Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Penyidik akan mengagendakan pemeriksaan terhadap Inspektur Jenderal Ferdy Sambo menggunakan mesin poligraf atau alat lie detector. Mesin tersebut diklaim memiliki tingkat akurasi 93 persen untuk mendeteksi kebohongan orang yang diperiksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Divisi Hubungan Mabes Polri Inspektur Jenderal, Dedi Prasetyo, mengatakan pemeriksaan dengan mesin poligraf itu akan dilakukan oleh tim Pusat Laboratorium Forensik Polri. Metode serupa juga digunakan untuk memeriksa istri Sambo, Putri Candrawathi, dan pembantunya yang bernama Susi. "Hasil pemeriksaan merupakan bagian dari kewenangan penyidik karena itu pro-justitia atau demi hukum," ucap Dedi, kemarin, 7 September.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keterangan tersangka yang didapat dari mesin poligraf, kata Dedi, merupakan bagian dari alat bukti. Bukti tersebut setara dengan kerja-kerja kepolisian bersama Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) dalam mengautopsi jenazah Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Pemeriksaan menggunakan mesin poligraf juga sudah memenuhi standar internasional serta telah diakomodasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai bagian dari pengumpulan alat bukti.
Mantan Kepala Divisi Propam, Irjen Ferdy Sambo (kiri); dan sang istri, Putri Candrawathi, saat mengikuti rekonstruksi kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J atau Yosua Hutabarat di Duren Tiga, Jakarta, 30 Agustus 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Markas Besar Polri sebelumnya menetapkan Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi sebagai tersangka pembunuhan berencana Brigadir Yosua. Ferdy dan Putri diduga mengeksekusi Yosua dengan dibantu Brigadir Kepala Ricky Rizal, Kuat Ma’ruf, dan Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu. Kecuali Eliezer, mereka dijerat dengan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana dan Pasal 338 tentang pembunuhan juncto Pasal 55 dan 56 tentang penyertaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan Eliezer tidak dikenai Pasal 340 KUHP.
Khusus terhadap Ferdy Sambo, penyidik telah menetapkannya sebagai tersangka dalam perkara obstruction of justice (perintangan penyidikan). Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) terhadap Ferdy yang dilihat Tempo, bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri itu mengakui telah memerintahkan Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan mengambil digital voice recorder (DVR) kamera pengawas (CCTV) di sekitar Kompleks Polri Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan. Bahkan salah satu anak buahnya yang telanjur melihat isi rekaman CCTV itu diancam dan diperintahkan tutup mulut.
Hendra terlibat dalam obstruction of justice setelah diminta datang ke Duren Tiga oleh Ferdy. Saat itu Hendra sedang memancing di kawasan Pantai Indah Kapuk. "Kasus, nih. Ajudan tembak-tembakan, satu meninggal," kata Ferdy kepada Hendra melalui sambungan telepon.
Ketika Hendra tiba di Duren Tiga, Ferdy menceritakan tentang pelecehan seksual yang dilakukan Yosua terhadap Putri. Perbuatan itulah yang kemudian memicu baku tembak antara Yosua dan Bharada Richard Eliezer. Kepala Biro Provos Polri Brigadir Jenderal Benny Ali, yang juga sudah datang ke tempat kejadian itu, ikut mendengarkan cerita Sambo tersebut. Cerita inilah yang awalnya disampaikan kepada publik, tapi belakangan dibantah oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Tersangka Brigadir Kepala Ricky Rizal (tengah) saat mengikuti rekonstruksi kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J atau Yosua Hutabarat di Duren Tiga, Jakarta, 30 Agustus 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Seali Syah, pengacara sekaligus istri Hendra Kurniawan, menyebutkan kliennya tidak bersalah. Ia menuduh kepolisian sengaja mencari kambing hitam dengan mengorbankan orang-orang yang tak bersalah, termasuk suaminya. "Suami saya hanya menjalankan perintah kedinasan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab," kata Seali melalui surat yang dilayangkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada 23 Agustus lalu.
Ibu empat anak ini diselimuti ketakutan luar biasa untuk bersuara dan menyampaikan kebenaran. Sejak Hendra ditahan, Seali tidak bisa menemuinya, bahkan untuk sekadar berbincang melalui telepon. "Saya menulis ini tentu dengan segala risiko mendapat peringatan halus, teguran, bahkan ancaman," kata Seali dalam suratnya.
Dalam surat itu, Seali juga menyinggung soal tuduhan obstruction of justice terhadap suaminya. "Saya sudah menyampaikan secara lisan isi dari BAP kode etik. Suami saya hanya memerintahkan untuk melakukan screening dan mengamankan (bahasa taktis dalam Polri)," Seali mengungkapkan. "AKBP Ari Cahya, karena tidak ada di Jakarta, memberikan perintah kepada AKP Irfan untuk amankan dan selanjutnya petunjuknya adalah diserahkan ke penyidik."
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, menyebutkan orang-orang yang berkelindan dalam obstruction of justice kasus kematian Yosua adalah orang-orang dekat Ferdy Sambo dalam tim Satuan Tugas Khusus Merah Putih. "Satu di antaranya Kepala Sub-Unit I Sub-Direktorat III Direktorat Tindak Pidana Umum, Ajun Komisaris Irfan Widyanto, yang kini menjadi tersangka," ucap Sugeng.
Menurut dia, semestinya Irfan tidak memiliki tanggung jawab dalam mengamankan tempat kejadian perkara pembunuhan Brigadir Yosua. Termasuk berperan dalam pengambilan rekaman kamera CCTV di sekitar lokasi. Menurut dia, hal itu terjadi karena perkoncoan di Satgas Khusus Merah Putih sangat kuat untuk saling membantu. Karena itu, Sugeng juga mendesak kepolisian mengevaluasi kinerja satgas tersebut.
AVIT HIDAYAT | EKA YUDHA SAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo