Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Awak tulen dan bertopeng

Jumlah awak kapal penumpang (fery) Tanjung Pinangsingapura dibatasi dalam rangka operasi halilintar untuk menggulung penyelundup. pelaut kena tendang, pedagang bertopeng kelasi tetap beroperasi. (dh)

1 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEIRAMA dengan sepakterjang Operasi Halilintar (Opstar), sejak pertengahan Agustus lalu semua kapal penumpang (fery) Tanjung. Pinang-Singapura diharuskan mengurangi jumlah awaknya. Yang bermesin di dalam paling banyak hanya 12 orang. Sedang yang bermesin di luar (speed boat) tak boleh lebih dari 8 orang awak. Ketentuan Syahbandar Tanjung Pinang, Sudirjo, itu tentu saja dikaitkan dengan instruksi Panglima Opstar dalam rangka menggulung para penyelundup di sekitar perairan itu. Sebab bukan rahasia lagi, jumlah awak fery yang selama ini sering dinilai berlebih-lebihan adalah salah satu lubang penting untuk meloloskan barang-barang selundupan dari Singapura ke Indonesia lewat kawasan Kepulauan Riau. Sebab dari 10 buah fery yang menjalani lin itu selama ini, rata-rata punya awak 15 orang. Bahkan ada yang sampai 30 orang. "Jadi, memang ada yang kurang wajar," ungkap Ketua DPC Insa Kepulauan Riau, Imam Sudradjad kepada TEMPO. Artinya, antara awak kapal yang memang benar-benar mencari makan sebagai pelaut dengan pedagang yang bertopeng awak kapal, sudah sulit dibedakan. Memang ini tak seluruhnya kesalahan pemilik atau pengusaha kapal yang bersangkutan. Sebab jumlah awak yang melewati batas itu tak akan terjadi jika tak ada izin resmi dari pihak kesyahbandaran setempat. Buktinya dapat dilihat pada sertifikat kapal. Celakanya, dalam pelaksanaan pengurangan jumlah awak fery itu, "yang terkena tendang justru awak yang betulbetul pelaut" --seperti dituturkan beberapa awak fery. Sampai pekan lalu jumlah mereka yang didaratkan tak kurang dari 100 orang. Dan tak sedikit di antara awak yang bertopeng tadi dan tak terkena pengurangan, terdiri dari pedagang-pedagang yang dititipkan oleh sementara pejabat. Sedang yang berstatus kelas, tukang masak atau tenaga kasar lainnya harus menerima nasib untuk meninggalkan kapal. Yang kedudukannya tak tergoyahkan tentu saja para nakhoda, mualim dan juru mesin. Lalu, apakah dengan itu penyelundupan berkurang? Tentu saja masih diragukan. Sebab untuk Tanjung Pinang yang belum punya batas pelabuhan yang jelas ini, memang lubang penyelundupan masih menganga di mana-mana. Misalnya saja karena soal tempat pendaratan kapal-kapal khusus dari Singapura. Selama ini kapal itu hanya melakukan ceking muatan saja di pelabuhan induk, yaitu dermaga Tanjung Pinang. Sesudah itu mereka boleh berlabuh di tengah laut sambil menunggu giliran membongkar muatan. Tapi sementara itu pula sering terjadi pembongkaran muatan secara diam-diam. Minggu pertama bulan lalu misalnya, Kepala Inspeksi Bea-cukai Tanjung Pinang, Darmaji, berhasil memergoki fery yang membongkar muatannya di tengah laut setelah melakukan ceking. Karena itu ada baiknya diperhatikan usul Imam Sudradjad, agar segera dibuat dermaga khusus tempat menampung kapal-kapal yang datang atau singgah dari Singapura.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus