Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Potret Di Sana Potret Di Sini

Kehidupan para petani mulai dari yang bekerja ganda karena sawahnya tak mencukupi kebutuhan keluarga sampai ke petani sukses seperti Haji Muhammad Sirodj.Umumnya mereka masih mengeluh.(nas)

16 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA, lewat tengah malam. Sebuah becak meluncur di Jalan Letjen Soeprapto yang lengang. Tak ada kata yang terucap sampai ketika separuh perjalanan, tukang becak itu berkata, "Saya ini petani." Ia, seperti yang dituturkannya, mempunyai sepetak sawah yang kurang dari setengah hektar di kampungnya, di Cirebon. Ia juga mencangkul sawahnya dan menanaminya. Ini memang satu contoh. Namun, masih banyak tukang becak lain atau buruh galian yang cuma bermodal cangkul atau sekop, yang menjalani pekerjaan ganda seperti itu. Bahkan tidak hanya di Jakarta. Di seputar aliran irigasi Medan Krio, wilayah ibu kota Sumatera Utara, tepatnya di Desa Sei Beras Sekata, Samingan, 50, lebih banyak melewatkan waktunya dengan membenamkan diri di sungai - mengeduk pasir - dibanding di sawah. Kebetulan, nasib buruk, sawah miliknya yang hanya 0,4 hektar berada di ujung irigasi. Ketika air Sungai Tuntungan surut kemarau ini, mengering pulalah sawahnya. Tanah retak-retak, dan padi terbakar hangus seperti padang rumput. "Hasil panenan hanya lima kuintal," kata Samingan, menyesali nasib. Padahal, biasanya ia bisa mendapat lima kali lipat itu setiap menanam. Untuk menambal kebutuhan keluarga dengan tujuh anak, ia terpaksa menjalani pekerjaan yang sebenarnya tubuhnya tak mampu lagi menanggungnya - dan itu membuatnya sakit-sakitan. Penghasilan Rp 1.500 sehari dari mencari pasir memang bisa mengepulkan asap dapur. Namun, "Terpaksa anak saya yang tamat SD pun tak bisa melanjutkan." Ada cara lain yang ditempuh Arsyad, tetangga Samingan, untuk menambah penghasilannya yang rendah. Lahan 0,8 hektar tak cukup menghidupi keluarga dengan 12 anak itu. Maka, Arsyad pun berkeliling kampung, menjual jamu Sari Anget, yang ternyata bisa menutupi kerugiannya akibat kemarau dan tikus. Sebenarnya Sei Beras Sekata bukan daerah tandus. Tapi luas pemilikan sawah yang semplt, jumlah anggota keluarga yang banyak, memang tidak memungkinkan para petani di situ makmur. Anak-anak petani melanjutkan kehidupan orangtuanya tanpa banyak berubah. Gambaran serupa juga muncul di Jawa Tengah yang tidak kekurangan beras. Di Kudus, Samidin, 54, sudah bekerja keras menjadi buruh tani dan makelar jual-beli hewan, tapi hidupnya tak kunjung membaik. Ia juga menyewa tanah sebau (dua pertiga hektar), isterinya jual krupuk, sedang anaknya menjadi buruh di pabrik rokok Jarum. Di rumah bilik - sudah banyak berlubang - berukuran 5 x 6 meter itu, ia memang tak punya apa-apa selain sepasang meja kursi dan radio tua. "Tahun lalu saya rugi Rp 200 ribu," ucapnya. Dan kerugian terus-menerus itu dideritanya sejak tahun 1975, lebih banyak karena hama wereng. Dalam keadaan seperti itu Samidin memang tak menuntut banyak. "Yang penting saya sehat, doyan makan, dan dapat bekerja." Tentu tidak semuanya suram Sutarno, 46, dari Delanggu, Klaten, Jawa Tengah misalnya. Dulu ia selalu menanam padi Rojolele yang pulen dan wangi, tapi memerlukan masa tanam tujuh bulan. Setelah benih unggul muncul yang memungkinkan tiga kali panen dalam setahun, Sutarno meninggalkan Rojolele. Hasilnya memang lebih memuaskan. "Kalau saya pikir-pikir, hidup saya ya lumayan." Lumayan? Ya, rumah bambunya sudah ditembok, lantainya bertegel, dan ada Vespa. Bahwa ada yang merasa makin miskin bisa jadi hanya perasaan, karena dihubungkan dengan kebutuhan yang makin meningkat. "Sekarang ini sekolah saja tak ada yang mau hanya sampai SD," kata Soetomo, 57, petani di Kemuning Sari-Jember, Jawa Timur. Belum lagi kebutuhan rumah tangga seperti televisi. Namun, Soetomo yang punya sawah dua hektar ini diuntungkan oleh meningkatnya produksi padi di Indonesia. Bukan karena hasil sawahnya, tapi hasil penjualan pupuk dan obat-obatan lewat kiosnya. Karenanya, insya Allah, tahun depan Soetomo dan nyonya mau pergi haji. Lalu berapa penghasilan petani? Dr. Faisal Kasryno, Direktur Pusat Penelitian Agro Ekonomi Departemen Pertanian, bisa membantu untuk menghitungnya. Bila setiap keluarga ditargetkan mendapat penghasilan 1.500 dolar Amerika setahun - target penghasilan untuk Perusahaan Inti Rakyat (PIR) - tak akan tercapai bila ia hanya menanam padi di areal yang kurang dari 1 hektar. Itu pun 35 persen Fenghasilan harus diperoleh di tempat lain. Kalau hanya menggantungkan pada padi, "Paling tidak perlu luas dua hektar," kata Kasryno. Unem, 35, membuktikan hal itu. Ia mempunyai sawah seluas 1,5 hektar di Jatisari-Karawang, dan ia juga punya kalkulasi biaya produksi yang tak pernah dilihatnya lagi. "Takut hasilnya mengagetkan," kata Unem. Inilah perhitungannya untuk setiap hektar tanah yang dipunyainya: - Ongkos traktor ......................... Rp 35.000,- - Ongkos pengerjaan petak ....... ........ Rp 65.000,- - Menanam................................. Rp 30.500,- - Cabut rumput dan angkut bibit .......... Rp 18.750,- - Pupuk dan obat-obatan................... Rp 45.500,- - Upah panen ............................. Rp 112.500,- Jumlah Rp 294.050,- Dengan hasil lima ton sehektar, yang berharga Rp 125 sekilo, Unem memperoleh pemasukan Rp 625 ribu sekali panen. Dan dengan dua kali panen - setelah dipotong iuran ronda, pengairan, dan beberapa pungutan lain yang setahunnya mencapai Rp 89 ribu - ia memperoleh penghasilan senilai Rp 75 ribu sebulan, belum termasuk beras yang dimakan keluarga. Dengan penghasilan itu Unem masih mengeluh tak bisa membeli televisi ataupun motor. Haji Mansyur, 56, yang sekecamatan dengan Unem, lebih berhasil. Ia memiliki lima hektar sawah yang memberinya penghasilan senilai Rp 250 - Rp 300 ribu sebulan. Sawahlah yang membiayai kedua anak ketua kelompok tani "Cahaya Sumirat" itu hingga sarjana, dan memberinya Honda bebek untuk pergi ke sawah. Kini sawah itu menghasilkan 5-6 ton gabah kering pungut sehektar. "Padahal, pada tahun 1960-an hasilnya paling hanya satu ton, dan masih dikurangi bobot batang padi." Misalnya, Haji Muhammad Sirodj. Petani yang kini berumur 59, yang - menurut Menteri Pertanian Achmad Affandi - Presiden menyebutnya "Sirodj Ciawi", memang contoh petani sukses. Ia mewarisi kehidupan tani ayahnya dan sekaligus sikap cepat tanggapnya pada perubahan. Ketika hampir semua petani masih gigih mempertahankan padi berbatang tinggi, yang memang berasnya enak rasanya, ia telah menanam jenis IR-5, IR-8, yang ketika itu masih disebut PB. Tahun 1967, setiap hektar sawahnya sudah mampu menghasilkan 11 ton gabah basah. Mengetahui permintaan pasar pada sayur dan buah-buahan meningkat, ia segera beralih tanaman. Berbagai jenis sayur, misalnya tomat, dicobanya. Kemudian yang berkembang pesat adalah tanaman jeruknya, yang setahun bisa mencapai 20 ton yang dijualnya ke supermarket. Tidak ketinggalan juga buah melon, yang masih termasuk asing di Indonesia. Namun, keberhasilan itu tentu tak ada hubungannya dengan melimpah ruahnya produksi pangan - beras. Yang hanya menanam padi saja masih juga mengeluh. Haji Abdul Halim Zuhri, 40, di Jember terpaksa menjual padi ke tengkulak Rp 8 ribu setiap kuintal. Padahal, harga KUD bisa Rp 17 ribu, tapi khusus untuk gabah berkadar air 14 persen - suatu hal yang sulit dipenuhi petani. Melihat tipisnya keuntungan, maka Abdul Halim - seperti banyak petani Jember lain - ganti menaman tembakau, yang lebih menguntungkan. Beberapa petani melihat bahwa ganti jenis tanaman memang jalan keluar dari kesulitan pemasaran akibat surplus beras ini. Sukardi, 60, dari Jati-Kudus lebih suka menaman tebu dibanding padi. Kini lima hektar tanahnya memang ditanami tebu, dan untuk padi hanya satu hektar. "Menanam tebu lebih baik hasilnya dibandingkan padi," kata Sukardi yang memiliki enam truk Mercedes-Benz. Di Tomo Sumedang, Jawa Barat, Emon Rukman, 48, malah berniat mengubah setengah hektar sawahnya menjadi kebun mangga. Selama pohon mangga belum besar, ia menanaminya dengan padi gogo. "Bersawah di sini hanya bersalaman saja," kata Emon. Artinya, hasil panen kali ini hanya bisa dipakai untuk benih esoknya lagi. Untunglah ia, juga lainnya, mempunyai kerja sambilan: sebagai pembuat alat kesenian, seperti calung. Kerja sampingan itulah yang menghidupi keluarganya. Petani yang punya sawah tak lebih setengah hektar seperti Emon jumlahnya tak sedikit. Mereka tak kurang dari 11 juta (menurut data 1980). Belum lagi mereka yang hanya buruh tani yang tak memiliki tanah sejengkal pun. Bagi mereka, surplus beras kali ini tampaknya belum banyak mengubah nasibnya. Zaim Uchrowi Laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus