU, peristiwa terjadi jam 13.00. 

Dikutip dari serial buku Tempo: Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng, halaman 115 mengisahkan kejadian tersebut. Seperti ini: Hujan deras membuat licin jalan yang ramai itu. Ban Chevrolet Cabriolet selip dan sopir bernama Djuhari tidak bisa mengendalikannya. Mobil melaju zigzag. Di depan, sebuah truk mengerem. Bagian belakang mobil Wahid itu membentur truk itu dengan keras.

Sopir dan Gus Dur selamat. Tapi, "Wachid Hasjim terpelanting keluar dan jatuh di bawah truck." tulis koran Sinpo edisi Senin 20 April 1053. Argo turut terlontar keluar. Wahid terluka parah di bagian kening,mata, pipi, leher, dan langsung pingsan seketika, "Karena luka-lukanya pada kepalanya (schedel-fractuur).

Koran Java-bode pada 22 April 1953 menurunkan judul, Auto-ongeluk K. Wachid Hasjim Mede-passagier Argo Sutjipto ook om het leven gekomen. Kecelakaan mobil K. Wachid Hasjim, bersama penumpang Argo Sutjipto juga tewas. Dalam berita ini disertakan pengakuan sopir yang bernama Djuhari.

Menurut Djuhari, saat itu jalanan licin akibat hujan. Tiba-tiba dari arah berlawanan terlihat sebuah truk. Djuhari panik sehingga mobil agak oleng. Pada saat itulah Kiai Wahid dan Argo melompat dari kendaraan, Chevrolet Cabriolet. Mereka khawatir kendaraan yang mereka naiki akan menabrak truk.  Keduanya mendapatkan benturan keras yang mengakibatkan luka dalam di bagian kepala. Sesaat kemudian Djuhari berhasil menguasai kembali mobilnya dan hanya membentur truk itu, yang menyebabkan sedikit kerusakan. Djuhari dan putra sulung Kiai Wahid, Abdurrahman atau Gus Dur yang duduk di depan, tak mengalami luka berarti.

Lokasi kecelakaan itu, menurut H. Dadang Nawawi, putra KH Izuddin, tepat di depan kantor BPKP Jawa Barat saat ini. Tepatnya di Jalan Raya Cibeureum atau Jalan Amir Machmud No. 50 Cimahi.

Menurut peminat budaya Sunda, IIP D Yahya, setelah kecelakaan, Kiai Wahid dan kedua korban segera dibawa ke rumah sakit terdekat yaitu RS Cibabat Cimahi.  Pada saat yang sama, Gus Dur kecil dibawa singgah ke Pesantren Cibeureum Kidul oleh KH Izuddin. Setelah terhubung dengan A. A. Achsien, kemudian diatur pemindahan perawatan ke RS Boromeus di Kota Bandung, tak jauh dari kampus ITB.

Setelah menjalani perawatan sekitar 24 jam, Kiai Wahid wafat sekitar pukul 14.00. Tak lama kemudian,  Argo pun meninggal. Dari RS Boromeus kedua jenazah dibawa ke Jakarta dengan dikawal oleh Brigade Mobil. Jenazah KH. A. Wahid Hasyim kemudian disemayamkan di kediaman di Jalan Jawa dan keesokan harinya dibawa dengan pesawat ke Surabaya untuk kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga di Tebuireng, Jombang. Ungkapan duka cita pemerintah saat itu disampaikan Wakil Perdana Menteri Prawoto Mangkusamito. 

Perjalanan KH Wahid Hasyim

KH Abdul Wahid Hasyim, seorang tokoh nasional Indonesia yang lahir pada tanggal 1 Juli 1914 di Jombang, Jawa Timur. Ia putra dari KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Dikutip jabar.nu.or.id, Wahid Hasyim merupakan putra keempat dari delapan bersaudara. Ayahnya adalah KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU dan ibunya adalah Nyai Siti Rasyidah.

Wahid Hasyim dididik oleh ayahnya, yaitu Hasyim Asyari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng. Setelah dewasa, ia mulai mencari pendidikan di luar pesantren Tebuireng dan pindah ke berbagai pondok pesantren. Menurut Wahid Hasyim, setiap pondok pesantren memiliki keahlian khusus dalam memberikan pembelajaran, seperti ilmu fikih, tafsir, falaq, manteq, dan hukum agama.

Wahid Hasyim menghafal syair-syair berbahasa Arab selama menempuh pendidikan dasar di madrasah. Pada usia 13 tahun, ia melanjutkan belajar di Pondok Pesantren Siwalan Panji-Sidoarjo dan kemudian di Pondok Pesantren Lirboyo-Kediri, tetapi hanya bertahan beberapa hari menjadi santri di pondok tersebut.

Pada usia 15 tahun, Wahid Hasyim mulai belajar huruf Latin dan ilmu pengetahuan umum. Dia berlangganan majalah seperti “Penyebar Semangat”, “Daulat Rakyat”, dan “Panji Pustaka”.

Dia juga berlangganan majalah dari luar negeri seperti “Ummul Qura”, “Shautul Hijaz”, “Al-Latha’iful Muswarah”, “Kullusyaiin Wad-Dunya”, dan “Al-Itsnain”. Wahid Hasyim mempelajari bahasa Arab, Belanda, dan kemudian bahasa Inggris.

Pada usia 18 tahun, Wahid Hasyim pergi ke tanah suci bersama sepupunya, Muhammad Ilyas, untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu tafsir, hadits, Nahwu Shorof, dan fikih selama dua tahun.

Setelah kembali dari Mekah, Wahid Hasyim menikahi putri Kiyai H. Bisri Syansuri, pendiri Pesantren Denayar Jombang, yakni Sholehah Munawwaroh.

Memajukan pendidikan agama Islam

Wahid Hasyim aktif dalam organisasi pada usia 20 tahun. Menurut nu.or.id, ayah Gus Dur ini aktif di Nahdlatul Ulama dan memulai karirnya dari tingkat rendah, mulai dari tingkat ranting Tebuireng hingga menjadi Ketua Pendidikan Ma'arif dan kemudian Ketua Muda II Majelis Syura Dewan Partai Masyumi.

Dia kemudian diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Hatta, Kabinet Sukiman, dan Kabinet Natsir.

Wahid Hasyim melakukan reformasi pada sistem pendidikan di Pondok Pesantren dengan tujuan memajukan pengajaran dan pendidikan Islam di pondok-pondok pesantren tanpa menimbulkan perpecahan antara muslim, dengan tetap mengikuti syarat-syarat revolusi.

Ia ingin menerapkan metode yang pernah diterapkannya di masa lalu dan mendorong kemajuan pesantren dalam mendidik santrinya dengan mengikuti perubahan zaman. Pada 1935, Wahid Hasyim membuka madrasah modern bernama Nizamiyah sebagai cabang dari pesantren Islam.

Madrasah ini mengajarkan pengetahuan umum, bahasa Arab, Belanda, dan Inggris. Namun, Wahid Hasyim tetap mengedepankan pentingnya bahasa sebagai kunci ilmu pengetahuan dan mengutip hadis tentang bahasa sebagai perlindungan dari kejahatan suatu golongan.

Pada 1936, Wahid Hasyim mendirikan Ikatan Pelajar-pelajar Islam (IKPI) yang kemudian mendirikan taman pembacaan (Bibliotheek) yang menyediakan kitab-kitab bacaan dalam berbagai bahasa.

Beberapa guru yang membantu Wahid Hasyim mengajar di Madrasah Nizamiyah antara lain A. Wahab Turham, A. Aziz Jar, Nahdlatul Ulamarmandi, Abdurrahman, Abdul Hamid dan A. Karim Hasjim.

PUTRI SAFIRA PITALOKA  I  SDA

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus