SEIRAMA dengan sepakterjang Operasi Halilintar (Opstar), sejak
pertengahan Agustus lalu semua kapal penumpang (fery) Tanjung.
Pinang-Singapura diharuskan mengurangi jumlah awaknya. Yang
bermesin di dalam paling banyak hanya 12 orang. Sedang yang
bermesin di luar (speed boat) tak boleh lebih dari 8 orang awak.
Ketentuan Syahbandar Tanjung Pinang, Sudirjo, itu tentu saja
dikaitkan dengan instruksi Panglima Opstar dalam rangka
menggulung para penyelundup di sekitar perairan itu. Sebab bukan
rahasia lagi, jumlah awak fery yang selama ini sering dinilai
berlebih-lebihan adalah salah satu lubang penting untuk
meloloskan barang-barang selundupan dari Singapura ke Indonesia
lewat kawasan Kepulauan Riau. Sebab dari 10 buah fery yang
menjalani lin itu selama ini, rata-rata punya awak 15 orang.
Bahkan ada yang sampai 30 orang. "Jadi, memang ada yang kurang
wajar," ungkap Ketua DPC Insa Kepulauan Riau, Imam Sudradjad
kepada TEMPO.
Artinya, antara awak kapal yang memang benar-benar mencari makan
sebagai pelaut dengan pedagang yang bertopeng awak kapal, sudah
sulit dibedakan. Memang ini tak seluruhnya kesalahan pemilik
atau pengusaha kapal yang bersangkutan. Sebab jumlah awak yang
melewati batas itu tak akan terjadi jika tak ada izin resmi dari
pihak kesyahbandaran setempat. Buktinya dapat dilihat pada
sertifikat kapal.
Celakanya, dalam pelaksanaan pengurangan jumlah awak fery itu,
"yang terkena tendang justru awak yang betulbetul pelaut"
--seperti dituturkan beberapa awak fery. Sampai pekan lalu
jumlah mereka yang didaratkan tak kurang dari 100 orang. Dan tak
sedikit di antara awak yang bertopeng tadi dan tak terkena
pengurangan, terdiri dari pedagang-pedagang yang dititipkan oleh
sementara pejabat. Sedang yang berstatus kelas, tukang masak
atau tenaga kasar lainnya harus menerima nasib untuk
meninggalkan kapal. Yang kedudukannya tak tergoyahkan tentu saja
para nakhoda, mualim dan juru mesin.
Lalu, apakah dengan itu penyelundupan berkurang? Tentu saja
masih diragukan. Sebab untuk Tanjung Pinang yang belum punya
batas pelabuhan yang jelas ini, memang lubang penyelundupan
masih menganga di mana-mana. Misalnya saja karena soal tempat
pendaratan kapal-kapal khusus dari Singapura. Selama ini kapal
itu hanya melakukan ceking muatan saja di pelabuhan induk, yaitu
dermaga Tanjung Pinang. Sesudah itu mereka boleh berlabuh di
tengah laut sambil menunggu giliran membongkar muatan. Tapi
sementara itu pula sering terjadi pembongkaran muatan secara
diam-diam.
Minggu pertama bulan lalu misalnya, Kepala Inspeksi Bea-cukai
Tanjung Pinang, Darmaji, berhasil memergoki fery yang membongkar
muatannya di tengah laut setelah melakukan ceking. Karena itu
ada baiknya diperhatikan usul Imam Sudradjad, agar segera dibuat
dermaga khusus tempat menampung kapal-kapal yang datang atau
singgah dari Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini