Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gabah Murah, Beras Melimpah

Pemerintah menetapkan harga dasar gabah kering giling (GKG) untuk memperbaiki kondisi petani. Tapi harga itu masih sulit dicapai, karena mutu gabah tak terpenuhi. Kredit ditingkatkan.(nas)

16 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK setiap tahun, petani harus mengejar angka inflasi. Tahun depan misalnya, harga dasar gabah kering giling (GKG) yang dibeli KUD dari tangan petani, pekan lalu, diputuskan tidak naik: tetap Rp 175 per kg. Sejak diberlakukan Februari lalu, harga dasar itu sesungguhnya sudah dimakan inflasi hampir 4%. Jika tingkat harga pembelian GKG itu dipertahankan setahun lagi, nilai nyata harga dasar itu jelas makin berkurang. Tentu pemerintah tidak punya keinginan sama sekali untuk membikin melarat petani. Justru dengan penetapan harga dasar, yang selama ini hampir selalu dinaikkan setiap tahun itu, injeksi terhadap daya beli petani dan merangsang produksi sekaligus dilakukan. Sialnya, usaha menginjeksi daya beli itu, tahun 1985 ini, banyak tidak kesampaian. Pembelian gabah oleh KUD ternyata jarang yang bisa mencapai harga dasar, karena mutu gabah petani dianggap tidak memenuhi syarat - rata-rata Rp 50 sampai Rp 75 di bawah harga GKG. Terlalu banyaknya curah hujan di awal tahun ini menyebabkan kandungan air gabah kering panen petani berada di atas batas 14%. Kadar gabah hampanya juga banyak yang lebih dari 3%. Pendeknya, syarat untuk bisa mencapai harga dasar bagi GKP itu ada yang tidak dipenuhi. Karena latar belakang itu, harga dasar gabah tahun depan tidak dinaikkan seperti biasanya. Dengan cara itu, "Pemerintah berusaha agar harga dasar tadi bisa dicapai," kata Menteri Keuangan Radius Prawiro. "Sebaliknya, supaya harga membaik, petani harus memperbaiki mutu gabahnya." Masuk akal juga alasan itu. Bagi otoritas moneter sendiri, di pihak lain, tidak dinaikkannya harga dasar itu mungkin bisa dianggap cukup baik untuk membatasi laju pertambahan uang beredar. Sebab, salah-salah, pertambahan uang beredar milyaran rupiah di tengah belum cerahnya prospek penerimaan migas tahun depan itu, boleh jadi, malah bisa menambah inflasi. Kalau itu terjadi, maka usaha untuk meredakannya malah akan lebih mahal harganya. Tidak dinaikkannya harga dasar itu, tentu, akan menyebabkan pembiayaan pengadaan pangan tidak akan meroket, apalagi harga dasar jagung dan kedelai juga tidak dinaikkan. Tahun berjalan ini, pengadaan pangan oleh Bulog dan KUD, masing-masing, bakal menyerap Rp 1.496 milyar dan Rp 56 milyar lebih. Sampai Oktober lalu, keduanya masing-masing sudah mengambil Rp 1.233 milyar dan hampir Rp 40 milyar. Menurut Kamardy Arief, Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI), kredit pengadaan pangan untuk kedua lembaga tadi, tahun depan, dianggarkan akan naik sekitar 10% - terutama karena produksi padi masih bakal naik. Kenaikan sebesar itu sengaja dibuat, "Supaya pembiayaan dari kami terasa agak longgar," katanya. Kelonggaran alokasi serupa, tentu, juga akan diberikan terhadap Puskud (Pusat KUD), yang turut serta dalam program pengadaan pangan nasional. Secara akumulatif, jumlah pembiayaan pangan yang telah disalurkan BRI untuk KUD, Puskud, dan Bulog sampai kini ditaksir lebih dari Rp 2 trilyun. Bagian terbesar dari kredit itu, sekitar Rp 1,7 trilyun di antaranya, diserap oleh Bulog. Dan sebagian besar dari pinjaman Bulog itu kini teronggok dalam wujud gabah kering giling dan beras 3,5 juta ton, yang tersebar di puluhan gudang Bulog dan swasta. Yang merisaukan Bulog, persediaan gabah dan beras sebesar itu perputarannya sangat lambat. Karena produksi di luar melimpah, dan Bulog hampir tak melakukan operasi pasar terbuka dengan mengeluarkan beras dari gudang, maka persediaan sebesar itu praktis hanya ngendon di gudang. Selama hampir dua tahun ini, tak sekilo pun beras maupun gabah dari stok operasional (1,5 juta ton), stok surplus (satu juta ton), dan iron stock (satu juta ton) miliknya keluar dari gudang. Biasanya, ketika sekitar dua tahun lalu Indonesia masih mengimpor beras, stok operasional itu jumlahnya selalu turun naik. Jumlahnya akan berkurang jika Bulog suatu saat harus melakukan operasi pasar terbuka untuk meredakan kenaikan harga di pasar lokal. Sebaliknya akan naik, kalau pasar lokal mendadak saja dibanjiri gabah dan beras sesudah panen raya. Tapi yang kini terjadi adalah yang terakhir, karena produksi gabah petani bagai tak mau berhenti mengalir. Sementara itu, karena harga beras di pasar internasional lebih murah, maka beras surplus satu juta ton juga sulit dijual. Kalaupun usaha ekspor dipaksakan, kata Kepala Bulog Bustanil Arifin di DPR September lalu, masuknya beras Indonesia setiap 100 ribu ton itu akan menurunkan harga beras internasional US$ 5 per ton. Tapi ketika diwawancarai TVRI, Senin pekan ini, Bustanil menyatakan siap mengekspor berasnya dua juta ton. "Karena dua bulan lagi kita akan panen," katanya. Mungkin beras itu harus dijual di bawah harga pokok, supaya konsumen di luar mau membelinya. Apa boleh buat, pemerintah mungkin perlu memberi subsidi jika tak ingin melihat perputaran dana Bulog makin mandek. Usaha ekspor itu agaknya perlu juga dilakukan untuk menciptakan perputaran gabah dan beras lebih baik lagi - hingga beras yang tersimpan selalu beras terbaru. Dengan begitu, beras untuk pengaman berupa stock iron, yang jumlahnya tiap tahun harus dipertahankan satu juta ton, bisa dibikin segar pula. Tentu saja, langkah itu juga akan membantu perputaran dana Bulog. Sebab, bunga pinjaman yang harus dibayarnya tiap bulan adalah Rp 6 milyar. Jadi, kalau Bulog, misalnya, tak menjual berasnya, maka bisa-bisa kewajiban membayar bunga itu bisa tak terpenuhi. Syukur, sejauh ini, pembayaran bunga atas kredit modal kerja berbunga 6% setahun yang pernah dikeluhkan terlalu tinggi itu ternyata lancar-lancar saja. "Kelihatannya Bulog cukup solid," kata Dirut BRI Kamardy Arief. "Bunga yang diberlakukan (dibandingkan bunga komersial yang 18%) tampaknya cukup wajar." Eddy Herwanto Laporan Yusroni Henridewanto & Bambang Harymurti (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus