Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

27 tahun kemudian

Fatwa yang menyatakan bekicot haram dimakan, sebenarnya telah dibuat th 63. kini, beberapa kitab fikih dikaji. para kiai menakar "jijik" dari arab karena hukum islam dari sana. timbul beberapa tanggapan.

17 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FATWA lahir karena ada yang belum terinci ketentuannya. Bukan seperti linkungan hukum yang sudah jelas dan otentik, seperti tercantum dalam Quran dan Sunah Nabi. Sedangkan yang disebut dalam Quran, yang diharamkan dimakan hanya daging babi, darah, bangkai, dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah. Karena itu, para kiai NU yang berkumpul di Kaliwungu merujuk sejumlah kitab fikih mazhab Syafii, sebelum melahirkan fatwa tentang bekicot. Kitab-kitab yang dikaji: Majmu' Syarab Muhadzdzab, Rahmat al-Ummah, Mizan karya Sya'roni, dan al-Fqhu 'Ala al-Madzahib al-Arba'a. Soal bekicot haram dibudidayakan diambil dari Hayat al-Hayawan jilid I, Hasyiyah I'anah al-Thalibin, jilid III, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Muhadzdzab, jilid I, dan Kifayat al-Ahyar, jus I. Sambil membolak-balik kitab-kitab tadi, para kiai tersebut menakar "jijik" itu menurut "perasaan" orang Arab. Kenapa bukan bangsa lain yang Islam, padahal agama ini universal? "Orang Arab secara keseluruhannya sudah memiliki kepribadian, tak sok suci dan tidak jorok," ujar Ahmad Buchori Masruri, Wakil Ketua PW-NU Ja-Teng. Orang Arab, selain moderat, juga sudah memiliki peradaban sejak dulu. "Kita belum kenal sikat gigi, sejak tahun 700 Masehi bangsa Arab sudah mengenalnya," ucap kiai itu pada Bandelan Amiruddin dari TEMPO. Bila diambil contoh dari bangsa lain, malah ada yang melarang makan daging sapi. Padahal, dalam Islam, daging hewan itu boleh dimakan. Ada tambahannya. Sebabnya jijik Arab yang dipakai mendukung lahirnya fatwa itu, kata K.H. Ahmad Adzro'ie, karena sumber hukum Islam dari Arab. Sedangkan menentukan jijik itu juga ada persyaratan yang sehat. "Yaitu, penelitian atau lewat ijtihad para ahli. Bukan menurut selera sementara orang," kata Wakil Ketua Robithah Ma'ahid Islamiyah Ja-Teng itu. Lain Mochtar Adam, pimpinan Pesantren Babussalam Bandung, yang juga dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad. Ia mengkritik kitab-kitab yang terlalu melihat al-khabaist (sesuatu yang menjijikkan) itu dari segi zatnya, dan cuma dari segi aspek makanan (ma'kulat) saja. Dan senada dengan Mohtar adalah Ghozic A. Qadir Hassan. Kata pimpinan Pondok Pesantren Persis, Bangil itu, untuk menentukan halal dan haram, ia mengambil mana yang lebih berat dan lebih kuat, thariqatut tarjih. "Di Quran binatang yang diharamkan itu babi," ujarnya pada Herry Mohammad dari TEMPO. Karena itu, kalau tidak ada nasnya yang jelas, kembalikan saja pada hukum asalnya. Ini menurut Mu'ammal Hamidy, Direktur Pesantren Ahli Fikih, Bangil. Caranya? "Kalau asalnya halal, ya halal, dong," ucapnya. Seperti bekicot. Bila seseorang memakannya lalu mengundang efek yang tak baik, misalnya gatal dan merusakkan anggota tubuh, maka bekicot haram baginya. "Tapi ini tidak berlaku kepada semua orang," kata Mu'ammal. Apalagi kalau itu menekankan pada perasaan kedaerahan, suku, puak. Repot. "Belut itu di daerah tertentu menjijikkan, di Parahiyangan justru makanan lezat," kata Mochtar. "Kalau Allah tidak menjelaskan, maka setiap orang nanti akan membuat kriteria khabaist itu sendiri-sendiri." Dalam Quran mengenai "jijik" itu ada di ayat al-A'raf. Tapi menurut Dr. Peunoh Dali, dekan Fakultas Syari'ah IAIN Jakarta, walau masyarakat di Arab tak mengenal bekicot, sifat yang menjijikkan itu berlaku umum. "Sama dengan ular, kodok, atau kepiting, menurut saya, bekicot juga haram dimakan," kata anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah itu pada wartawan TEMPO Tommy Tamtomo. Dan ngomong-ngomong, bagaimana agar umat tak bingung bila ada simpang siur yang mengatakan halal bekicot, kemudian ada fatwa mengharamkan? "Saya kira, bisa terjadi begitu," kata Ali Yafie dari Syuriah NU. "Hanya saja, kalau mengerti posisi dari fatwa itu, dia tak perlu bingung." Memang. Apalagi 27 tahun sebelum fatwa di Kaliwungu, pada 30 Mei 1961, dengan Fatwa Nomor XII, Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara' (MPKS) Departemen Kesehatan RI sudah mengharamkan bekicot dimakan. Lahirnya fatwa itu bukan dirangsang siaran di TVRI, tapi dari Dokter Sjatar Malik, Pimpinan Dinas Kesehatan Rakyat Wonogiri, Jawa Tengah. Dokter Malik, 21 Juni 1960, mengirim surat ke MPKS, karena ada guru di Wonogiri mengerahkan muridnya selama 3 hari membunuh bekicot 59 ribu ekor. Timbul ide, ketimbang bekicot habis dibunuh lalu dibuang, bagaimana kalau dimakan saja? MPKS pimpinan Dr. Med. Ahmad Ramali, setelah 45 kali sidang (112 1/2 jam) bersama para ahli, sembari merujuk sejumlah kitab fikih, tafsir dari mazhab Syafii, Hanafi, Hambali, dan Imam Daud, mengeluarkan fatwa: bekicot atau keong darat tak boleh dimakan. Ini sama seperti haram memakan tikus (Fatwa Nomor XV, 27 Agustus 1963). Hanya MPKS tak menyinggung budidaya bekicot diharamkan. Tapi implikasi pengharaman itu tidak sulit dirujuk. Menurut Quran dan Nabi, bila Allah mengharamkan memakan sesuatu, Dia juga mengharamkan hasil bisnisnya. Contoh, minyak bangkai yang diperdagangkan Yahudi, lalu diingatkan Nabi pada sahabat. ZMP dan Heddy Susanto (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus