PONIYEM lahir pada hari baik. Dia lahir pada hari Senin Legi
yang, menurut primbon, akan mempunyai budi pekerti yang terpuji.
Lagi pula wuku-nya "kulawu", jadi Poniyem kan berwatak jujur,
pemurah dan punya rejeki yang melimpah. Namun pada umur 10 bulan
dia sakit panas, lalu mati. Sebelum mati namanya diganti menjadi
Urip (sembuh), tapi tidak menolong.
Adiknya bernama Poniran, lahir sesudah dia mati. Poniyem tidak
sempat melihat Poniran. Poniran juga lahir pada hari yang baik,
Senin Pon. Tapi riwayatnya malah lebih pendek lagi dari kakaknya
Poniyem. Pada umur lima bulan dia mencret.
Ibunya, Mbok Kromo, segera memanggil dukun, yang memberinya obat
lalu serta merta merobah Poniran jadi Slamet. Ia komat kamit
cukup lama mengucapkan-mantera yang panjang. Caranya meyakinkan
sekali. Tapi Slamet tidak bisa diselamatkan. Maut merenggutnya
seputar tengah malam, setelah empat hari sakit perut. Dua dari
empat.anak Pak Kromo dan Mbok Kromo sudah mati. Kecut hati
mereka. Namun mereka insyaf juga bahwa nasib mereka masih
lumayan dibanding Pak JOYO dan Mbok Joyo.
Inah anak Pak JOYO sudah mencapai 4 tahun. Dia sakit panas dan
batuk beberapa kali ke klinik dan pernah ke dokter tapi
akhirnya kembali ke dukun, lalu mati. Untuk menutupi ongkos
penyakit sebesar Rp 5.500 kalung Mbok Joyo dijual dengan harga
miring. Adiknya Topo mati setahun kemudian pada umur dua tahun.
Juga sakit panas, tapi dicurigai ada rokh jahat turut campur
tangan.
Habislah anak Pak Joyo dan Mbok Joyo. Dalam keadaan habis akal,
mereka pergi ke dukun terkemuka Mbah Karyo untuk meminta
nasehat. Mbah Karyo mengecek semuanya dengan seksama--weton,
wuku, tanda-tanda badan, sampai pada letak rumah sebelum kawin.
Dia terpaksa menyimpulkan: Pak JOYO dan Mbok JOYO betul-betul
tidak jodoh. Lalu mereka cerai. Tidak jodoh, apa boleh buat.
Apa boleh buat, anak-anak dilahirkan untuk mengisi kuburan.
Rawan Terhadap Maut
Tidak perduli tanggal dan bulan kelahiran, tidak perduli apakah
bernama Urip, Slamet, Rahayu atau Rakhmat, golongan Pak Kromo
dan Pak Joyo amat rawan terhadap maut. Mereka, golongan miskin,
punya angka k.ematian yang tinggi. Keadaan gizi yang buruk,
sanitasi yang buruk, membikin mereka Jadi konsumen kain kafan
yang besar. Hidup mereka rapuh.
Berbeda dengan orang yang punya, Walau anak mereka diberi nama
Joni, Jeki Ike atau Inge, anak-anak itu toh ' urip", "rahayu"
dan "siamet". Tidak usah banyak slametan, mereka toh selamat,
terhindar dari mati muda.
***
Seminar ini amat serius. Amat terasa punya tujuan yang berguna
untuk menunjang pembangunan. Bukan sekedar untuk menghabiskan
uang menjelang penutupan tahun anggaran, untuk berbagi uang
harian, plus uang transpor plus konsumsi. Bukan sekedar menambah
aktivitas untuk melicinkan kenaikan pangkat.
Pada pembukaan disebut-sebut Tahun Internasional Anakanak.
Dikemukakan bahwa perlu sekali diperhatikan Sepuluh Hak Asasi
Anak-anak: 1. Hak untuk mendapatkan kasih sayang, cinta kasih
dan pengertian. 2. Hak untuk mendapatkan gizi dan perawatan
kesehatan yang cukup. 3. Hak untuk mendapatkan pendidikan. 4.
Hak untuk mendapatkan hiburan dan rekreasi. Dan seterusnya.
Para penceramah membahas soal kesehatan, penyakit dan kematian.
Ada yang membahas perbedaan angka kematian yang begitu menyolok
antara negara kaya dan negara miskin. Pendapatan per kapita
begitu jelas kaitannya dengan angka kematian. Dari 1000
kelahiran bayi, sebelum berumur setahun, yang mati cuma 8 di
Swedia, cuma 14 di Singapura tapi 125 di Indonesia dan 132 di
Bangladesh.
Tidak lupa dibahas soal memasyarakatkan layanan kesehatan, soal
community medicine. Community medicine lebih ampuh dari hospial
medicine, yang titik beratnya kuratif. Community medicine itu
komprehensif, preventif, kuratif rehabilitatif, prornotif.
Cuma-Cuma
Kejutan timbul ketika seorang tokoh yang progresip mengacungkan
jarinya lalu bicara. "Untuk menekan angka kematian, saya usulkan
agar layanan kesehatan dibikin cuma-cuma untuk seluruh
Indonesia. Layanan klinik dan Puskesmas cuma-cuma. Dengan begitu
kita mengarah pada pemerataan kesehatan. Orang miskin akan
tertolong sekali. Lalu negeri kita bisa seperti Sri Langka.
Walau pendapatan per kapita rendah, angka kematian juga rendah.
Distribusi kematian menjadi tambah baik."
Seorang tokoh lain memberi tanggapan secara meyakinkan. "Layanan
cuma-cuma, kecuali negeri kita yang miskin tidak mampu, bisa
merugikan. Bahayanya, dengan kebijaksanaan itu kita meningkatkan
ketergantungan pada obat, pada layanan. Penurunan angka kematian
yang mantap bertautan dengan perbaikan status gizi, sanitasi dan
lingkungan hidup. Jadi, tanpa perbaikan ekonomi yang berarti
bagi golongan miskin di Indonesia, angka kematian mereka tidak
bisa ditekan ke tingkat rendah. Jangan dibandingkan dengan Sri
Langka. Pola distribusi pendapatan mereka lain. Jaminan sosial
mereka baik terhadap golongan lemah."
Tokoh yang progresip itu bicara sekali lagi. "Kalau begitu kapan
berakhir ketidak-adilan ini? Anak-anak orang miskin akan
bermatian walaupun bertambah jumlah klinik dan Puskesmas. Yang
paling miskin, the poorest of the poor tidak disentuh program.
Banyak meninggal. Mereka yang hidup hidup-hidupan. Kurang
kalori, kurang protein, punya gondok dan yang lainnya yang tidak
beres."
Tidak ada yang menanggapinya lagi. Pembahasan beralih ke masalah
lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini