Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mahkamah Konstitusi sama sekali tak mengamanatkan metode omnibus law untuk dimasukkan dalam aturan pembahasan undang-undang Indonesia.
DPR cenderung ingin menjalankan dissenting opinion atau pendapat berbeda hakim MK yang disebutkan dalam putusan.
Seharusnya DPR memisahkan banyak kluster dalam UU Cipta Kerja berdasarkan kluster topik ketika merevisi omnibus law.
JAKARTA – Pakar hukum menganggap rencana merevisi Undang-Undang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan untuk mengesahkan metode omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja sangat berbahaya. Sebab, upaya itu akan menyalahi putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera Indonesia, Bivitri Susanti, mengatakan Mahkamah Konstitusi sama sekali tak mengamanatkan metode omnibus law untuk dibahas atau dimasukkan dalam aturan pembahasan undang-undang Indonesia. Menurut dia, meski metode omnibus law dimasukkan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan, pembahasan UU Cipta Kerja tetap tidak sah karena tak melibatkan partisipasi publik dalam pembahasannya sesuai dengan amanat putusan MK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dua hal ini sangat berbahaya dalam kehidupan hukum tata negara kita,” kata Bivitri, Senin, 7 Februari 2022.
Menurut Bivitri, partisipasi publik yang bermakna atau meaningful participation itu menjadi salah satu poin penting yang diangkat MK dalam putusannya. Undang-Undang Cipta Kerja dibatalkan karena publik yang terkena dampak omnibus law tersebut sama sekali tak dilibatkan dalam pembahasan. Karena itu, kata dia, akan salah kaprah jika DPR justru memutuskan untuk merevisi Undang-Undang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan, apalagi jika disebutkan hanya jangka waktu yang terbatas, yaitu selama dua tahun, yang sejalan dengan tenggat merevisi UU Cipta Kerja dalam putusan MK.
Pekan lalu, Badan Keahlian DPR menyelesaikan naskah akademik revisi UU Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. Dalam naskah akademik itu, ditegaskan akan adanya revisi UU Peraturan Pembentukan Perundang-undangan agar metode omnibus law diatur dalam ketentuan pembentukan undang-undang di Indonesia. Selain itu, revisi UU Peraturan Pembentukan Perundang-undangan akan merinci asas keterbukaan pembahasan undang-undang. DPR mendefinisikan bahwa asas itu seperti kegiatan rapat dengar pendapat, kunjungan kerja, seminar, lokakarya, diskusi, atau kegiatan konsultasi publik lainnya.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. istimewa
Bivitri juga mengkritik jenis partisipasi publik yang dijelaskan oleh DPR ini. Selama ini, kata dia, DPR hanya mengartikan partisipasi publik itu sebagai kegiatan tur ke kampus-kampus untuk mendiskusikan aturan yang tengah dibahas oleh anggota Dewan.
Pernyataan itu terbukti dari agenda Badan Keahlian DPR yang menggelar seri diskusi ke kampus-kampus mengenai naskah akademik revisi UU Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. Pekan lalu, mereka menggelar diskusi dengan pakar hukum di berbagai kampus di sejumlah daerah, seperti DI Yogyakarta, Surabaya, dan Lampung.
Agenda revisi ini merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional karena proses pembahasannya tak transparan dan metode omnibus law yang tak dikenal dalam aturan hukum Indonesia. Upaya partisipasi publik juga dinyatakan tak optimal. MK lantas memerintahkan pembuat undang-undang memperbaikinya paling lama dua tahun. Jika tidak, aturan lama yang dibatalkan UU Cipta Kerja harus berlaku kembali.
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, juga menyoal upaya DPR menindaklanjuti putusan MK dengan jalan merevisi UU Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. Ia berpendapat agenda revisi UU Peraturan Pembentukan Perundang-undangan itu bertentangan dengan putusan MK. Sebab, putusan MK sama sekali tidak memerintahkan untuk merevisi UU Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. MK justru meminta pembuat undang-undang memperbaiki UU Cipta Kerja.
Ia berpendapat, DPR cenderung ingin menjalankan dissenting opinion atau pendapat berbeda hakim MK yang disebutkan dalam putusan. Padahal pendapat berbeda itu bukanlah putusan. Lalu, kata dia, naskah akademik buatan Badan Keahlian DPR secara jelas menyatakan metode omnibus law diperlukan untuk mengakomodasi putusan MK. “Ini aneh karena justru menyalahi MK,” kata Feri.
Ahli hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia, Ni’matul Huda, juga menguatkan pendapat Feri. Ni’matul menilai naskah akademik revisi UU Peraturan Pembentukan Perundang-undangan belum komprehensif. Ia melihat DPR terkesan hanya ingin merevisinya untuk mengakomodasi kepentingan pemerintah tentang UU Cipta Kerja. “Padahal banyak poin revisi lain yang seharusnya bisa dimasukkan dalam pembahasan ini,” katanya.
Ia berpendapat, pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja lewat metode omnibus law sudah dinyatakan tak sesuai dengan konstitusi. Karena itu, kata dia, seharusnya DPR memisahkan banyak kluster dalam UU Cipta kerja berdasarkan kluster topik ketika merevisi omnibus law tersebut.
INDRI MAULIDAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo