SEJAK program membangun SD (sekolah dasar) dengan biaya Inpres,
nasib SD Negeri yang ada rupanya hampir terlupakan. Kabupaten
Asahan (Sumatera Utara) misalnya, dengan memiliki 238 SD Negeri,
215 SD Inpres dan 127 SD Swasta, sesungguhnya tak ada masalah
lagi. Sekurang-kurangnya klrena dengan demikian hampir seluruh
anak usia sekolah sudah dapat ditampung, walau di beberapa
tempat harus berdesakan.
Tapi toh, kekurangan guru masih tetap merupakan masalah utama
untuk daerah ini. Menurut Kepala Seksi Pendidikan Dasar Kantor
Departemen P & K Asahan, D. Pinem, daerah ini masih kekurangan
923 guru SD. Perinciannya, 548 untuk SD Negeri dan 375 untuk SD
Inpres. Setiap tahun memang pemerintah mengangkat guru baru,
tapi hanya untuk SD Inpres. "Sedang untuk SD Negeri, sejak 1971
tidak lagi," kata Pinem.
Itu baru soal guru. Tapi tak kalah parahnya adalah perkara
perabotan sekolah yang menimpa SD-SD Negeri di daerah ini.
Seperti diketahui sebelum 1972 pengadaan peralatan (mibeler)
ditanggung seluruhnya oleh POM (Persatuan Orangtua Murid) dari
hasil kutipan pada para murid yang waktu itu masih
diperkenankan. Tapi sejak POM bubar dan diganti BP3 dengan
ketentuan SPP satu-satunya bentuk kutipan, keadaan menjadi
parah. Ditambah dengan ketakutan dilaporkan kepada Opstib, seiak
itu praktis kebutuhan peralatan sematamata tergantung pada
pemerintah daerah. Dan dengan keadaan keuangan daerah yang serba
terbatas, tak sulit ditebak, kebutuhan peralatan itu semakin
sulit dipenuhi. Sebagai contoh tahun lalu Pemda Asahan hanya
memperoleh 12 unit mibeler--satu unit terdiri dari 20 meja dan
40 kursi. Dan tahun ini direncanakan 9 unit.
Akan Kami Cek
Dari sekian ratus SD Negeri di Asahan yang kekurangan mibeler 32
sekolah di antaranya paling parah. "Sudah- benar-benar SOS,"
ujar Nuh Hasibuan Kepala Kantor Departemen PDK Asahan. Beberapa
di antaranya terpaksa membiarkan murid-murid belajar dengan
duduk di lantai. SD Negeri nomor 010070 di Desa Banjar
(Kecamatan Air Joman--Asahan) misalnya. Dari 5 lokal yang
dimilikinya hanya 2 lokal yang punya bangku atau meja.
Selebihnya kosong. Maka murid di 3 kelas itu harus rela duduk
bersila di lantai. "Terkadang saya sangka mereka sedang menulis,
ternyata sudah tidur," kata Nyonya Saida boru Pasaribu guru
kelas satu dan dua di sekolah itu.
SD Negeri Nomor 1 di Kisaran (ibukota Kabupaten Asahan) yang
terkenal sebagai sekolah favorit juga mengalami nasib kekurangan
mibeler. Dari 6 lokal yang ada (dengan 380 murid), hanya 3 lokal
yang lengkap. Untung pimpinan sekolah itu mengambil
kebijaksanaan dengan mengharuskan murid-murid yang mampu
membawa bangku dari rumah. Itupun hanya 15 orang murid.
"Habis tak pernah ada laporan tertulis," jawab Alfred
Lumbangaol, anggota DPRD Asahan ketika ditanyakan mengenai hal
itu, "tapi kalau begitu keadaannya akan kami cek nanti." Itu
saja. Dan murid-murid boleh menunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini