SAYA baru membudidayakan seribu ekor bekicot," kata Lebao, 63 tahun. Usaha yang masih kecil-kecilan itu dimulainya sejak dua bulan lalu. Kini bekicot yang dipeliharanya di lahan 2 x 2 meter itu mulai bertelur. Pensiunan ABRI asal Bugis yang taat melaksanakan salat lima waktu ini adalah petani yang sudah lama menetap di Desa Candirejo, Kecamatan Ungaran, Jawa Tengah. Lebao tertarik beternak bekicot karena mendengar Tan Bun Jan di Semarang, yang membeli binatang lembek tak bertulang itu Rp 1.000 seember, untuk bibit di peternakannya. Lebao bukan sendiri. Teman-temannya yang beternak serupa ada pula di Brongkol dan Bedono, dua desa di Kecamatan Jambu, Ja-Teng. Sedangkan di Ringinharjo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, ada Soemarjo. Lelaki berusia 52 tahun ini pengolah daging bekicot sejak 1978. Ketika merintis usahanya, Soemarjo, yang rajin salat lima waktu itu, mengolah 50 kg bekicot. Setelah daging itu kering, lalu ia kirim ke Kediri. "Waktu itu yang menampung hanya orang Kediri yang membuka warung sate bekicot," kata ayah enam anak itu. Setelah usahanya maju, setiap pekan dia melego daging bekicot kering, dan bisa dibikin kerupuk, rata-rata 0,5 ton ke Ja-Tim dan Jakarta. Ia beli bekicot utuh dari si pencari atau peternaknya, per kilo Rp 100. Selesai diolah, dijualnya Rp 2.500 sekilogram. Ia sendiri tak doyan bekicot, kecuali sebagai obat, ketika dulu tubuhnya gatal-gatal. Ia berhenti memakannya setelah penyakitnya itu sembuh. Namun, sekarang Soemarjo bingung. Sebagai jemaah NU (Nahdlatul Ulama) yang harus nurut pada fatwa kiainya, mungkin bisnisnya itu tak lama lagi padam. Bila usahanya dihentikan, katanya pada wartawan TEMPO Slamet Subagyo, "saya akan mencari usaha lain, padahal selama ini-berdagang bekicot sangat menguntungkan." Soalnya, sebuah fatwa tentang bekicot telah lahir. Itu hasil pertemuan keagamaan (bahtsul masail), 2-3 Desember lalu di Pondok Pesantren Aries Kaliwungu, Kendal, Ja-teng, yang dihadiri 32 utusan dari cabang NU dan ratusan santri. "Haram memakan dan membudidayakan bekicot," begitu isi fatwa yang dirumuskan 90 kiai NU itu. Walau fatwa ini dikeluarkan di Jawa Tengah, nanti akan berlaku untuk umat NU di seluruh Indonesia. Sebab, ketika disusun, fatwa mendapat keabsahan dari dua anggota PB NU. K.H. Sahal Mahfud dan K.H. Rodhi Saleh. Mereka hadir dalam pertemuan dua hari tadi. Awalnya bertolak dan usul cabang NU Salatiga, karena umat di sana ramai menanyakan status fikih keong darat yang membawa rumahnya ini. Apalagi setelah tersiar acara Dari Desa ke Desa di TVRI beberapa bulan lalu tentang suksesnya budidaya bekicot di Kediri, Jawa Timur. Bahkan ada seorang kiai, konon dari NU, asal dari Desa Ploso, Kediri, berfatwa pula bahwa bekicot itu halal. "Banyak umat menanyakan hukum memakan, membudidayakan, dan mempersoalkan status uang hasil penjualan bekicot," kata Drs. Ahmad Adzro'ie, 55 tahun. Tapi karena secara organisasi di NU berlaku tradisi menaati hasil musyawarah para ulamanya, lalu rais NU Salatiga itu membawa pertanyaan tersebut ke pertemuan di Kaliwungu. "Jadi, cukup relevan bila fikih terhadap bekicot itu dibahas. Para ulama NU mengingatkan kembali umatnya," kata Drs. Ahmad Buchori Masruri, wakil Ketua Pengurus Wilayah NU Ja-Teng. Dasar fatwa dipungut dari ijtihad para musjahid: Ijtihad itu meliputi berbagai aspek kehidupan, selain untuk menjawab permasalahan sekarang, bahkan juga untuk yang akan datang. Apalagi soal haram memakan dan membudidayakan bekicot tak ada dalam Quran dan hadis Nabi. "Sedangkan menggali langsung ke Quran, itu diperlukan syarat ilmiah yang banyak sekali. Ini tak dikuasai oleh ulama sekarang," ucap Kiai Ahmad Buchori. "Dan bila dipaksakan, kami khawatir melahirkan paham sesat." Lalu dicarilah jalan pintasnya dengan merujuk ke kitab-kitab fikih mazhab Syafii (lihat: 27 Tahun Kemudian). "Fatwa ini memang untuk yang bermazhab Syafii, khususnya warga NU," ujarnya lagi. Dalam mazhab ini, bekicot digolongkan binatang hasyarat, hewan melata yang menjijikkan. Imam Hanafi juga berpendapat serupa dengan Imam Syafii. Bahkan ia memberi contoh ukuran jijik untuk dimakan itu bertolak dari naluri seseorang. Binatang hasyarat, di samping bekicot, menurut Imam Syafii, tikus, ular, kodok, kalajengking, semut. Tapi mencari hukum untuk bekicot apa bukan karena ada masalah ikhtilaf alias perbedaan persepsi di antara ulama? Jawaban Ahmad Adzro'ie, karena itu bukan prinsip, pendapat demikian bisa saja keliru. "Namun, Allah masih memberi pahala satu. Sedangkan kalau ijtihadnya benar, Allah memberi pahala dua," katanya berkalkulasi. "Jadi, tak soal bila orang beda pendapat dalam ijtihad. Apalagi dalam hadis disebutkan, selisih pendapat itu rahmat, bukan perpecahan." Memang ada bedanya. Syafii mengharamkan bekicot dimakan, plus dibudidayakan. Tapi Hambali, yang juga mengharamkan daging itu dimakan, membolehkan menernakkan bekicot untuk konsumsi hewan, membuat pupuk, dan untuk obat. Ia malah setuju dijual kepada non-muslim. Sedangkan menurut Maliki, bekicot halal dimakan, dan uang dari budidayanya halal pula. Alasannya: untuk kepentingan manusia. Maliki memang bermahzab ringan, seperti ia mengiyakan "unsur" babi dan anjing, kecuali dagingnya diharamkan dimakan. Ternyata, untuk bekicot saja, Imam Syafii tak mencla-mencle atau berkompromi. Sedangkan mayoritas umat NU, kata kiainya, sejak di zaman Walisongo hingga sekarang tetap mengikuti mazhab Syafii. Apa ada di antara mereka yang bakal menukar mazhab agar aman membudidayakan bekicot dan "halal" memakannya? Karena hukum bekicot itu bersifat far'i (ranting), dalam musyawarah di Kaliwungu, para kiai juga mencari keringanan untuk umat yang tidak sejalan dengan mazhab Syafii. Artinya, demi bekicot, sesama umat tak akan ada pengkotakan, walau oke pindah mazhab. "Dan itu kalau diperlukan, ia harus memenuhi persyaratan, dan jangan ragu-ragu. Ibadat yang ragu-ragu tak boleh," ujar Ahmad Adzro'ie, yang ikut dalam tim perumus fatwa itu. Dan agar tidak di posisi meragukan atau syubhat, lalu syaratnya apa? Jangan main talfiq, menggampangkan saja. Bila sudah tunduk ke mazhab Syafii, syaratnya dikerjakan. Dan jika mengikuti mazhab Hanafi atau Maliki, kerjakan menurut yang disyaratkan oleh mazhab itu. "Jangan dipotong-potong, untuk mengambil yang ringannya saja. Itu tidak dibolehkan," ujarnya. Tapi dalam tubuh NU selama ini memang kompak dalam mazhab Syafii. Di anggaran dasarnya juga jelas: organisasi menetapkan pilihan satu dari empat mazhab. Justru itu, menurut perkiraan Ahmad Adzro'ie, hambatannya akan besar sekali bila ada warga NU yang pindah mahzab, selain tetap di mazhab Syafii. Bagaimana dengan Lebao? Walau warga NU, Lebao belum memastikan mengalihkan mazhab untuk mengamankan budidaya bekicot yang sudah dirintisnya. Dan dia optimistis, akan berhasil. Berarti akan terus, setelah ada yang sebut bahwa bekicot "halal" dan bakal jadi komoditi nonmigas. "Tapi setelah adanya fatwa itu, bagi yang telanjur membudidayakan bekicot, tentu mereka akan menarik diri dari usahanya itu," begitu dugaan Ahmad Adzro'ie. Maksudnya, fatwa tersebut mustahil meresahkan umat NU. "Garisnya sudah jelas," katanya. Bekicot berubah tak halal. Zakaria M. Passe dan B. Amirudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini