Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah naik gunung

Daud Beureu-eh, tokoh pemberontakan di/tii di aceh, pernah diangkat menjadi gubernur sipil dan gubernur militer untuk wilayah aceh, langkat, tanah karo, yang berpusat di kutaraja (banda aceh). (nas)

27 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAUD Beureu-eh, kini, karena uzur tak lagi mampu mandi sendiri. Bahkan, air wudu untuk ulama terkemuka itu, kini terpaksa dibawakan ke dekat pembaringannya. Dalam usia 90, ia juga tak lagi tinggal di rumahnya, di Desa Beureu-eh, 2 km dari Beurenuen, ibu kota Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie, Aceh. Sejak lima bulan silam, tokoh penting itu memilih tinggal di sebuah rumah di kompleks Masjid Baitul A'la Lil Mujahidin, yang dibangun pemerintah. Bantuan pemerintah itu agaknya, boleh merupakan pertanda betapa Aceh telah lama menjadi provinsi yang tenang. Padahal, 21 September, 33 tahun silam, adalah Teungku Daud Beureuch, yang menggerakkan rakyat Aceh naik gnung, melawan pemerintah pusat. Mengapa jalan itu yang ditempuh Daud Beureueh? Ada memang yang menilainya karena kepentingan subyektif. "Ia jengkel karena tak jadi gubernur lagi, dan menilai Soekarno waktu itu berbau komunis," kata bekas Komandan Daerah Militer Aceh, Brigjen (pur) Sjamaun Gaharu, pada Amir S. Torong dari TEMPO. Tapi itu pendapat minoritas. Umum diakui, pemberontakan itu terutama pecah karena Aceh telah "dikempiskan" oleh pusat. Aceh, negeri yang tak pernah ditaklukkan oleh Belanda itu, di masa republik, cuma dijadikan sebuah kabupaten saja. "Penyebab utama pemberontakan itu, karena otonomi daerah Aceh dicabut," ujar Hasan Saleh, 65, bekas Menteri Urusan Perang DI/TII Aceh pada Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO. Adalah Sjafruddin Prawiranegara, selaku Wakil Perdana Menteri, dalam Agustus 1949 berkunjung ke Aceh. Di sini ia segera menemukan kerumitan masalah yang dihadapi republik, yang berkaitan dengan status Aceh. Ada tuntutan yang keras dari para ulama yang tergabung dalam PUSA (Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh), yang didirikan Daud Beureu-eh, Mei 1939, menjadikan Aceh berstatus provinsi. Sjafruddin, kemudian, dengan menggunakan hak istimewanya, mengabulkan tuntutan itu. Pada 17 Desember 1949, ia mengeluarkan peraturan, membagi dua Sumatera Utara menjadi Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli/Sumatera Timur. Dalam mukadimah peraturan itu, disebutkan, pembentukan Provinsi Aceh ini merupakan hal yang mendesak -- yang tidak mengikuti prosedur hukum biasa. Adalah Daud Beureu-eh yang kemudian diangkat menjadi gubernur sipilnya. Ulama ini, sebelumnya, sudah menduduki jabatan gubernur militer untuk wilayah Aceh, Langkat, Tanah karo, yang berpusat di Kutaraja (Banda Aceh). Tapi, setelah berakhir Konperensi Meja Bundar di Den Haag, Negeri Belanda, pemerintah pusat, "mencairkan" kembali status Aceh yang otonom sebagai provinsi. Ketimbang mengukuhkan keputusan Sjafruddin Prawiranegara ke dalam UU, pemerintah pusat, memilih membentuk suatu komisi yang diketuai Menteri Dalam Negeri Susanto Tirtoprojo. Inilah komisi penyidikan, yang dalam kunjungannya ke Aceh memberitahukan kepada para pemimpin di Serambi Mekah itu bahwa pemerintah pusat belum mengambil keputusan: Apakah Aceh definitif sebagai provinsi tersendiri. Sikap pemerintah pusat itu sungguh menjadi kenyataan, kendati tokoh seperti Beureu-eh telah berkali-kali membayangkan besar kemungkinan akan terjadi pemberontakan. Toh, 1 Agustus 1950, dibentuklah panitia persiapan pembentukan Provinsi Sumatera Utara. Sehari sebelum Republik Indonesia Serikat dihapuskan secara resmi (15 Agustus 1950), dikeluarkanlah berbagai peraturan. Antara lain, membagi wilayah Indonesia menjadi 10 provinsi -- di antaranya Provinsi Sumatera Utara. Peraturan Sjafruddin tentang status Aceh dicabut, dan Aceh dikembalikan menjadi hanya sebuah kabupaten saja di dalam Provinsi Sum-Ut. Tak hanya itu yang bikin jengkel orang Aceh. Pada November 1950, Divisi 110 pimpinan Hasan Saleh ditugasi ke Sulawesi Selatan, memberantas pemberontakan Kahar Muzakkar. Setelah tugas itu usai, "Kami dikirim lagi ke Seram membasmi RMS," kata Hasan Saleh. Setelah itu, divisi itu diintegrasikan dengan Bukit Barisan, dan para perwiranya dipindahkan ke luar Aceh. Lalu, masuklah para tentara pendatang, "yang bersikap seperti tentara pendudukan saja," ujar Hasan. Para tentara pendatang itu, kata Hasjmy, tak tahu adat Aceh. "Mereka itu banyak yang mandi telanjang, dan makan anjing," tambah Hasjmy. Waktu itu, "Aceh sudah seperti dipotong kukunya, dan keadaan sudah panas." Hasjmy sendiri, setahun sebelum pecah pemberontakan, pernah membuat laporan untuk pemerintah pusat. "Jauh hari sudah saya ingatkan adanya kemungkinan pecahnya perang. Tapi laporan saya tidak dugubris," ujar Hasjmy. Dalam keadaan panas itulah, diam-diam, datang ajakan dari Kartosuwirjo untuk bergabung dalam DI dan membentuk Negara Islam Indonesia. Hasilnya belum kongkret benar. Tapi kemudian, tertangkaplah siapa yang disebut "Mustafa", yang menyebut dirinya sebagai "Utusan Istimewa" Kartosuwirjo. Setelah itu, Jaksa Tinggi Sunarjo dari Jakarta membawa suatu daftar nama ke Aceh. Inilah daftar nama yang berisi 300 orang pemimpin Aceh yang akan ditangkap. "Daftar hitam" itu kabarnya diperoleh dari orang yang bernama "Mustafa" itu. Sejak itu keresahan di Aceh pun meningkat. oalam kegelisahan semacam itu, meminjam M. Nur El Ibrahimy, ajakan Kartosuwirjo pun mudah "termakan". "Daripada ditangkap, lebih baik naik gunung saja," kata Hasan Saleh. Maka, di suatu rumah di Binjei, dihadiri sekitar 20 perwira TNI dengan pangkat mayor ke bawah, diucapkanlah ikrar. "Kami berikrar membela Aceh di bawah Wali Negara Daud Beureu-eh," kata Hasan. Begitulah, ringkas cerita, pecahlah pemberontakan yang diproklamasikan 21 September 1953. "Pemberontakan Aceh itu memang cukup berat," kata Jenderal (pur) A.H. Nasution. "Sebab, terjadi bersamaan dengan PRRI, serta Permesta di Sulawesi Utara," tambahnya. "Dan, sialnya, Hasan Saleh itu ternyata memakai buku Pokok-pokok Perang Gerilya karangan saya." Akan tetapi, menurut Nasutlon, pendekatan yang dipergunakan ialah, "Lebih dulu memperhatikan aspirasi daerah. Karena itu, Aceh kemudian dijadikan Kodam tersendiri." Ada surat Daud Beureu-eh, kata Nasution, yang meminta agar Aceh diberi otonomi penuh dengan menjalankan syariat Islamdi Aceh. "Saya jawab, itu tidak bisa. Sebab, sudah ada undang-undang yang mengatur otonomi daerah," kata Nasution. Menurut Hardi, dalam biografinya, pemerintah pusat sejak mula telah bersikap, menyelesaikan pemberontakan DI/TII di Aceh itu, dengan jalan damai atau pun bersenjata. Lantas dibentuklah Misi Pemerintah yang beranggotakan 30 orang, di antaranya, Wakasad Mayjen Gatot Subroto. Misi ini disebut Misi Hardi, karena diketuai Hardi, yang kala itu adalah wakil perdana menteri. Pada 23 Mei 1959 itu tibalah Misi yang disambut dengan meriah. Sebelum perundingan, Hardi sempat meninjau ke asrama-asrama Tentara Islam Indonesia. "Selama peninjauan keliling, saya berhadapan dengan pasukan TII yang jumlahnya ketika itu sekitar 40.000 orang," tulis Hardi. Hardi sendiri bersyukur sempat lebih dulu menyaksikan "pemandangan" kekuatan itu, sebelum berunding. Akhirnya, Hardi mengeluarkan Keputusan Perdana Menteri yan isinya, menjadikan Aceh sebagai daerah istimewa, dan memberikan otonomi seluasluasnya, terutama dalam lapangan keagamaan, peradatan, dan pendidikan. "Ini berarti misi pemberontakan sudah selesai," kata Hasan Saleh. Hasan Saleh turun gunung 25 Juli 1959, meninggalkan Daud Beureu-eh. Maka, inilah akhir pemberontakan yang unik. Pemberontakan ini memang berakhir dengan damai. Ia lebih merupakan hasil permusyawaratan ketimbang kekalahan militer. Tak ada tokoh penting yang ditembak mati. Kecuali itu, "Mereka yang tadinya pegawai pemerintah, dipekerjakan kembali, dan gajinya bahkan dibayar rapel," kata Hasjmy. "Hasan saleh sendiri, pangkatnya dinaikkan dari kapten menjadi letkol." Bahkan, menurut Nasution, Hasan juga kemudian mendapat 1.750 ha tanah perkebunan. Hasan lantas mengelolanya menjadi perkebunan teh, yang hasilnya diekspor. Usaha itu kini bernama PT Lam Teh. Dan, Daud Beureu-eh sendiri? Ulama terkemuka itu, akhirnya, juga turun gunung pada 1962, setelah 9 tahun memberontak. Kini, tokoh yang pernah "diajak jalan-jalan" ke luar negeri oleh pemerintah menjelang Pemilu 1971 itu kini berkali-kali berkata "Sekarang tak lagi masanya macam-macam." Pesannya ialah, "Jika Presiden Soeharto ada salah, jangan terus berang. Tapi berilah nasihat yang baik," kata Daud Beureu-eh, seperti dituturkan T. Bordansyah, 63, bekas "juru bicara" DI/TII Aceh kepada Bersihar Lubis dari TEMPO. Saur Hutabarat, Laporan Toriq Hadad & Ahmed Soeriawidjaja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus