Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Elang emas mengurai unsur

Dalam tulisannya, h. joesoef sou'yb, 73, dosen 2 universitas islam di sumatera, menyimpulkan bahwa unsur kimia dasar yang terurai dari babi, halal. sejumlah ulama menentang analogi joesoef yang dinilai salah.

17 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USAI ribut isu lemak babi dalam makanan, kini muncul tilikan baru. Haji Joesoef Sou'yb, 73 tahun, dosen Universitas Islam Sumatera Utara dan Universitas Muhammadiyah Medan ini, menyorot aspek unsur kimiawi dari babi yang "sudah tidak dijangkau oleh hukum haram sepanjang Syariat Islam". Dalam tulisannya Ragam Paduan Menimbulkan Ragam Efek di Panji Masyarakat (1-10 Desember) ia menyimpulkan: unsur kimia dasar yang terurai dari babi adalah halal. Tulisannya itu lahir setelah dia menyimak artikel Dr. Ir. H. Abdul Aziz Darwis, M.Sc., yang juga dimuat majalah tersebut pada 11 November lalu. Dengan judul Shortening, Lard, dan Gelatine, Kepala Laboratorium Teknologi Kimia Jurusan Teknologi Industri di Institut Pertanian Bogor itu menulis hal pangan yang diolah dari unsur kimiawi yang mengambil bahan babi. Tapi, berdasarkan kaidah fikih, sesuatu yang asalnya dari yang haram, hukumnya tetap haram. Kemudian Aziz berkesimpulan: ketiga bahan makanan tersebut haram pula hukumnya. Tapi menurut logika Joesoef Sou'yb, kaidah fikih yang dimaksud oleh Azis itu sebenarnya sudah bertentangan dengan kenyataan. Lalu ia memisalkan logikanya dengan terjadinya perubahan hukum halal air nira, tapi haram setelah benda itu berubah ke tuak, dan halal lagi bila beralih jadi cuka. Menurut pemimpin redaksi almarhum koran organ Masyumi, Lembaga, dan mendiang majalah mingguan berita Waktu, yang dulu terbit di Medan itu, perubahan hukum ini karena terurainya unsur kimia nira-tuak-cuka, dalam proses alamiah. "Perubahan paduan unsur-unsur, baik secara mekanis maupun alamiah, merombak ketetapan hukum Islam," ujar Joesoef. Tuak disebut "tuak" karena mengandung paduan unsur kimia tertentu. Begitu pula halnya dengan cuka. Disebut "cuka" karena sudah dipadukan unsur kimia tertentu pula. Lalu bagaimana dengan babi? Menurut logika Joesoef, itu sama saja, alias setali tiga uang. Daging babi (yang sudah jelas haram dalam Quran), bila telah diurai ke unsur-unsur, bukan lagi "daging" tetapi namanya sudah menjadi "unsur ini" dan "unsur itu" -- yang pada asalnya konstan, tidak berubah ke haram atau halal. Joesoef, yang menguasai 5 bahasa asing -- antara lain Inggris, Arab, dan Prancis -- mengakui menganut Mu'tazilah, aliran rasional dalam Islam yang mengagumi logika. Aliran ini redup ketika ulama mengharamkan logika, sejak abad ke-13 Masehi. Namun kesimpulan penulis cerita detektif Elang Emas di Kota Medan di tahun 1940-an ini ditentang oleh sejumlah ulama. Dedy Rachman dari Persatuan Islam (Persis) Bandung, misalnya, menonjok Joesoef Sou'yb dengan menuding "berpikiran dangkal". Logikanya menceng. Joesoef, kata Dedy kepada Hasan Syukur dari TEMPO, menggunakan qiyas (analogi) tidak pada tempatnya. Dan seperti kata Imam Syafi'i ulama hukum abad ke-8 Masehi, dalam kitabnya al-Risalah, analogi hanya berlaku ketika menentukan perkara yang tak diputus tegas di Quran dan Sunah. "Sedangkan ayat tentang babi sudah tegas, paten, dalam Quran. Jadi, tidak bisa dikiaskan lagi," ucap Rachman. Dr. Peunoh Dali, dekan Fakultas Syari'ah IAIN Jakarta, ikut menimpali, "Sejak lahir, babi adalah babi, bukan kambing." Anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia itu mengatakan pada Tommy Tamtomo dari TEMPO, hingga saat ini belum ada alat di laboratorium yang dapat menjadikan daging babi bukan daging babi. Lard serta gelatin? Benar, itu diambil dari sari babi. Namun, apa perlu digugat lagi bila sejak dari sononya babi itu malang karena dihukum haram? Bahkan menurut Mu'ammal Hamidy, Direktur Pesantren Ahli Fiqih, Bangil Ja-Tim, babi itu, ya, tetap babi juga, walaupun sedikit dan diubah unsurnya. Lebih dari itu, Mu'amal, yang menulis 40 buku agama, juga menilai menceng logika yang dipakai Joesoef -- lulusan Tarbiyah Islamiyah Bukittinggi dan sudah mengarang 35 buku. Air nira berubah jadi tuak, lalu cuka, menurut Mu'ammal, itu setelah proses alami: atas kehendak Allah juga adanya. Adapun daging babi berubah jadi lard, itu setelah melalui proses mekanis di tangan manusia. "Hukum benda yang diproses secara alami berbeda dengan yang secara mekanis," katanya pada Herry Mohammad dari TEMPO. Dr. Satria Effendi, dosen Ushul Fiqh IAIN Jakarta, menilai idem dito. Babi, kata lulusan Universitas Umm al-Qura Mekah itu, haram berdasarkan esensinya. Jadi, tak bisa diubah. Begitu pula dengan bangkai. Walau murah dibeli, itu tetap haram, karena Allah telah mengharamkannya dalam Quran. "Soal mengapanya, tidak bisa kita menanya," katanya. Sedangkan tuak atau khamar menjadi haram karena mengandung unsur memabukkan. Bila unsur itu lenyap lewat proses perubahan, ke cuka, maka hukumnya jadi halal. Tapi logika analogis antara hukum berubahnya babi ke unsur dan berubahnya tuak ke cuka tidak sama. Apalagi dengan adanya hadis Nabi bahwa arak itu tidak boleh dibikin cuka. Ulama fikih ada merinci hukum benda yang berubah wujud ke yang lain. Tuak yang murni, misalnya, haram diminum. Tapi begitu dicampur dengan air putih, hukumnya berubah. Begini: kalau air campurannya banyak sehingga tidak mengubah bau, rasa, atau warna serta pengaruhnya, maka hukum tuak beralih dari haram ke halal. Yang lain disebut istikhalah. Yaitu, perubahan benda ke yang lain, dengan sendirinya, tanpa keterlibatan manusia. Misalnya, ulat menjadi kepompong, atau tuak berubah ke cuka, itu secara alamiah. Hukumnya adalah halal. Tapi kalau tuak dibumbui ragi atau zat kimia lain, sehingga dalam waktu tertentu berubah ke cuka, maka hukumnya tetap haram. "Karena ada upaya manusia," kata K.H. Ali Yafie pada Ardian Taufik Gesuri dari TEMPO. Ini berlaku pada perubahan babi menjadi unsur lainnya. Lard, contohnya, bahan makanan yang dibuat dari daging babi, hati, dan jeroannya. Menurut Aziz Darwis dalam tulisannya yang disebut tadi, caranya ada dua. Pertama, dengan penguapan (steam) bertekanan. Kedua, diolah di ketel, kemudian hasilnya dicampur dengan karbon aktif, diaduk, dan disaring. Untuk meningkatkan mutunya, hasil saringan ini ditambah dengan sodium bikarbonat atau sodium hidroksida. Jadi, dalam seluruh prosesnya, upaya manusia tak dihindarkan. Karena itu, hukum lard kembali ke asal-muasal hukum babi: ya haram. Tapi Ali Yafie menyebutkan bahwa apa yang dilontarkan Joesoef Sou'yb itu menggugah pemikiran. "Mungkin ini titik awal suatu pembahasan baru," kata dosen fikih di Universitas Islam Assyafi'iah Jakarta itu. Apa Elang Emas tua ini cuma menguji? Ahmadie Thaha (Jakarta), Irwan E. Siregar (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus