Edi, 20 tahun, dari udik di Subang, mengenal Bung Karno hanya
dari cerita orang-orang tua. Juga Jaka Budi, 17 tahun, murid SMA
di Jakarta dan anak seorang panglima Kodam, hanya tahu Bung
Karno dari teman-temannya, yang ikut grup musik Swara Mahardhika
pimpinan Guruh Sukarno. Bila Edi menyangka Bung Karno adalah
"orang sakti yang 'punya banyak jimat", Jaka menganggap Bung
Karno, 'yah, bagaimana, ya, lumayan, deh.'
Itu pendapat anak muda sekarang. Tapi baik kita dengarkan
pendapat orang-orang yang mengenal Almarhum, sebagai berikut:
SAJUTI MELIK
Sajuti Melik, kini anggota DPR fraksi Karya Pembangunan,
menjelang 70 tahun umurnya. Di pertengahan 60-an ia dikenal
sebagai penulis risalah panjang "Belajar Memahami Sukarnoisme",
suatu tafsiran tentang ajaran Bung Karno. Pada saat itu, fikiran
Bung Karno dalam pidato Manifesto Politik dan lain-lain praktis
merupakan semacam "Kitab Suci" bagi seluruh kekuatan olitik
yang ada. Siapa yang dianggap menyeleweng kena "ganyang."
Namun penafsiran tentang ajaran itu menimbulkan bentrokan,
terutama antara yang pro-komunis dengan yang bukan. Sajuti
termasuk yang terakhir. Tapi tulisannya yang disiarkan oleh
lebih 50 koran non-komunis, kemudian ternyata dinyatakan
"terlarang". Koran-koran itu kena tindak. Sajuti, yang dalam
umur 18 tahun sudah dibuang pemerintah Belanda ke Digul dan
"dibesarkan dalam paham Marxisme", tetap menolak penafsiran
Marxis atas ideide Bung Karno. Ia dikucilkan, hingga meletusnya
peristiwa G-30-S. Suasana politik berbalik sama sekali setelah
Orde Baru lahir 1966.
"Sesudah Bung Karno jatuh, orang yang tadinya menyembah-nyembah
lantas memaki-maki. Saya sendiri tetap menghargai. Padahal dulu
waktu ia masih berkuasa sayalah yang berani menentang konsep
Nasakom (persatuan Nasionalis, golongan Agama dan Komunis). Saya
katakan Nasakom itu tidak betul, yang betul adalah Nasasos --
"sos" dalam arti "sosialis", yaitu sosialis yang menghargai
nasionalisme dan agama. Komunis tidak menghargai agama. Tak
mungkin bersatu.
Bung Karno terjebak dalam perangkap strategi PKI. Terjebak
karena dia tidak tahu. Waktu itu Bung Karno melihat kekuatan
yang nyata ada dua, PKI dan ABRI Supaya selamat, keduanya
dirangkul. Tidak tahunya, PKI dan ABRI bentrok. Dan kalau
keduanya bentrok, yang di atas itu jatuh. Siapapun yang menang.
Seandainya PKI menang, Bung Karno juga akan jatuh. Bung Karno
menganggap PKI bisa menurut. Tapi tidak bisa. Kelemahan Bung
Karno adalah ia suka disanjung. Dan PKI pintar menyanjungnya.
Tapi saya tetap menghargainya. Bung Karno juga yang membawa kita
kembali ke UUD '45.
MARIA ULFAH SUBADIO
Maria Ulfah Subadio, kini 67 tahun, pernah menjadi Menteri
Sosial di tahun-tahun awal usia Republik. Ia tokoh Kowani
(Kongres Wanita Indonesia). Suami Maria Ulfah adalah Subadio
Sastrosatomo, pemimpin PSI yang dipenjarakan Bung Karno. Mereka
menikah waktu Subadio dalam status tahanan.
"Saya amat kagum kepada Bung Karno semasih jadi mahasiswa di
Negeri Belanda. Saya membeli dan membaca karangannya, Indonesia
Klaagt Aan atau Indonesia Menggugat. Sebagai aktivis dan seorang
pemujanya, saya bungkus baik-baik-buku itu ketika kembali ke
Indonesia, dan berhasil lolos dari pemeriksaan. Waktu itu buku
itu terlarang di Indonesia.
Di zaman Jepang baru saya berhasil bertemu dengan Bung Karno.
Pertama kali di gedung pertemuan, sekarang gedung Departemen
Penerangan Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Kedua kalinya ketika
bersama beberapa tokoh wanita saya diundang Ibu Inggit (isteri
Bung Karno waktu itu) ke rumah kediamannya yaitu Jalan
Pegangsaan Timur atau Jalan Proklamasi sekarang. Waktu itu belum
zaman merdeka.
Ibu Inggit baru pulang bersama Bung Karno naik becak. Bung Karno
lalu ikut duduk bersama kami. Ah, di situlah terjadi suatu hal
yang tak terduga-duga. Ibu Inggit menceritakan riwayatnya dan
minta diri karena mau kembali ke kampungnya. Kami pun jadi
mengerti ia tak mau dimadu. Mendengar cerita Ibu Inggit, kami
pun tak kuasa bicara sepatah pun kecuali menangis semuanya. Tapi
Bung Karno tampak tenang saja, sembari sekali-sekali
membetulkan duduknya.
Kekaguman saya memang sedikit berkurang setelah terjadinya
peristiwa itu. Tapi kemudian saya bisa mengerti. Alasan Bung
Karno mengawini Fatmawati karena dari Ibu Inggit ia tak bisa
punya anak.
Saya pun jadi teman baik, juga dengan Fatmawati. Tapi kemudian
kekaguman saya mulai luntur, ketika Bung Karno berniat kawin
lagi dengan Hartini. Apalagi alasannya? Bukankah dia sudah punya
isteri yang cantik dan anak-anak yang lengkap? Nah, ketika ia
toh melaksanakan niatnya untuk kawin lagi, saya tak lagi
mengaguminya. Dan mulai ragu akan dirinya sebagai pemimpin
yang perlu memberi contoh kepada rakyatnya.
Ya, dia memang orang besar, tapi anggapan saya terhadap almarhum
sebenarnya zakelijk saja. Artinya, tak merasa kehilangan seorang
pemimpin.
JENDERAL (Pens.) NASUTION
Tentang A.H. Nasution tidak banyak diperlukan perkenalan
kembali. Ia pernah bekerja dengan Bung Karno sebagai perwira
tinggi ABRI yang memegang kunci penting di pemerintahan -- tapi
penuh dengan pasang surut. Di bawah ini kutipan dari Nasution:
"Memanglah selama bertugas dulu ada kalanya saya dalam keadaan
akur dan tak akur dengan Bung Karno.
Di masa saya pelajar di Bandung, saya telah edarkan dua bukunya
terkenal di asrama. Seorang teman yang tertangkap basah
membacanya ditindak oleh direktur. Sebagai pemuda saya pernah
tinggal satu straat (jalan) dengan beliau di Bengkulu dan selalu
kagum mendengarkan uraian beliau.
Tapi di akhir masa Jepang, ketika saya sebagai salah seorang
pimpinan pemuda dan Barisan Pelopor di Bandung, kami agak
kecewa, mengapa beliau masih rajin berbicara Asia Timur Raya
sebagai keharusan geopolitis bagi kita. Padahal sikap fasisme
militer Jepang sudah tegas, Pemuda telah berkali-kali bentrok
dengan Jepang.
"Di masa revolusi fisik, . . . walaupun kami kecewa, beliau tak
ikut bergerilya dalam Clash II (1948), namun saya yakin
Sukarno-Hatta tak bisa diganti. Tanggal 1 Agustus 1948 Pak
Dirman yang saya dampingi, di depan Presiden tetap menolak
politik pemerintah, sehingga kami pamit dengan sama
bercucuran air mata, karena Bung Karno-lah yang menyatakan akan
berhenti. Pak Dirman sendiri sebenarnya sudah meneken
permintaan berhenti. Saya ajukaan bahwa persatuan pimpinan
nasional dengan pimpinan ABRI lebih penting dari soal politik
pemerintah. Syukur Panglima Besar (Sudirman) setuju, surat tak
diteruskan.
Tanggal 1 Oktober 1965 (beberapa jam setelah beberapa jenderal
TNI-AD diculik oleh pasukan Gestapu), Jend. Harto, sesuai
dengan standing order Angkatan Darat otomatis harus menjadi
Pd. Panglima Angkatan Darat. Tapi dari (tempat perlindungannya
di) Halim, Presiden Sukarno mengumumkan, bahwa Presiden
langsung memegang komando AD. Jend. Pranoto jadi caretaker.
Dengan proses tadi terasa sejak 1952 Bung Karno ingin langsung
memimpin ABRI . . . Dari pengalaman saya dengan kepemimpinan
beliau, terbuktilah kebenaran ajaran agama, bahwa
prinsip-prinsip yang diyakinilah yang mustinya memimpin kita.
Pribadi pemimpin kita ikuti selama ia committed (bersetia)
kepada prinsip itu.
Bagaimana pun, Bung Karno adalah pemimpin yang besar. Beliau
sudah masuk dalam penjara unuk kemerdekaan Indonesia, sebelum
saya sadar akan perjuangan kemerdekaan. Walaupun saya pribadi
telah jadi sasaran beliau terus menerus sejak mulai kampanye
Nasakom, namun saya tetap sadari jasa beliau untuk kemerdekaan
dan identitas nasional adalah besar."
SITOR SITUMORANG
Penyair ini, 55 tahun, dulu tokoh organisasi kebudayaan Partai
Nasional. Ia sejak Demokrasi Terpimpin bermula sampai menjelang
meletusnya peristiwa G-30-S, sangat menonjol di kalangan atas
politik. Ia ikut memimpin kampanye menyerang para seniman
penandatangan Manifes Kebudayaan yang dicetuskan di tahun 1963
-- misalnya H.B. Jassin, Zaini, Rendra, Taufiq Ismail. Manifes
itu kemudian dinyatakan "terlarang" oleh Bung Karno dan para
penandatangannya tersingkir dari kancah kebudayaan. Sitor
sendiri kemudian tersingkir, dalam tahanan, sejak awal Orde Baru
sampai ia dibebaskan kembali hampir empat tahun yang lalu.
"Bung Karno adalah seniman. Ia mempunyai rasa seni dan indah
sendiri. Tapi tak berarti ia tak menyukai rasa indah orang lain.
Ia sangat toleran dalam hal ini. Saya pernah diperkenalkan
kepada Presiden Nasser dari Mesir, "Ini penyair kenamaan
Indonesia, tapi saya tak suka sajak-sajaknya." . . . Saya yakin,
beliau tak pernah suka membaca karya sastra. Kalau karya seni
lainnya, lukis, patung, film, sandiwara, musik, dia senang dan
bisa menikmati.
Saya sangat kagum pada pemikiran Bung Karno mengenai masalah
kebudayaan. Ia orang Jawa yang mengerti kebudayaan Jawa. Tapi ia
bisa mencerminkan rasa nasionalnya dan suku lain tidak merasa
tersinggung . . . Jangan diartikan, nasionalisme Bung Karno
sekedar mengusap-usap arca atau memuja masa lampau.
(Sebagai pemimpin) Bung Karno terlalu mendasarkan diri pada
gerak spontan. Ini didasarkan latar belakangnya sendiri. Ia
dilahirkan sebagai tokoh secara spontan, tanpa melalui
kaderisasi formil dalam organisasi. Maka Bung Karno kurang
membenahi organisasi dan terlalu yakin akan munculnya tokoh
secara spontan seperti dirinya. Ia kurang memikirkan organisasi,
itulah kelemahannya. Tapi sebagai ideolog dan pemikir beliau
belum tersusul oleh orang lain.
HERAWATY DIAH
Tokoh wartawan wanita yang kini aktif di bidang usaha ini --
juga isteri B.M. Diah, pemilik harian Merdeka -- tak begitu siap
untuk mengingat-ingat catatannya tentang Bung Karno dalam satu
wawancara singkat.
"Yang saya ingat sewaktu jadi redaktur Merdeka sekitar tahun
50-an, dia begitu berperhatian kepada orang banyak, terutama
wartawan. Dalam perjalanan di dalam negeri, dia menyuruh kami
makan di ujung meja dekat gubernur, sehingga wartawan dapat
mendengar langsung apa yang dikatakan oleh pemimpin republik.
Dan ia selalu ingat nama orang.
Di masa akhirnya ia tak mau mendengarkan nasehat baik dari
kawan-kawannya, dan seakan-akan menggali kuburannya sendiri.
Ketika di masa belakangan saya melihat ketimpangannya, saya
pernah bertanya kepada Abdul Kadir Pringgodigdo, teman lamanya.
Pak Pringgo menjawab: "Kalau Bung Karno kini senang akan
foya-foya, terlalu sering ke luar negeri, itu karena di masa
mudanya dia tak merasakan hal itu. Ketika tualah semua itu
dikejarnya." Teman-temannya selalu memberikan "maaf" kalau Bung
Karno berbuat yang berlebihan.
Dia memang selalu penuh atensi dan gallant kepada wanita.
Biarpun dengan wanita yang sudah tua.
HARRY TJAN SILALAHI
Anggota Dewan Pertimbangan Agung termuda ini, 45 tahun, di masa
muda adalah tokoh terkemuka organisasi mahasiswa Katolik PMKRI.
Di tahun 1965-1966 ia tak lagi tokoh mahasiswa, sudah sarjana
hukum dari UI dan orang penting dalam Partai Katolik, tapi ia
dekat dengan anak-anak muda yang waktu itu aktif menghadapi Orde
Lama -- dan kian lama kian terus terang menentang Presiden
Sukarno. Bersama Almarhum Subchan, tokoh NU, Harry aktif
memimpin komando "pengganyangan Gestapu." Harry sendiri merasa
bahwa Bung Karno tak mengenalnya.
"Bung Karno adalah putera dari jamannya. Ia telah menjawab
panggilan jamannya dengan gemilang dan baik. Tapi, seperti tokoh
lainnya, setelah jamannya berubah, tentu saja peranannya juga
bergeser. Seorang yang besar ahli melukis tapi lantas disuruh
membuat patung ya mungkin tidak bisa -- padahal waktu itu yang
laku adalah patung. Demikianlah ibaratnya Bung Karno.
Di samping itu, umur Bung Karno (menjelang 1965) juga sudah
tua, dan semakin kurang dinamis. Dalam karya besarnya persatuan
bangsa, ia ternyata tak bisa menghilangkan unsur-unsur yang bisa
menyeleweng, meskipun sudah diberitahu. Menurut saya, setelah
terjadinya Gestapu, kita semua telah berusaha meyakinkan Bung
Karno untuk membubarkan PKI, menghukum para pelaku Gestapu dan
dalang-dalangnya. Tapi nampaknya Bung Karno malu mundur --
maklum "penyakit" orang tua.
GANIS HARSONO
Bekas diplomat terkemuka yang kini berumur 57 tahun ini, pernah
jadi deputi Menteri Luar Negeri, sekarang mungkin akan lebih
dikenal melalui bukunya yang terbit di Australia, Recollections
of an Indonesia Diploma, kenangan seorang diplomat Indonesia
dari masa politik luar negeri yang aktif ke segenap penjuru
dunia di bawah Bung Karno dan Menteri Luar Negeri Subandrio.
Ganis menyertai perjalanan Bung Karno di AS dan Uni Soviet, dan
menjadi "penghubung" Presiden dengan pers dunia.
"Saya punya pendapat bahwa seorang pemimpin dapat produktif
hanya dalam masa satu windu, delapan tahun. Bung Karno juga
demikian. Ia benar-benar mulai memimpin 1957, dan setelah
delapan tahun ia "meninggal" -- dalam tanda kutip. Selama
delapan tahun itu ia berhasil mengajak teman-temannya untuk
membereskan banyak hal. Setelah itu, ia harus menyiapkan
penggantinya.
Siapa penggantinya? Nonsens bila orang mengatakan itu Aidit,
atau Subandrio, atau Ruslan Abdulgani. Orang tidak akan memilih
satu orang. Dia akan memilih satu kekuatan yang ampuh, dan itu
ABRI.
Kini saya bisa katakan (peresmian makam) Blitar merupakan
tonggak sejarah baru. Tidak buat rakyat. Tapi bagi yang sedang
menjalankan pemerintahan. Dengan adanya Blitar, segala ruwet
renteng itu hilang. Tak perlu lagi menyebut-nyebut Orla, Orba.
Kalau ada orang yang membandingkan Orba dengan Orla, berpendapat
Orla jelek Orba bagus, orang itu harus ditest kesungguhannya.
MOH. ROEM
Tokoh diplomat Indonesia di masa perundingan dengan Belanda ini,
yang juga tokoh partai Masjumi yang kemudian dinyatakan
"terlarang" oleh Bung Karno, kini 71 tahun. Di tahun 1960-an
bersama beberapa orang lain, antara lain wartawan Mochtar Lubis,
dipenjarakan pemerintah Sukarno. Roem sendiri menyatakan bukan
orang yang termasuk kalangan intim dengan Bung Karno. "Ia intim
dengan guru saya, Haji Agus Salim," kata Roem.
Saya memang dipenjarakan oleh Bung Karno, tapi semua orang
menyatakan saya tak benci Sukarno, seperti Syahrir juga -- yang
meninggal dalam tahanan Sukarno --tak membenci Bung Karno. Saya
pikir-pikir memang tak ada gunanya. Cuma membawa penyakit saja.
Ada cerita dalam penjara. Subadio Sastrosatomo yang juga
dipenjara tiap malam menuruti pesan ibunya jangan tidur sebelum
jam 12, karena harus berdoa sedikit di luar kamar. Doanya:
"Mudah-mudahan Tuhan mengampuni dosa Sukarno" Karena ibunya
tahu, nanti anaknya bisa benci sama Sukarno.
Dan saya bagaimana? Saya memang tidak senang dipenjarakan.
Sukarno memenjarakan orang tak bersalah itu haram. Tapi saya
tidak memintakan ampun kepada Tuhan. Barangkali memang lebih
baik sebagai orang Islam saya memintakan ampun, tetapi saya
tidak sebegitu baiknya. Lagipula saya berpikir mengapa mintakan
doa pengampunan bagi orang yang tidak merasa bersalah.
Bung Karno memang kurang senang kepada Masjumi dan pemimpinnya,
sebab kami tak mau mengakui demokrasi terpimpin. Bung Karno
menghubungkan kami dengan pemberontakan PRRI. Padahal sebagai
partai Masjumi menganggap PRRI tak sesuai dengan UUD. Tapi Bung
Karno sendiri, dengan mengangkat diri sendiri sebagai formatir
kabinet waktu itu, juga tak sesuai dengan UUD. Bagaimana
menyelesaikannya? Damai. Tapi Bung Karno yang menjadi diktatur
membubarkan ini dan itu.
Kini penilaian saya terhadap Bung Karno tetap, tak perlu saya
ubah. Waktu Bung Karno dipuja-puja orang, saya tahu dia orang
besar. Tapi saya tak pernah ikut-ikut, seperti juga saya tak
perlu ikut menginjak-injak dia dulu.
SOEDJATMOKO
Soedjatmoko, 55 tahun, bekas Dubes Indonesia di AS dan budayawan
terkenal, berbicara tentang Bung Karno:
"Bung Karno menganjurkan saya untuk masuk politik, setelah 1945.
Tapi ada dua hal yang dia pesan. Pertama, katanya, "Kamu jangan
masuk PSI." Waktu itu saya belum PSI, dan baru masuk PSI
menjelang pemilu pertama 1955. Kedua, dia katakan, "Kamu mesti
kawin."
Saya katakan kepadanya saya waktu itu tidak sedang jatuh cinta.
Dia berkata: "Kamu janji pada saya bahwa kamu akan terima
pilihan saya untukmu." Saya tertawa dan menjawab "Bung, kita
'kan berjuang untuk menegakkan kemerdekaan, dan bukan untuk
menyerahkannya kembali -- kepada Bung." Bung Karno menjawab "Ah,
kamu . ."
Dia marah kepada saya di tahun 1958. Ketika itu dia minta saya
ikut masuk dalam kabinet. Saya memang menolak. Saya baru bertemu
kembali dengan beliau setelah 11 Maret 1966. Ketika itu saya
baru kembali dari sidang umum di PBB, sebagai wakil ketua
delegasi Indonesia. Roeslan Abdulgani ketuanya. Saya waktu itu
melapor kepada Bung Karno karena dia masih menjabat sebagai
presiden.
Ia menanyakan secara mendalam, apa sebenarnya yang sedang
terjadi di RRC dengan pecahnya "revolusi kebudayaan" (sekitar
1966). Siapa yang akan tampil sebagai pemenang? Dia berkata:
"Kalau Mao yang menang, itu berarti revolusi-revolusi besar di
dunia masih belum habis." Jawaban saya: Mao kira-kira akan
menang, tapi kekuatannya mulai rapuh. Waktu itu Bung Karno
tampak prihatin sekali tentang yang terjadi di RRC -- dan juga
di Indonesia.
Sukarno adalah seorang romantikus tapi juga seorang visioner
yang besar. Dalam pandangan dunianya dia tak salah. Saya kira
malah banyak benarnya. Cuma terlalu pagi untuk bisa dijadikan
landasan, hingga akibatnya Indonesia jadi terisolir. Banyak
kejadian di dunia kini misalnya sudah terbayang dalam
pandangannya dulu. Tapi garis pertumbuhan suatu bangsa tak hanya
ditentukan oleh seorang semata, betapa besarnya pun orang itu.
KARNA RADJASA
Hubungan dengan Bung Karno secara langsung terjadi setelah ia
berusia sekitar 15 tahun. Ketika Ali Sastroamidjojo (ayahnya)
menjadi Menteri PPK ia sering mengantar ibunya ke istana,
bertemu ibu Fat. "Waktu itu Bung Karno masih di Yogyakarta, dan
kami diajak makan bersama. Saya masih ingat, nasinya jagung."
Hubungan yang dimulai sejak masa kanak-kanaknya kemudian
berkembang sampai ia dewasa. Sepulang dari AS pada 1955, Karna
sering bertemu dengan Bung Karno, terutama pada 1960, ketika
Bung Karno selalu menghindari untuk bicara politik dengan Ali
Sastroamidjojo. "Rupanya. Bung Karno menghendaki agar Pak Ali
selalu membenarkan gagasannya. Ini yang tidak bisa diterima Pak
Ali," kata Karna.
Peranan sebagai "perantara" itu kemudian berlanjut, ketika Karna
Radjasa kadang diminta untuk bicara soal partai dengan Bung
Karno. "Terutama pada 1963-1964 waktu saya menjadi salah satu
pimpinan DPP PNI," katanya.
Tapi ia berkesan Bung Karno itu menaruh rasa hormat kepada
ayahnya. "Barangkali itu disebabkan Pak Ali punya dukungan kuat
di kalangan muda partai," tambahnya.
Karna berpendapat dalam kehidupan sehari-hari Bung Karno itu
tidak hipokrit. "Ia polos, blak-blakan, jujur," katanya. "Tapi
dalam politik mengapa ia tak berterus terang dengan orang-orang
yang dekat atau kawannya?" tanyanya. "Ini yang sampai sekarang
saya tidak mengerti."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini